Kian banyak obyek terbang yang berada di atas langit Jakarta dan sekitarnya. Kian murahnya teknologi drone atau pesawat nirawak membuat benda terbang tak berawak itu kian terjangkau, sehingga siapa pun bisa membeli dan mengoperasikannya.
Penggunaan pesawat nirawak, baik untuk kepentingan komersial maupun sekadar hobi, tengah marak di Jakarta. Pesawat nirawak itu dipakai untuk pengambilan gambar, pembuatan film, pemetaan, dan berbagai macam keperluan lain.
Produsen pesawat nirawak pun membanjiri pasar dengan berbagai produknya. DJI baru saja meluncurkan Panthom 3, meneruskan generasi sebelumnya yang sangat populer di Indonesia. Sejumlah produsen juga menawarkan pesawat nirawak dilengkapi fitur canggih. Gimbal dengan tiga poros stabilizer, streaming langsung gambar, dan berbagai fitur lain. Harganya sekitar 999 dollar AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, juga ada 3D Robotics 2DR Iris+ Multicopter. Begitu dikeluarkan dari bungkusnya, produk ini bisa langsung diterbangkan. Seperti juga Panthom 3, Iris+ memiliki fitur follow me sehingga bisa terbang otomatis mengikuti penggunanya, memakai GPS di perangkat Android atau iOS. Harga perangkat ini, 555 dollar AS. Masih banyak lagi produk pesawat nirawak di pasaran, seperti UDI U818A yang harganya hanya 52 dollar AS dan Parrot BeBop seharga 480 dollar AS.
Bukan mainan
Meski mudah diterbangkan, bahkan oleh pemula, pesawat nirawak tidak boleh dianggap mainan. Selain potensi penggunaannya, pesawat nirawak juga potensial disalahgunakan atau menyebabkan kecelakaan udara. Pesawat nirawak memiliki baling-baling tajam dan berputar cepat yang bisa melukai orang atau merusak properti. Kian ramainya langit dengan benda itu membuat risiko kecelakaan membesar.
Di Jakarta, insiden pesawat nirawak hingga melibatkan polisi melakukan penyelidikan tercatat baru terjadi sekali. Pada akhir Juli lalu, polisi mengamankan pesawat nirawak jenis multirotor yang jatuh di area Menara BCA, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, dan memeriksa pemiliknya.
Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Menteng Ajun Komisaris Ridwan R Soplanit menuturkan, pihaknya masih menyelidiki kasus jatuhnya pesawat nirawak yang terjadi pada 20 Juli lalu. Menurut dia, polisi telah membuka rekaman dari pesawat nirawak jenis DJI Phantom 2. “Drone itu merekam sejumlah obyek vital yang berada di sekitar kawasan Thamrin,” kata Ridwan, Selasa (4/8).
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA–Direktur Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan Muzaffar Ismail, Direktur Navigasi Penerbangan Novi Riyanto, dan Direktur Keselamatan dan Standar Airnav Wisnu Darjono (kanan ke kiri) menyampaikan sosialisasi mengenai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian, Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia atau yang dikenal sebagai drone di Jakarta, Selasa (4/8).
Polisi menduga pesawat nirawak tersebut terkena turbulensi udara sehingga menabrak gedung dan terempas. Menurut Ridwan, polisi telah membuka rekaman pesawat itu dan memeriksa pemiliknya yang berinisial OX pada 30 Juli lalu.
Pemiliknya diduga melanggar Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia. OX diduga menerbangkan pesawat nirawaknya lebih tinggi dari 150 meter dan di kawasan terlarang, seperti diatur dalam peraturan tersebut.
Maraknya penggunaan pesawat nirawak ditunjukkan dari penelitian yang dilakukan oleh Frost & Sullivan bahwa pada 2014, konsumen membelanjakan hingga 720 juta dollar AS untuk pembelian pesawat nirawak di seluruh dunia. Seperti dikutip dari CNBC, jumlah itu setara dengan volume penjualan sebesar 200.000 unit pesawat nirawak per bulan. Diperkirakan, jumlah itu akan membengkak dua kali lipat pada tahun ini. Studi yang sama memperkirakan, pada 2020, belanja pesawat nirawak akan mencapai 4,5 miliar dollar AS per tahun.
Pesawat nirawak yang juga disebut unmanned aerial vehicle oleh FAA (Federal Aviation Administration) disebut sebagai UAS (unmanned aircraft system). Bukan hanya pesawat terbang, UAS meliputi juga sistem yang mendukung operasionalnya, seperti pusat kendali, komunikasi, dan sistem lain yang dibutuhkan untuk mengoperasikan pesawat nirawak itu.
