Ribuan orang memenuhi taman Kota Kobe, Prefektur Hyogo, Jepang, untuk memperingati 20 tahun gempa bumi yang menghancurkan kota itu. Mereka berdoa dalam hening di tengah suhu yang mendekati nol derajat celsius pada Sabtu (17/1) pagi.
Sejak dini hari, sebagaimana dilaporkan wartawan Kompas, Ahmad Arif, warga memenuhi Taman Higashi Yuenchi. Mereka menyalakan 6.434 lilin, sebanyak jumlah korban tewas akibat gempa, yang dibentuk dalam formasi 1.17.
Tepat pukul 05.46 waktu setempat, bersamaan terjadinya gempa bermagnitudo 7,3 yang mengguncang Kobe pada 17 Januari 1995, semuanya terdiam dan berdoa. Menjelang siang, Kaisar Akihito meletakkan bunga dan turut mendoakan korban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain menelan ribuan korban jiwa, gempa itu juga mengakibatkan kerugian hingga 10 triliun yen atau 85,8 miliar dollar AS. Bencana itu terburuk yang dialami Jepang setelah Perang Dunia II, hingga gempa dan tsunami melanda Sendai pada 2011 dan menewaskan lebih dari 20.000 jiwa.
”Saya masih berumur 3 tahun saat gempa itu. Saya kehilangan ayah, dan masih merasa kehilangan hingga kini. Dua tahun saya tinggal di pengungsian. Bencana itu tidak boleh dan tak akan saya lupakan,” kata Ojima Migiwa (23), warga Kobe.
Sinichi Fujimoto (33), warga Kobe, menyatakan, banyak anak muda, terutama yang tak mengalami gempa, mulai melupakan kedahsyatan bencana yang melanda Kobe. ”Kita tak tahu kapan dan seberapa kuat bencana akan datang. Karena itu, saya mengajak anak-anak muda bersiaga, minimal menyiapkan keselamatan diri. Jika terjadi gempa lagi, setidaknya kami akan lebih siap karena sudah belajar,” katanya.
Dua dekade setelah bencana itu, Kota Kobe pulih secara fisik. Rumah, jalan, rel kereta, dan pusat bisnis kembali dibangun, yang menurut data Pemerintah Kota Kobe menghabiskan dana 16,3 triliun yen. ”Namun, secara mental Kobe belum sepenuhnya pulih. Banyak keluarga korban masih trauma,” kata Tomoyoshi Hirose, Kepala Manajemen Krisis Kota Kobe.
Sebelum gempa itu, masyarakat dan Pemerintah Jepang tak memperkirakan Kobe dilanda gempa besar dari patahan Nojima. Saat itu, Jepang mengalami bonanza ekonomi dan giat membangun kotanya, termasuk Kobe. Namun, mereka tak memperhitungkan risiko gempa besar yang bisa melanda Kota Kobe.
Belajar dari bencana
Selain pemulihan korban secara sosial dan ekonomi, prioritas penting bagi Jepang adalah belajar dari bencana agar kejadian serupa tak terulang. Seperti dikatakan Menteri Manajemen Bencana Jepang Eriko Yamatani, saat memberikan sambutan dalam peringatan itu, ”Belajar dari bencana ini, kami akan melakukan yang terbaik untuk membangun komunitas agar kita bisa hidup lebih aman.”
Gempa Kobe, menurut Tomoyoshi, memberi kesadaran baru bagi Jepang untuk mengarusutamakan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan. Sejak gempa Kobe, semua jembatan diberi bantalan karet untuk meredam dampak gempa. Demikian juga bangunan rumah dan komersial diwajibkan memakai teknik dan material tahan gempa.
Riset mengenai bencana, khususnya gempa bumi, juga amat marak di Jepang. Sejak itu, pemerintah daerah di seluruh wilayah Jepang menyiapkan logistik untuk kondisi darurat dan menggalakkan pendidikan bencana di sekolah-sekolah.
Kekuatan bangunan di Jepang dalam menghadapi gempa teruji saat gempa bermagnitudo 9 mengguncang Tohoku, 11 Maret 2011. Menurut ahli tsunami dari Universitas Tohoku, Fumihiko Imamura, bangunan di Tohoku kebanyakan bertahan dari gempa, tapi hancur karena tsunami.
