Iptek Belum Jadi Penunjang Pembangunan
Hingga 70 tahun merdeka, Indonesia masih menghadapi kemiskinan, kesenjangan sosial, rendahnya kualitas manusia, demokratisasi prosedural, dan rongrongan terhadap ideologi Pancasila. Semua itu harus diatasi agar Indonesia maju dan sejahtera pada usia seabad.
Di sisi lain, potensi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) belum dimanfaatkan secara optimal untuk kemajuan bangsa.
“Masa depan bangsa harus disiapkan sejak saat ini, bukan sekadar dibayangkan,” kata Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi Ignas Kleden pada diskusi menyambut 50 Tahun Kompas dan 70 Tahun Indonesia Merdeka, di Jakarta, Rabu (5/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi mengatakan, Indonesia punya lebih dari 321 juta penduduk pada 2045. Saat itu, bonus demografi telah usai. Jumlah usia produktif masih sangat besar, tetapi jumlah anak mulai turun dan warga lanjut usia melonjak.
Meski jumlah usia produktif saat ini sangat besar, lebih dari separuhnya hanya berpendidikan maksimal SMP. Akibatnya, mayoritas tenaga kerja bekerja di sektor informal dengan perlindungan kesejahteraan rendah.
Lapangan kerja yang selalu lebih kecil dari jumlah tenaga kerja membuat pengangguran tetap besar. Apalagi, pertumbuhan industri manufaktur menurun.
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Menyambut HUT Ke-50 Kompas dan HUT Ke-70 RI, sejumlah pakar menyampaikan pandangannya di Redaksi Kompas, Jakarta, Rabu (5/8). Mereka adalah Ignas Kleden, Sangkot Marzuki, Satryo Soemantri Brodjonegoro, Sri Palupi, Yudi Latif, Mudrajad Kuncoro, dan Sonny Harmadi.
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Mudrajad Kuncoro mengingatkan, pertumbuhan ekonomi masih bertumpu di Jawa dan Sumatera. “Juga masih digerakkan konsumsi, bukan produksi,” katanya.
Di sisi lain, pembangunan masih mengejar pertumbuhan, bukan pemerataan. Akibatnya, kemiskinan di pedesaan dan daerah di luar Jawa masih sangat tinggi.
Pola pembangunan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan membuat hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat tak terlindung. Akibatnya, tidak semua orang bisa mengakses pendidikan, kesehatan, papan, dan pekerjaan layak.
“Negara masih gagal menjamin standar kehidupan minimal bagi rakyatnya,” kata peneliti Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi. Kondisi itu diperparah dengan besarnya pengaruh kepentingan korporasi dalam kebijakan yang kian meminggirkan hak-hak masyarakat.
Sains dan teknologi
Selain keberhasilan pembangunan ekonomi dan kependudukan, kemajuan negara juga diukur dari perkembangan iptek. Namun, 10 tahun terakhir, iptek belum serius diperhatikan untuk digunakan sebagai penunjang pembangunan.
“Kesadaran pentingnya iptek sudah muncul, tetapi upaya menjadikan iptek sebagai hal penting belum muncul,” kata Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Sangkot Marzuki.
Investasi Indonesia dalam pengembangan iptek masih setara dengan negara-negara miskin. Akibatnya, inovasi tak berkembang.
Rendahnya perhatian terhadap pengembangan iptek itu tak lepas dari rendahnya kualitas pendidikan. “Pendidikan masih dianggap sebagai pencitraan. Targetnya pun masih sekadar mengejar jumlah, belum kualitas,” ujar mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Satryo Soemantri Brodjonegoro.
Pendidikan Indonesia juga belum mampu memberdayakan peserta didik. Setelah lulus, mereka justru tidak mandiri. “Pendidikan kita masih mengajarkan ketaatan pada kekuasaan, bukan pada nilai, serta tidak mengembangkan kreativitas,” tutur Kleden.
Perkembangan iptek yang membuat dunia kian mengglobal itu akan membuat tekanan terhadap ideologi Pancasila semakin menguat. Padahal, globalisasi yang memunculkan fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama, dua hal yang berbeda, tetapi sering berkaitan, bisa diantisipasi dengan Pancasila.
“Nilai-nilai Pancasila perlu direvitalisasi dalam memuliakan hak asasi manusia dalam kerangka negara bangsa,” kata Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia Yudi Latif. (MZW)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Agustus 2015, di halaman 15 dengan judul “Saatnya Siapkan Kemajuan Bangsa”.