Christian Kogoya tetap asyik membaca buku keterampilan di
bangkunya. Dia tak terusik oleh Fredy Kogoya dan Alex Kogoya yang asyik bermain bola di depan kelas. “Sa mau jadi pilot. Ingin lihat Bumi dari jauh sana,” kata Christian, lalu menunjuk ke atas, mengarah ke langit.
Christian, siswa kelas IV SD Inpres Tiom di Lanny Jaya, Papua, yang beberapa pekan lalu ramai diberitakan media massa karena bencana cuaca dingin ekstrem.
Saat itu, Selasa (28/7), hari kedua masuk sekolah sejak libur panjang selama sebulan lebih. Siswa mulai berdatangan sejak pukul 08.30. Tak seperti di tempat lain yang masuk sekolah pukul 07.00, sekolah-sekolah di Pegunungan Tengah Papua, umumnya, mulai kegiatan belajar-mengajar pukul 09.00, bahkan lebih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Itu karena anak-anak setempat yang kebanyakan masih tinggal di honai, tak memiliki jam dinding atau jam dalam wujud apa pun. Aktivitas mereka bergantung pada posisi matahari. Ketika matahari mulai tampak, bagi mereka, itulah waktunya berangkat sekolah.
Kalau berangkat terlalu pagi, jalanan masih gelap tanpa penerangan jalan. Pun, seragam tipis putih-merah serta kaki tanpa sepatu mereka terlalu mudah ditembus angin lembah yang membawa hawa dingin. Sorot matahari akan menghangatkan dan menerangi langkah mereka ke sekolah.
Pada hari kedua aktivitas belajar-mengajar itu hanya Ibu Guru Nurfalah dan Ibu Guru Junisa Samosir yang hadir. Guru-guru lain, bahkan kepala sekolah, sejak kemarin belum datang. Nurfalah, guru kelas I, mengisi hari itu dengan perkenalan dan pendaftaran siswa- siswa baru dan orangtua.
Sementara itu, Junisa Samosir, guru Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) asal Universitas Negeri Medan di Sumatera Utara, mengajar di kelas II dan III. Wali kelas II ini bolak-balik mengisi pelajaran di kedua kelas itu.
Selesai mengawali pelajaran di kelas III dengan bernyanyi dan memberi tugas penjumlahan tiga digit, ia kembali ke kelas II untuk mengajar siswa yang menjadi tanggung jawabnya. “Anak-anak sini butuh diajar pelan-pelan supaya mengerti,” kata Junisa Samosir yang akan selesai kontrak SM3T pada Agustus ini.
Masalah rendahnya kualitas pendidikan di Papua telah menjadi rahasia umum. Indeks pembangunan manusia (IPM) di Lanny Jaya, menurut data BPS (Papua dalam Angka, 2013), berada di angka 51,07. Meningkat dari 47,45 pada 2008 atau saat kabupaten itu dimekarkan dari induknya, Kabupaten Jayawijaya. Namun, masih tertinggal dibandingkan angka IPM Provinsi Papua yang mencapai 66,25 (2013).
Melek huruf
Jika melihat lebih spesifik pada angka melek huruf, masih menggunakan data BPS, pelajaran dasar, yaitu baca-tulis, masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat. Daerah yang berkontur pegunungan dan perbukitan itu memiliki angka melek huruf 36,93 (2013) atau hanya separuh dari angka melek huruf Provinsi Papua 75,92.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA–Alex dan Fredy, siswa kelas IV Sekolah Dasar Inpres Tiom, Lanny Jaya, Papua, bermain bola di dalam kelas, Selasa (28/7). Kegiatan belajar baru dimulai untuk kelas I dan II, sementara kelas lain belum berkegiatan karena guru belum hadir di sekolah. Beberapa orangtua murid pun baru mendaftarkan anaknya ke sekolah.
Meski sekadar angka, di lapangan hal itu terbukti. Setidaknya, saat Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Lanny Jaya Christian Sohilait mengetes sekitar 50 anak-anak seusia sekolah dasar dari Distrik Goa Baliem yang sedang berkumpul di Distrik Malagaineri, hanya satu anak yang bisa membaca.
“Sangat menyedihkan, tetapi inilah fakta. Karena itu, kami berkomitmen pendidikan ini yang terus kami genjot,” katanya.
Tidak hanya anak-anak SD yang belum bisa membaca, temuan kemudian, anak-anak SMP setempat pun ada yang belum melek huruf. Hal tersebut diungkapkan Rani Situmeang (24), guru dari program SM3T Universitas Negeri Medan yang mengajar Biologi dan Geografi di SMP 2 Tiom, Lanny Jaya.
“Ada 10 anak-anak SMP, kelas 1-3 yang tidak bisa baca, ini kita heran. Kenapa tidak kenal huruf,” kata Rani yang hampir setahun ini bertugas di Lanny Jaya.
Kalau tak bisa membaca, lantas kenapa bisa lulus SD?
“Itu juga jadi pertanyaan kami, tapi sudah jadi rahasia mereka. Kami hanya dikasih tugas mengajar, ya, kami laksanakan saja,” katanya.
Kelas khusus
Tantangan tersebut disiasati guru-guru setempat dengan membuka kelas khusus untuk pelajaran membaca di luar kurikulum atau silabus bagi siswa SMP. Ika Setya Yuniarti (25), guru garis depan di SD Gimbuk Lanny Jaya yang pernah mengikuti program SM3T di Ende, NTT, mengatakan, mengajar di pedalaman tak bisa kaku dengan hanya mengacu pada kurikulum.
“Perlu improvisasi dan kreativitas karena tingkat pendidikan masih timpang,” katanya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Lanny Jaya Aletinus Yigibalom mengatakan, pihaknya “habis-habisan” berupaya meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak Lanny Jaya yang kini masih jauh tertinggal, bahkan dengan teman sebayanya sesama Papua.
Upaya menghadirkan guru-guru dari luar dengan cara kontrak ataupun merekrut guru garis depan dianggap sebagai terobosan guna mendongkrak kehadiran guru dan komitmen pendidik dan peserta didik. Tidak mudah menghadirkan guru di daerah, seperti Lanny Jaya.
Semua upaya itu ditempuh agar anak-anak Lanny Jaya bisa berdiri tegak bersama saudara- saudaranya sesama Papua ataupun daerah lain di luar Papua. Tentunya, suatu saat kita berharap, cita-cita Christian Kogoya untuk melihat Bumi dari atas angkasa bisa tercapai. Begitu juga cita-cita 7.000 anak PAUD/TK, 13.000 anak SD, 3.000 anak SMP, dan 1.000 anak SMA, serta generasi muda dari Lanny Jaya.–ICHWAN SUSANTO
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2015, di halaman 9 dengan judul “Mimpi Calon Astronot dari Lanny Jaya”.