Data Surveilans Nasional Minim
Dalam riset di enam rumah sakit di Indonesia, angka kasus infeksi akibat bakteri kebal pada antibiotik mencapai 50 persen. Sejumlah kasus kematian akibat sakit jantung, stroke, gagal ginjal, infeksi tulang, dan kanker diduga berawal dari infeksi mikroba yang resisten.
Kondisi itu merupakan hasil riset Program Pengendalian Resistensi Anti Mikroba (PPRA) pada 2013 di enam rumah sakit di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Bali. Sayangnya, tak ada laporan kesehatan di Indonesia yang mencatat angka pasti kematian akibat kasus resistensi bakteri terhadap antibiotik.
“Itu membuat proses pendataan jumlah kematian akibat bakteri resisten di Indonesia sulit dilakukan,” kata Ketua Komite Pengendalian Resistensi Anti Mikroba Hari Paraton, dalam jumpa pers seusai seminar “Cegah Resistensi Antibiotik demi Selamatkan Manusia”, Rabu (5/8) di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam riset itu ditemukan, 50 persen infeksi karena kuman kebal akibat pemberian antibiotik tak sesuai. Keterbatasan pengetahuan tenaga kesehatan, rendahnya kesadaran warga, dan laboratorium mikrobiologi yang masih konvensional menjadi penyebabnya. Karena itu, perlu pembenahan pola pikir dan pembaruan sistem agar infeksi mikroba resisten itu bisa ditekan.
Di Thailand yang sudah memiliki fasilitas mikrobiologi dan laporan kesehatan kuman lebih baik, dari jumlah total penduduk 70 juta jiwa, angka kematian akibat kuman resisten mencapai 38.000 orang. Di Indonesia, dengan jumlah total penduduk 240 juta orang, angka kematian akibat kuman resisten bisa jauh lebih tinggi dari Thailand.
Dosis tidak tepat
Tingginya angka kematian akibat kuman kebal itu antara lain karena anggapan antibiotik menyembuhkan segala penyakit. Padahal, tak semua penyakit cocok memakai antibiotik. Pemakaian antibiotik tak sesuai bisa menyebabkan penyakit mematikan. “Penggunaan antibiotik dengan dosis tak tepat menyebabkan kuman berulah sehingga penyakit sulit disembuhkan,” ujarnya.
Misalnya ada kelompok bakteri Staphylococcis aureus yang kebal pada methicillin (MRSA) sehingga fungsi antibiotik terhadap bakteri itu turun. Bakteri Escherichia coli yang tak resisten bisa membuat fungsi bakteri baik berubah ganas akibat penggunaan antibiotik tak sesuai.
Keterbatasan pengetahuan tenaga kesehatan bisa jadi pemicu. Sebelum memberi antibiotik kepada pasien, tenaga kesehatan perlu memperhatikan gejala klinis dan rekam medis, misalnya apakah penyakit yang diderita karena bakteri atau virus.
“Sejumlah virus tak perlu diberi antibiotik karena akan hilang dengan sendirinya,” ujarnya. Selain itu, perlu dilihat ketahanan tubuh dan usia pasien, letak infeksi, gejala klinis lain, dan uji laboratorium untuk memastikan jenis penyakit. Namun, kemampuan mayoritas laboratorium mikrobiologi masih terbatas.
Menurut Menkes Nila F Moeloek, data surveilans nasional infeksi akibat resistansi anti mikroba belum tersedia akibat pencatatan riwayat resistensi anti mikroba pada pasien minim.
Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia, Khanchit Limpakarnjanarat, menambahkan, penyebab utama resistensi antibiotik adalah pemakaian obat tak rasional. Secara global, 50 persen resep antibiotik tak tepat dan 50 persen pasien tak patuh mengonsumsi antibiotik. (B12/JOG)
————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Agustus 2015, di halaman 13 dengan judul “Infeksi akibat Resistensi Antibiotik Tinggi”.