Meski aman dari gempa, Jepang, yang sebenarnya juga menyiapkan diri menghadapi tsunami, mengalami kerugian besar saat tsunami 2011. ”Namun, kami terus belajar. Tiap ada bencana, biasanya Jepang akan membangun pusat riset baru. Dari situ kami terus belajar,” katanya.
Sebagai contoh, setelah gempa Kanto (Tokyo dan sekitarnya) pada tahun 1923 yang menewaskan 150.000 jiwa, Jepang mendirikan Lembaga Riset Gempa Bumi (IRE) di Universitas Tokyo. Setelah taifun besar melanda, Lembaga Riset Pencegahan Bencana di Universitas Kyoto dibangun. Selain itu, setelah tsunami Tohoku, Lembaga Riset Internasional Ilmu Bencana (IRIDeS) di Universitas Tohoku juga didirikan.
Jika gempa Kobe membuat Jepang mengubah standar dan mutu bangunan, gempa Tohoku membuat Jepang mengubah tata ruang mereka. Pada 2011, Jepang menerbitkan 17 undang-undang (UU), di antaranya terkait penerapan rekonstruksi mulai dari pembentukan badan otoritas, aturan rekonstruksi fisik, ekonomi, tata ruang, struktur pelindung tsunami, pengembangan daerah baru, hingga pajak.
Keberadaan UU itu membuat segala kebijakan badan rekonstruksi Jepang punya dasar hukum kuat untuk mengosongkan pesisir yang kena tsunami berketinggian 2 meter lebih dari permukiman.
Hal itu tak terjadi di Aceh dan daerah lain di Indonesia yang pernah dilanda tsunami. Seperti dilaporkan Kompas Rabu (24/12/2014), kawasan yang pernah dilanda tsunami di Tanah Air kembali dihuni, tanpa perubahan tata ruang sehingga rentan terdampak bencana berikut.
Menurut Imamura, riset dan pencegahan penting dalam pengurangan risiko bencana, tetapi itu tak boleh membuat kita mengabaikan kemungkinan kegagalan teknologi. Maka, perlu pendidikan sosial agar segera menjauh dari pantai jika ada gempa berpotensi tsunami.
———————-
Pemulihan Pasca Bencana
Odaka, Saksi Bisu yang Tersisa
Ratusan sepeda yang catnya mulai kusam masih berjejer rapi di tempat parkir Stasiun Odaka, Minamisoma, Prefektur Fukushima, Jepang, akhir November lalu. Sejumlah ban terlihat kempis. Seutas tali panjang dilewatkan di antara jari-jari roda sepeda, ujungnya diikatkan pada tiang penyangga, memastikan sepeda-sepeda itu tidak dipindahkan.
Sepeda-sepeda itu memang tak pernah dipindahkan sejak 11 Maret 2011. Mereka menjadi saksi bisu bencana gempa bumi dan tsunami yang hari itu melanda pantai timur Fukushima, Miyagi, dan Iwate, tiga prefektur di wilayah Tohoku, utara Pulau Honshu, Jepang.
Bangunan Stasiun Odaka selamat dari bencana ganda itu. Namun, kerusakan sistem pendingin Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Dai-ichi dan kebocoran radiasi yang menyertai jauh lebih mengancam. Warga Odaka, yang terletak 20 kilometer dari PLTN, termasuk ratusan siswa sekolah pemilik sepeda yang terparkir di stasiun, harus dievakuasi.
Sejak saat itu, Odaka seperti kota mati. Seperti petang di akhir musim gugur itu, lebih dari tiga tahun sejak bencana terjadi, suasana sangat lengang. Dalam waktu 45 menit, hanya dua kendaraan melintas, yakni mobil pemerintah kota Minamisoma yang membawa Kompas dan mobil polisi yang berpatroli. Hanya di kantor pemerintah Distrik Odaka, tak jauh dari stasiun, terlihat aktivitas manusia.
”Kota ini termasuk wilayah hijau dalam radius 20 kilometer dari PLTN. Larangan masuk sudah diangkat sejak 1 April 2014. Namun, warga hanya boleh datang pada siang hari. Malam harinya mereka harus kembali ke pengungsian,” kata Katsumi Satoh, Asisten Direktur Departemen Perencanaan Rekonstruksi Kota Minamisoma, yang mengantar Kompas berkeliling.
