Penerapan biosekuriti selama ini terkesan canggih dan sulit diwujudkan di peternakan rakyat atau skala kecil. Namun, sejumlah peternak ayam petelur menerjemahkan perlindungan unggas dari penyakit, termasuk flu burung, sebagai hal sederhana dan bisa dilakukan semua peternak. Upaya itu juga menambah keuntungan usaha mereka.
“Eh, mas, jangan, jangan!” teriak Wiji Lestari dan Paryanti, saat kaki seorang jurnalis akan melintasi garis kuning. Wartawan itu pun mengurungkan langkahnya. Garis bercat kuning di atas paving block tanah lapang itu berjarak 1,5 meter dari pintu gerbang Renaa Farm, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Sejumlah wartawan dari Jakarta, Kamis (17/9) pagi, berkunjung ke Renaa Farm untuk melihat penerapan biosekuriti. Sebagai koordinator umum karyawan, Wiji bertanggung jawab agar prosedur sebelum memasuki area kandang dijalankan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari pintu gerbang, kami diarahkan mengganti alas kaki dengan sandal merah di dekat tempat parkir motor dan mencelupkan kaki ke air disinfektan. Kami melangkah ke zona kuning yang dibatasi garis kuning dan mengenakan sandal kuning.
Di zona itu, ada dua kamar mandi dilengkapi pancuran. Kami diwajibkan mandi dengan sabun lalu berganti baju dengan kaus dan celana pinjaman Renaa Farm. Langkah serupa dijalankan semua pegawai. Seusai mandi, kami dipersilakan masuk area kandang. Baru berjalan 10 meter, kami berhenti untuk mencelupkan kaki ke wadah berisi air disinfektan dan berganti memakai sandal hijau lalu memasuki zona hijau.
Di sebuah ruangan di zona itu, kami disambut pemilik Renaa Farm, Robby Susanto, bersama putranya sekaligus manajer peternakan, Andre Susanto. “Dengan sampai di sini, Anda sudah melalui tiga zona biosekuriti,” ucap Robby.
Tiga zona
Alfred Kompudu, National Technical Advisor Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO ECTAD) Indonesia, mengatakan, biosekuriti tiga zona adalah penerapan biosekuriti paling efektif. Karena itu, FAO ECTAD mendampingi Renaa Farm bersama lima peternakan lain untuk menerapkannya. Kini, sekitar dua tahun biosekuriti tiga zona diterapkan di Renaa Farm.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA–Seorang karyawan memberi makan ayam petelur di peternakan milik Bambang Sutrisno Setiawan di Dusun Ngelo, Desa Getasan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (15/9). Bambang sedang merombak peternakannya agar sesuai dengan biosekuriti tiga zona. Salah satu penerapannya adalah karyawan wajib mengganti alas kaki setiap berpindah zona.
Zona merah, yang ditandai garis merah di Renaa Farm, adalah dunia di luar peternakan yang berbahaya karena dihuni beragam virus dan bakteri yang siap menyerang unggas. Zona kuning adalah zona transisi antara dunia luar yang “kotor” dan kandang ayam. Zona hijau adalah area paling steril di peternakan. Ayam-ayam dan kandang mereka ada di zona hijau.
Alfred mengatakan, biosekuriti di peternakan unggas bertujuan agar kuman tak masuk kandang, tak bertumbuh kembang, dan tak menyebar. Artinya, biosekuriti jadi strategi andal menangkal flu burung dengan memotong penyebaran di peternakan sebagai hulu. “Caranya dengan menjalankan elemen biosekuriti, yakni isolasi, kontrol pergerakan, sanitasi, pembersihan, dan disinfeksi,” ujarnya.
Dampaknya, manusia kian aman dari virus itu. Sebab, penyakit akibat virus flu burung (H5N1) termasuk penyakit bersumber binatang yang mematikan. Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) mencatat, Indonesia termasuk negara dengan kasus positif infeksi H5N1 pada manusia terbanyak di dunia (192 kasus hingga 16 Januari 2013 dan 160 di antaranya berujung pada kematian).
