Ziarah Penuh Risiko Komet ISON

- Editor

Rabu, 27 November 2013

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SATU juta tahun lalu, segumpal debu berlapis es bergerak dari Awan Oort di bagian luar Tata Surya menuju Matahari. Jumat (29/11) dini hari, bongkah yang kini dinamakan Komet ISON itu akan mencapai jarak terdekatnya dengan Sang Penguasa Tata Surya. Ini adalah pertaruhan hidup mati komet, selamat dari cabikan Matahari atau tamat riwayatnya.

Jarak titik terdekat Komet ISON dengan permukaan Matahari hanya 1,2 juta kilometer. Titik balik perjalanan ISON akan dicapai pada Kamis (28/11) pukul 18.38 waktu universal atau Jumat (29/11) pukul 01.38 WIB. Makin dekat dengan Matahari, komet akan semakin cerlang. Namun, jarak yang terlalu dekat dengan Matahari membuat komet itu sulit diamati dengan teleskop optik landas Bumi.

Jika selamat dari gravitasi dan radiasi Matahari, tidak habis menguap, ISON bisa meneruskan perjalanan pulang. Dalam perjalanan balik itu, ISON akan menyajikan atraksi yang menarik di langit subuh di belahan Bumi utara.

”Nasib komet ketika berada di titik terdekat Matahari yang ditunggu-tunggu para astronom,” kata peneliti astronomi dan astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Emanuel Sungging Mumpuni, Selasa (26/11). ISON adalah jenis komet yang lintasannya sangat dekat dengan Matahari dan baru pertama kali diamati warga Bumi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kehadiran komet sebenarnya bukanlah hal istimewa. Setiap dekade, banyak komet masuk bagian dalam Tata Surya untuk mengitari Matahari. Saat ini, setidaknya ada tiga komet selain ISON yang bisa disaksikan dari Bumi, yaitu Komet Lovejoy, LINEAR, dan Encke.

Hal yang membuat istimewa Komet ISON adalah ia termasuk salah satu dari sedikit komet yang melintasi korona Matahari. Korona adalah plasma yang mengitari Matahari dan terbentang hingga jutaan kilometer dari permukaan Matahari. Korona terlihat jelas saat terjadi Gerhana Matahari Total.

Hingga kini tidak diketahui pasti dampak gravitasi dan radiasi Matahari terhadap komet. Peneliti Observatorium Lowell, Arizona, Amerika Serikat, Matthew Knight, memaparkan tiga kemungkinan atas nasib ISON.

Skenario pertama, ISON akan bernasib seperti Komet Lovejoy yang terakhir mendekati Matahari pada 2011. Tarikan gravitasi Matahari akan membuat inti komet melar dan meledak ketika melewati korona Matahari. Ledakan akan terjadi jika diameter inti komet kurang dari 2 kilometer. Persoalannya, diameter inti Komet ISON saat ini tepat 2 kilometer.

Kemungkinan kedua, takdir ISON akan seperti Komet Encke. Panas Matahari akan membuat es dan gas ISON menguap hingga komet kehilangan sebagian besar materinya. Walau ini perjalanan pertama ISON menghampiri Matahari, potensi berkurangnya sebagian besar materi komet tetap ada.

Skenario ketiga, ISON akan seperti Komet Ikeya-Seki yang terakhir mendekati Matahari pada 1965. Panas Matahari akan menimbulkan gas pada inti komet sehingga saat komet keluar dari korona Matahari akan menghasilkan ekor komet yang sangat lebar sehingga menghasilkan pemandangan langit yang menakjubkan.

ISON ditemukan oleh Vitali Nevski dan Artyom Novichonok dari Rusia pada 21 September 2012 dalam program International Scientific Optical Network (ISON). Sejak saat itu, astronom seluruh dunia, baik profesional maupun amatir, gencar mengampanyekan observasi ISON. Sejumlah teleskop antariksa pun dikerahkan.

4820329hPengamatan ISON penting karena para ahli meyakini komet yang berasal dari Awan Oort menyimpan material sisa pembentukan Tata Surya pada 4,6 miliar tahun lalu. Awan Oort juga diyakini mengandung zat kimia tertentu yang memicu kehidupan di Bumi kini.

Selain itu, kata Sungging, interaksi komet dengan atmosfer Matahari dapat membantu ilmuwan makin memahami karakter Matahari. ”Kehadiran ISON bisa digunakan ilmuwan untuk memvalidasi pengetahuan tentang Matahari,” ujarnya.
Pengamatan

Ketua Himpunan Astronomi Amatir Jakarta Muhammad Rayhan mengatakan, waktu terbaik mengamati ISON di Jakarta dan kota-kota lain di selatan khatulistiwa adalah 20-23 November lalu. Saat itu, komet terlihat sekitar pukul 04.30 WIB, sesaat sebelum Matahari terbit.

Beberapa hari sebelum dan sesudah mencapai titik terdekat dengan Matahari, ISON akan sulit diamati.

Komet dapat diamati kembali pada pekan pertama Desember. Namun, pendeknya waktu antara terbitnya komet dan terbitnya Matahari membuat pengamat tak leluasa mengamati ISON. Belum lagi, posisinya masih terlalu rendah di dekat horizon sehingga untuk melihatnya butuh pandangan lepas ke langit timur.

Karena itu, waktu pengamatan terbaik komet ISON berikutnya adalah pertengahan Desember hingga awal tahun depan.

Setelah melewati Matahari, komet mudah disaksikan di belahan Bumi utara. Namun, penduduk Bumi selatan masih bisa menyaksikan ekor komet. Posisi Indonesia di khatulistiwa membuat hambatan itu tak berarti.

Rayhan mengingatkan, meski secara teoretis ISON masih bisa diamati dengan mata telanjang menjelang ia mencapai titik terdekatnya dengan Bumi, kondisi lapangan sangat menentukan. Pengamatan ISON membutuhkan langit subuh yang bersih dari awan, apalagi hujan. Cahaya kota juga akan mengurangi kemampuan mata melihat komet sehingga harus dibantu dengan teleskop atau binokuler. (BBC/NASA/SKYANDTELESCOPE)

Oleh: M Zaid Wahyudi

Sumber: Kompas, 27 November 2013

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 16 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB