Tsunami yang melanda Aceh, 26 Desember 2004, memberi perspektif baru bahwa zona subduksi yang dikira tak aktif ternyata bisa patah dan mencipta gempa bermagnitudo di atas sembilan. Bagi Indonesia, yang sebagian wilayahnya berupa pesisir yang berhadapan langsung dengan zona subduksi, tsunami seharusnya menjadi tantangan besar untuk disikapi.
Bagi para ilmuwan, tsunami Aceh adalah titik balik. ”Kejadian gempa 2004 mengubah paradigma kita mengenai sumber gempa, terutama perihal hubungan zona subduksi (tumbukan antarlempeng) dan daya maksimum gempa,” kata Irwan Meilano, ahli gempa dari Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (ITB).
Gempa dengan skala di atas sembilan itu semula kemungkinannya dianggap kecil bisa terjadi di zona subduksi yang umurnya tua, seperti di zona tumbukan lempeng Eurasia dengan Indo-Australia di Samudra Hindia. ”Setelah tsunami Aceh, kami harus merevisi kesimpulan itu. Apalagi, lalu terjadi gempa dan tsunami Jepang pada 11 Maret 2011,” kata Irwan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini, para ilmuwan meyakini gempa bermagnitudo besar bisa terjadi di mana pun di zona subduksi. Periode gempa besar itu pun sulit diterka.
Sulit ditebak
Sebelum gempa berpusat di sekitar Simeulue itu mengirim tsunami ke pesisir Aceh pada 2004, ahli gempa dari California Institute of Technology (Caltech), Kerry Sieh, sebenarnya telah mengkhawatirkan ancaman tsunami dari zona penunjaman lempeng Sumatera. Kerry adalah palaeo seismologist, ahli melacak gempa di masa lalu. Sejak 1975, dia melacak gempa di sesar raksasa San Andreas, California, Amerika Serikat.
”Tahun 1994, saya mengalihkan perhatian ke zona subduksi megathrust Sumatera, sumber gempa bumi yang relatif sedikit diketahui, tetapi memiliki kemampuan menciptakan bencana besar,” tulis Kerry dalam makalahnya, Sumatran Megathrust Earthquakes: from Science to Saving Lives (2006).
Di zona ini, lempeng (Samudra) Indo-Australia bergerak menunjam ke bawah lempeng (benua) Eurasia dengan kecepatan 50-60 mm per tahun. Bidang kontak antara lempeng yang menunjam dan batuan di atasnya disebut bidang subduksi atau megathrust. Sampai kedalaman 40 km dari palung, bidang subduksi umumnya bersifat regas dan di sejumlah tempat terekat erat.
Suatu saat, tekanan yang terhimpun di antara dua lempeng itu jadi terlalu besar untuk ditahan sehingga akan terhentak amat kuat ke atas dengan tiba-tiba. Lentingan lempeng itu menghasilkan guncangan keras yang dikenal sebagai gempa bumi. Setelah itu, bidang kontak akan merekat lagi, mengumpulkan daya, dan suatu ketika kembali melenting tiba-tiba.
Pada 2003, Kerry bersama Danny Hilman, muridnya di Caltech, yang juga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), selesai merekonstruksi riwayat gempa di segmen Mentawai. Mereka resah ketika menemukan megathrust yang sudah di ujung siklus.
Dalam diskusi tentang kondisi geologi Selat Sunda, Rabu, 1 Oktober 2003, di Auditorium Museum Geologi, Bandung, Jawa Barat, Danny memaparkan temuan tentang siklus seismik gempa bumi besar di segmen Pulau Siberut, Mentawai. ”Gempa dan tsunami pernah terjadi di sekitar zona subduksi Mentawai tahun 1381, 1608, 1797, yang terakhir 1833,” ujarnya.
Aktivitas seismik di zona subduksi itu mengangkat naik pulau-pulau di Mentawai sekitar 2 meter. ”Kita kini ada di ujung siklus seismik itu,” kata Danny. Jika gempa yang diperkirakan berkekuatan 9 skala Richter terjadi, Padang bisa dilanda tsunami.
Danny melengkapi kajiannya dengan laporan residen Padang, James du Puy (1845). ”Gempa bumi terkuat yang pernah diingat masyarakat Padang terjadi 10 Februari 1797 sekitar pukul 20.00. Cahaya purnama sidi menerangi malam, tetapi kegelapan segera melingkupi saat gempa tiba-tiba terjadi—guncangan pertama terjadi hingga satu menit—lalu gelombang laut memenuhi sungai dan menenggelamkan seluruh kota,” sebut Du Puy.