Menurut panduan Kementerian Pertanian dan FAO ECTAD Indonesia, meski lebih murah, biosekuriti lebih unggul daripada vaksinasi. Vaksin hanya melindungi unggas dari satu kuman penyakit, misalnya virus influenza A H5N1, terutama clade 2.1.3. Biosekuriti melindungi dari segala jenis kuman.
Menguntungkan
Manusia sebagai bagian dari dunia luar pun diposisikan sebagai risiko bagi ayam petelur. Tanpa ayam sehat, produksi telur terancam. Jadi, pengunjung dan karyawan wajib mandi sebelum mendekati area kandang. “Kami harus layani ayam sebaik mungkin agar tetap sehat dan berproduksi,” kata Andre.
Robby menuturkan, semula ia kesulitan memahami konsep biosekuriti karena teori yang dibacanya dari berbagai sumber begitu rumit. Berkat pendampingan FAO ECTAD, semua terasa sederhana dan mudah.
Penerapan biosekuriti tiga zona juga menambah pendapatan usaha peternakan. Selain volume produksi dan mutu telur meningkat, jumlah ayam sakit atau mati berkurang. Menurut Robby, setiap rupiah investasi penerapan biosekuriti tiga zona berkontribusi pada Rp 11 keuntungan akhir Renaa Farm. Kenaikan laba enam peternakan yang didampingi FAO ECTAD bervariasi, 5-11 persen dan 20-30 persen.
Karena itu, biosekuriti tiga zona disebarluaskan. Caranya, FAO ECTAD bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dan didanai USAID Indonesia meningkatkan kapasitas dokter hewan di dinas peternakan daerah agar mampu memberi pendampingan untuk menarik minat peternak. Para petugas yang dilatih dinamakan petugas pelayanan veteriner unggas komersial (PVUK).
Sejauh ini 143 petugas PVUK di 12 provinsi dan 50 kabupaten/kota telah dilatih. Para petugas menularkan wawasan biosekuriti ke sekitar 3.000 peternak, termasuk Bambang Sutrisno Setiawan, peternak ayam petelur, di Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Bambang tertarik kisah sukses Robby menjalankan biosekuriti tiga zona. Semula, ia menganggap biosekuriti sulit diwujudkan. Setelah didampingi petugas PVUK, ia merombak peternakannya seluas 1 hektar berkapasitas 20.000 ayam sesuai konsep biosekuriti tiga zona. Biaya perombakan Rp 70 juta.
Besarnya biaya investasi untuk merombak peternakan dinilai kecil dibandingkan dengan kerugian akibat sakit atau matinya ayam. Pengalamannya, produktivitas peternakan tinggal 40 persen pada 2009 dibandingkan dengan tahun sebelumnya akibat penyakit seperti flu burung dan tetelo (newcastle disease). “Lebih baik keluar dana besar di awal daripada nanti rugi besar karena penyakit,” tuturnya.
Standar produktivitas ayam petelur 23 kilogram telur per ekor. Jika tak terpenuhi 1 kg, potensi kehilangan produksi 20 ton telur atau senilai Rp 300 juta dengan asumsi harga sekitar Rp 15.000 per kg.
Menurut Alfred, FAO ECTAD tak menargetkan setiap peternak segera menerapkan biosekuriti tiga zona, apalagi kemampuan keuangan peternak beragam. Hal terpenting, kemauan peternak mengubah perilaku dan tertarik menerapkan biosekuriti tiga zona setelah mendapat manfaat.
Pendekatan berbeda dijalankan pada dua kelompok peternak ayam petelur skala kecil (500-8.000 ekor) di Kulon Progo, DI Yogyakarta. Biosekuriti diterapkan dengan cara sederhana, seperti pemagaran peternakan, melarang pembeli telur masuk kandang, dan mewajibkan karyawan mengganti alas kaki jika akan masuk kandang. Hasilnya, produktivitas ayam naik jadi 90 persen.
Program pelatihan PVUK telah berakhir September lalu. Kini, keberlanjutan program itu bergantung pada komitmen pemerintah dalam menyelamatkan masyarakat dan industri peternakan dari flu burung.–J GALUH BIMANTARA
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2015, di halaman 14 dengan judul “Menangkal Virus Flu Burung”.