Satoh termasuk warga Odaka yang terpaksa mengungsi karena bencana itu. Istri dan anaknya kini tinggal bersama orangtua istrinya di Miyagi, sedangkan Satoh tinggal bersama ibunya, tak jauh dari kota Minamisoma.
Mulai pulih
Odaka adalah satu dari tiga distrik di Minamisoma, selain Kashima dan Haramachi. Jika Odaka terlihat lengang, kehidupan telah berdenyut kembali di Kashima dan Haramachi.
Satoh mengatakan, lebih dari 600 warga kota tewas akibat tsunami. Setelah bencana, tak kurang dari 60.000 warga kota berpenduduk 71.500 jiwa itu mengungsi. Tiga bulan berlalu, korban mulai menempati rumah sementara yang disediakan pemerintah. Hingga kini, masih terdapat 3.300 kepala keluarga tinggal di rumah sementara di Kashima dan Haramachi.
Yoshikazu Hoshi, Kepala Divisi Manajemen Krisis kota Minamisoma, mengatakan, upaya rekonstruksi dimulai dengan empat cara. Warga yang rumahnya selamat kembali ke rumah masing-masing. Warga yang rumahnya rusak dan berada di luar wilayah terlarang dapat memperbaikinya sendiri.
Adapun warga yang rumahnya hancur dan berada di wilayah terlarang ditempatkan di rumah sementara. Pilihan lain adalah penduduk desa pindah bersama-sama ke lokasi baru.
Setelah itu, pemerintah kota bekerja sama dengan Badan Rekonstruksi, lembaga yang dibentuk Pemerintah Jepang untuk pemulihan pasca bencana, membangun rumah bagi korban. ”Saat ini telah diselesaikan rumah tinggal bagi 58 keluarga di dua lokasi. Pada akhir Maret 2015 ditargetkan 100 rumah lagi terbangun,” kata Hoshi.
Kondisi psikologis korban juga mendapat perhatian. Warga yang kehilangan pekerjaan mendapat tugas mendatangi tetangganya di pengungsian dan saling menguatkan. ”Tingkat stres korban sempat meningkat. Tetapi, lama-kelamaan mereka terbiasa tinggal di rumah sementara dan kembali bekerja,” tambah Hoshi.
Wakil Direktur Bagian Koordinasi Badan Rekonstruksi, Yoshifumi Ayusawa di Tokyo mengatakan, secara keseluruhan lebih dari 15.000 orang tewas dan 2.660 korban hilang. Lebih dari 1,1 juta bangunan rusak akibat bencana tersebut.
Adapun rekonstruksi pasca bencana diharapkan selesai dalam 10 tahun. ”Pemerintah menyiapkan 25 triliun yen (Rp 2,6 quadriliun) hingga 2015 untuk kebutuhan pembangunan fisik dan menghidupkan kembali aktivitas masyarakat,” ujarnya.
Menurut Hoshi, hambatan utama untuk memukimkan kembali korban di kota itu adalah mencari lahan. Apalagi, Distrik Odaka belum dapat dihuni. Selain itu, biaya tenaga kerja dan bahan bangunan meroket akibat naiknya permintaan.
Upaya rekonstruksi juga berebut tenaga kerja dengan program raksasa dekontaminasi nuklir yang dilakukan pemerintah pusat. Di Odaka, sekitar 3.000 orang dikerahkan untuk membersihkan got, atap, dan terutama mengupas permukaan tanah setebal 5 sentimeter untuk menghilangkan kontaminasi radiasi. Usaha serupa dilakukan di beberapa kota yang terkena dampak bencana nuklir.
”Meski lebih dari 600 warga kota tewas karena tsunami, dampak bencana nuklir jauh lebih berpengaruh. Pemulihannya akan memakan waktu lama,” ujar Shato. Hingga saat itu, sepeda-sepeda di Stasiun Odaka akan tetap berada di sana. (J Waskita Utama dari Minamisoma, Jepang)
Sumber: Kompas, 18 Januari 2015