Kualitas Penduduk Sulit Meningkat
Produksi sumber protein masyarakat, khususnya protein hewani, terancam akibat usaha peternakan dan perikanan menghadapi banyak masalah. Di sisi lain konsumsi protein masih jauh dari kecukupan dan target. Hal ini berpengaruh pada peningkatan kualitas penduduk masa depan.
Protein hewani berguna untuk membangun sel tubuh. Protein hewani merupakan protein lengkap, yaitu protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial. Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh tubuh. Protein terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan otak.
Sementara itu, konsumsi beberapa komoditas sumber protein hewani, seperti telur, susu, daging ayam, daging sapi, dan ikan, masih di bawah dari target. Konsumsi susu saat ini, misalnya, sekitar 11 kilogram per kapita per tahun, sedangkan target 14 kilogram. Angka ini juga masih jauh di bawah angka konsumsi negara tetangga, seperti Malaysia dan Filipina, sekitar 21 kilogram.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski data memperlihatkan kenaikan produksi, berbagai masalah produksi sumber protein ditemukan Kompas di sejumlah daerah yang dikumpulkan hingga Minggu (23/8). Masalah itu antara lain ketersediaan lahan, ketersediaan air, adopsi teknologi yang lemah, dan regenerasi peternak dan petani yang tidak terjadi.
Di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, hampir semua lokasi peternakan sapi perah menempel dengan rumah dan dengan lahan yang terbatas.
Warpu (38), peternak sapi perah di Desa Citere, mengatakan sulit mendapatkan lahan untuk peternakan sapi dan menanam rumput. Ia yang memiliki 17 sapi harus mencari lahan baru untuk menambah hijauan karena lahan yang ada makin sempit. Ia berencana menyewa lahan untuk mengembangkan usahanya.
Kondisi yang sama diungkapkan Erif Kemal Syarif, peternak di Cisarua, Kabupaten Bogor. Dalam tiga tahun ke depan, Erif memperkirakan harus pindah dari lokasi ternak saat ini karena lahan makin sempit. Ia yang memiliki 250 sapi tengah mencari lahan untuk peternakan.
Masalah lain adalah kebijakan perdagangan yang membingungkan peternak hingga harga daging sapi naik menyebabkan sejumlah peternak memilih menjual sapi perah. Para calo ternak mencari dan menawar dengan harga tinggi saat harga daging di atas Rp 100.000 per kilogram.
“Banyak peternak di sini yang menjual sapi. Harganya memang tinggi,” kata Warpu. Data di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) memperlihatkan, pasokan susu yang semula mencapai 140 ton kini hanya menjadi 80 ton per hari karena banyak sapi perah dijual.
Barjat, peternak sapi perah di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, mengatakan, dirinya juga menghadapi masalah lahan untuk menambah ternaknya dari lima menjadi 20 ekor. Kini, ia hendak menyewa lahan Perhutani. Masalah lain adalah pasokan air. Barjat terpaksa menggunakan pompa air untuk menghidupi sapi. Saat kekeringan, ia makin sulit untuk mendapatkan air.
Sementara itu, pengembangan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, menghadapi masalah klasik permodalan.
Ketua Asosiasi Peternak Sapi Boyolali Suparno mengatakan, peternak sapi potong di Boyolali umumnya merupakan peternak kecil dengan kepemilikan 5-6 sapi per orang. Untuk menambah jumlah kepemilikan sapi dibutuhkan modal besar. “Untuk usaha penggemukan sapi, kalau mau menambah tiga ekor saja butuh modal setidaknya Rp 50 juta,” katanya.
Sementara itu, regenerasi bukan karena kesadaran, melainkan karena keterpaksaan. Suparno memberikan gambaran, apabila sebuah keluarga memiliki usaha peternakan sapi, anak terpaksa meneruskan usaha orangtuanya. Itu pun jika sang anak belum mendapat pekerjaan lain.
Adopsi teknologi
Peternak sapi di Karangploso, Kabupaten Malang, memiliki masalah tersendiri. Mulyadi (45), warga Desa Donowarih, Kecamatan Karangploso, mengaku penghasilan dari usaha peternakan sapi belum memberikan keuntungan. Adopsi teknologi menjadi satu masalahnya.
Ketua Bidang Usaha Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Jawa Timur Sulistyanto mengatakan, baru 7 persen anggotanya yang mengarah ke peternakan semimodern. Sisanya masih merupakan peternakan tradisional.
“Peternakan tradisional ini dikelola tanpa teknologi, peremajaan sapi hanya kalau memiliki modal, dan biasanya peternaknya sudah berusia lanjut dengan latar pendidikan SD,” kata Sulistyanto. Akibatnya, produksi susu sapi pun tidak maksimal.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Muladno menyatakan, tantangan utama peningkatan produksi daging sapi nasional adalah mengejar peningkatan populasi sapi potong sampai pada level ideal, dari sekitar 14 juta ekor menjadi 25 juta ekor. Dengan populasi sapi ini, Indonesia akan mampu memasok kebutuhan sapi siap potong setiap tahun secara mandiri.
Perlu serius
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim mengemukakan, pemerintah perlu serius menggarap sistem logistik ikan nasional karena terjadi kesenjangan distribusi ikan. Hambatan distribusi ikan dari sentra produksi di wilayah Indonesia timur juga mengakibatkan kesenjangan tingkat konsumsi antarwilayah.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Singgih Januratmoko menyatakan, masalah utama yang terjadi pada industri ayam nasional ialah ketidaksesuaian antara pasokan dan permintaan.
Produksi ayam usia sehari (DOC) sering berlebihan sehingga mengakibatkan produksi ayam berlebih di pasar, sementara pada masa tertentu pasokan DOC kadang berkurang.
Secara terpisah, Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sonny B Harmadi mengatakan, persoalan pada sumber protein, seperti daging dan ikan, berarti ancaman kualitas penduduk pada masa depan.
Menurut Sonny, kurangnya protein berdampak buruk terhadap masyarakat. Perkembangan tubuh tidak optimal karena tidak didukung asupan gizi yang berkualitas. Akibatnya tidak langsung dirasakan saat ini, tetapi jangka panjang.
Apabila masyarakat tidak bisa menjangkau sumber protein, entah karena tidak ada pasokan atau distribusi yang terhambat sehingga harganya mahal, yang paling terancam adalah masyarakat miskin.–(RWN/GER/WHO/MAS/CHE/DIA/NAD/LKT/KOR/MAR)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Agustus 2015, di halaman 1 dengan judul “Sumber Protein Terancam”.