Pada Juli 2004, Kerry dan Danny mulai membagikan brosur di Kepulauan Mentawai, memperingatkan penduduk tentang ancaman tsunami. Mereka juga memperingatkan warga Padang yang daerahnya berhadapan dengan Pulau Simeulue.
Lima bulan kemudian, gempa besar benar terjadi. Bukan di Mentawai, tetapi di sisi lebih ke utara, di dekat Simeulue. Tsunami raksasa menyusul gempa itu melumatkan pantai padat hunian di Aceh.
Setelah gempa Aceh 2004, Kerry dan Danny kembali mengingatkan ancaman megathrust di segmen Siberut. Namun, kali ini gempa berkekuatan 8,7 skala Richter terjadi di Nias pada 28 Maret 2005. Gempa disusul tsunami itu menewaskan ratusan orang di Nias.
Gempa berikutnya juga terjadi di Busur Sunda, tetapi lagi-lagi tidak di segmen Mentawai. Pada 17 Juli 2006, gempa berkekuatan 7,7 skala Richter yang memicu tsunami melanda Pangandaran, Jawa Barat. Sebanyak 730 orang yang tinggal di pesisir selatan Jawa tewas.
Baru pada 12 September 2007, terjadi gempa berkekuatan 8,4 skala Richter di sekitar Pulau Mentawai di kedalaman 20-30 km. Namun, bagi Danny dan Kerry, ancaman dari rentetan gempa di segmen itu belum berakhir. Gempa raksasa yang ”berdiam” sejak terakhir ”bangun” tahun 1797 dan 1833 belum sepenuhnya terusik.
Gempa pada September 2007 itu dinilai hanya di pinggiran zona subduksi Mentawai. Diyakini, gempa besar yang disusul tsunami masih mengancam Padang. Apalagi, kemudian terjadi gempa berkekuatan 7,2 skala Richter yang mengguncang Kepulauan Mentawai pada Senin, 25 Oktober 2010. Gempa itu berlokasi lebih ke utara dari pusat gempa pada September 2007. Pusat gempa itu lebih dekat ke kuncian raksasa Mentawai.
Kerry yang belakangan bekerja di Earth of Observatory Singapore (EOS) juga meyakini, gempa di megathrust Mentawai kian dekat. ”Belum ada perkiraan gempa bumi raksasa yang lebih akurat daripada ini,” kata Kerry dalam wawancara di National Geographic edisi Juli 2012. ”Kami memperkirakan, terjadi gempa berkekuatan 8,8 dalam 30 tahun mendatang. Tak ada yang bisa memastikan, apakah itu akan terjadi 30 detik atau 30 bulan lagi. Namun, dapat dikatakan, gempa itu kemungkinan besar terjadi dalam waktu 30 tahun ini.”
Bisa di mana saja
Namun, bagi Eko Yulianto, ahli paleo-tsunami dari LIPI, Mentawai dan Kota Padang disebut rentan tsunami karena data riset di sana terlengkap. Selain Mentawai, tak ada data lengkap terkait sejarah gempa dan tsunami yang dimiliki wilayah lain di Indonesia. Akibatnya, perilaku gempa dan tsunami di wilayah lain tak diketahui. ”Bisa saja tsunami berikut justru di jalur subduksi lain, seperti utara Sulawesi, selatan Jawa, selatan Nusa Tenggara, Maluku, Bali-Nusa Tenggara, atau tempat lain,” katanya.
Bagi Irwan Meilano, gempa besar berikutnya bisa terjadi di mana saja di zona subduksi yang mengepung Indonesia ini. ”Di Jepang, segmen yang sebelumnya dianggap dibagi dalam tiga bagian kecil bisa robek dalam waktu bersamaan. Hal itu juga bisa terjadi di segmen subduksi di Indonesia,” katanya.
Sebagai contoh, segmen gempa di selatan Jawa sebelumnya dibagi tiga segmen, yaitu Selat Sunda, Jawa Barat-Jawa Tengah, dan Jawa Timur-Bali, yang masing-masing bisa menghasilkan gempa hingga berkekuatan 8,4. ”Itu bisa berubah, bisa saja ketiga segmen runtuh bersamaan. Harus diakui, pemahaman kita tentang sumber gempa belum sangat terperinci,” ujarnya.
Belum lagi, kawasan timur Indonesia yang minim riset dasar. ”Banyak zona gelap yang belum kita pahami,” kata Irwan.
Padahal, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 1629-2014, Indonesia dilanda sedikitnya 174 tsunami. Sebanyak 60 persen di kawasan Indonesia timur. Artinya, kawasan Indonesia timur lebih rentan terdampak tsunami karena tatanan lempeng tektonik rumit dan aktif. (AHMAD ARIF)
Sumber: Kompas, 22 Desember 2014