Sekali lagi, pesawat nirawak bukan sekadar mainan. Di samping potensinya, pesawat nirawak juga bisa disalahgunakan untuk keperluan kriminal atau berpotensi menimbulkan kecelakaan. Kian ramainya langit oleh pesawat nirawak berpotensi mengganggu keamanan penerbangan berawak.
Insiden kecelakaan
FFA menyebutkan, insiden nyaris tabrakan yang dilaporkan oleh para pilot meningkat drastis di AS. Pada 2014, pilot melaporkan hanya ada 238 laporan nyaris tabrakan akibat pesawat nirawak yang terlalu dekat dengan pesawat berawak. Namun, jumlah itu meningkat menjadi 650 sampai 9 Agustus 2015.
Pada Juli 2014, pilot pesawat berbagai ukuran, termasuk pesawat komersial besar menyatakan, selama Juni 2014, melihat 16 pesawat nirawak dan 36 pesawat nirawak pada bulan berikutnya. Tahun ini, 138 pilot melaporkan melihat pesawat nirawak pada ketinggian 10.000 kaki pada Juni dan 137 pesawat nirawak pada Juli.
Belum ada laporan serupa di Indonesia. Namun, penggunaan pesawat nirawak di Indonesia, khususnya Jakarta dan kawasan sekitarnya mendapat perhatian karena terdapat banyak obyek vital, seperti istana, kedutaan, dan bandar udara yang sibuk.
Untuk menghindari bahaya dan penyalahgunaan, FAA dan Pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi. Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia.
Aturan di AS antara lain berat maksimal pesawat nirawak 25 kilogram, saat pesawat itu terbang harus selalu terlihat oleh operatornya (visual line-of-sight/VLOS only), hanya terbang waktu siang, ketinggian maksimum sekitar 400 kaki, dan aturan lain. Sedangkan Permenhub PM 90/2015 mengatur ketinggian terbang maksimal 150 meter dan sejumlah regulasi lain yang masih diperdebatkan.
Salah seorang pilot pesawat nirawak, Bobby Gunawan, mengimbau agar para pemilik pesawat nirawak memperhatikan prosedur terbang dan mengutamakan keselamatan terbang. “Kita harus selalu hati-hati, menaati prosedur terbang, mematuhi manual pesawat, dan melakukan kalibrasi sebelum terbang,” kata Bobby yang menggunakan pesawat nirawak untuk membantu pekerjaannya.
Ia menambahkan, seorang pilot pesawat nirawak harus benar-benar memahami teknis pesawatnya, agar bisa terbang dengan aman. Seorang pilot pesawat nirawak yang baik harus bisa memakai common sense dalam mempertimbangkan kondisi area akan diterbangi.
“Saya pernah melakukan peliputan di Hongkong saat ada demo besar-besaran. Di situ banyak gedung tinggi dan massa. Akhirnya, saya lapor ke atasan, saya memutuskan tidak terbang. Jadi, kalau dirasa berbahaya, lebih baik tidak terbang, jangan memaksakan,” katanya.
Terkait dengan peraturan menteri yang mengatur penggunaan pesawat nirawak, Bobby menyambut baik regulasi tersebut demi keselamatan penerbangan. Hanya saja, ada aturan yang perlu direvisi, yaitu Pasal 4.2 yang menyatakan, untuk kegiatan pemotretan, pembuatan film, dan pemetaan harus melampirkan izin dari instansi serta pemerintah daerah setempat. Aturan lain, seperti ketinggian terbang, juga perlu dibicarakan lagi.
DJI dan juga 3D Robotics, dua produsen pesawat nirawak populer pun memberikan petunjuk agar pengguna selalu mengutamakan keselamatan dan menaati regulasi setempat, seperti ketinggian maksimal saat menerbangkan pesawatnya. Mereka menyarankan agar pilot selalu mematuhi manual terbang di area terbuka, jauh dari properti dan manusia.
Saran lain, pemilik pesawat nirawak agar terbang di ketinggian aman dan diperkenankan serta selalu memastikan drone berada dalam jarak pandang selama penerbangan. Selain itu, juga disarankan agar mematuhi keberadaan kawasan no-fly zone. Sayangnya, tidak semua orang tahu di mana daerah larangan terbang tersebut.
FFA berencana merilis aplikasi telepon cerdas bernama B4UFLY yang memberitahukan di mana saja daerah terbatas dan larangan terbang. Bagi pengguna pesawat nirawak, mari berharap ada aplikasi sejenis di Indonesia.–Prasetyo Eko P
Sumber: Kompas Siang | 20 Agustus 2015