China menjadi negara kedua yang mendaratkan wahananya di permukaan Mars, Zhurong, pada 15 Mei 2021. Di tengah kemajuan China dalam teknologi antariksa, Indonesia masih membicarakan bentuk lembaga keantariksaannya.
China makin menancapkan kukunya dalam penguasaan sains dan teknologi antariksa. Setelah jadi negara pertama yang berhasil mendaratkan wahana robotik Chang’e di sisi belakang Bulan pada Januari 2019, kini China juga jadi negara kedua yang berhasil mendaratkan wahananya di permukaan Mars, Zhurong, pada 15 Mei 2021.
Sepekan kemudian, Zhurong mengirimkan sejumlah citra tanah Mars ke Bumi. Keberhasilan itu menjadi tanda bahwa Zhurong tidak sekadar mampu mendarat di Mars, tetapi juga selamat dalam proses pendaratan yang masih menjadi tantangan banyak negara. Uni Eropa pernah mencoba mendaratkan Schiaparelli pada 2017, tetapi gagal karena wahana jatuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di era sebelumnya, Uni Soviet pernah mendaratkan Mars-3 pada 1971, tetapi hanya bertahan dua menit. Sementara Inggris, seperti dikutip BBC, 20 Juli 2020, pernah mendaratkan Beagle 2 pada 2003, tetapi wahana itu gagal mengontak Bumi meski bisa mendarat lembut di tanah Mars.
Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi China selama tiga dekade terakhir, program pengembangan dan penguasaan teknologi antariksa China pun melaju cepat. Di luar pendaratan di Bulan dan Mars, China juga tengah menyelesaikan pembangunan stasiun luar angkasanya secara mandiri, Tiangong, yang diharapkan sudah bisa dihuni antariksawan China pada Juni ini.
(AP PHOTO/NG HAN GUAN)—-Seorang pengunjung mencermati tiruan Zhurong, robot penjelajah Mars, di Museum Nasional di Beijing, China, Kamis (6/5/2021). China baru-baru ini berhasil mendaratkan pesawat tanpa awak di Mars untuk misi luar angkasanya.
Visi besar program keantariksaan China itu didukung penuh oleh pemerintah. Selain gelontoran dana yang sangat besar, dukungan politik pun kuat. Presiden China Xi Jinping seusai peluncuran modul pertama Tiangong yang dinamai Tianhe pada April 2021, seperti dikutip dari DW, mengatakan pembangunan stasiun luar angkasa itu adalah proyek penting untuk membangun negara yang kuat dalam penguasaan sains dan teknologi antariksa.
Di sisi lain, media milik Pemerintah China senantiasa menginformasikan proyek luar angkasa China itu sebagai bagian langkah untuk mendukung ’pembaruan nasional’. Bagaimanapun, potensi ekonomi masa depan ada di luar angkasa. Karena itu, China pada awal 2020 telah menyelesaikan pembangunan satelit navigasi BeiDou yang kini siap jadi pesaing Global Positioning System (GPS) milik Amerika Serikat.
Jonathan McDowell dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics, AS, kepada BBC, 9 September 2020, mengatakan selama ini China memang tertinggal dibandingkan negara maju lain dalam pengembangan misi antariksa. ”Namun, China telah mempersiapkan program luar angkasanya di semua lini dan kini mengejar ketertinggalannya dengan cepat,” katanya.
Situasi di Indonesia
Di tengah capaian dan kemajuan China dalam mengembangkan teknologi antariksanya, Indonesia justru masih membicarakan soal bentuk lembaga keantariksaannya. Selama ini, visi keantariksaan Indonesia itu sudah dijalankan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Namun, dengan pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lapan harus dilebur dalam BRIN dengan bentuk yang masih belum ada kejelasan.
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin dalam diskusi kelompok terarah Indonesia Space Agency Pasca-BRIN, 17 Mei 2021, berharap nama Lapan tetap dipertahankan karena sudah dikenal komunitas keantariksaan global. Lapan akan menjalankan kewenangan BRIN yang sudah didelegasikan dalam penelitian dan pengembangan kedirgantaraan serta penyelenggaraan keantariksaan.
Di luar perdebatan soal bentuk Lapan dalam BRIN, masalah ini seharusnya tidak mengganggu tugas utama Lapan dalam menjalankan visi keantariksaan yang tertuang dalam Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan Tahun 2016-2040. Mental dan semangat para peneliti dan perekayasa harus dijaga hingga proses invensi dan inovasi dapat terus berjalan.
Nyatanya, pandemi yang diikuti dengan konsolidasi anggaran untuk riset dan pengembangan di luar isu Covid-19 serta penggabungan sejumlah lembaga penelitian non-kementerian dalam BRIN membuat sebagian peneliti dan perekayasa gundah selama hampir dua tahun terakhir. Menyeruaknya isu politik dalam pembentukan BRIN membuat nuansa politisasi riset dan inovasi menguat.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko berharap konsolidasi organisasi bisa segera tuntas hingga BRIN dapat beroperasi penuh dengan anggaran tunggal mulai 1 Januari 2022. Dengan BRIN, persoalan optimalisasi sumber daya manusia, infrastruktur, dan anggaran riset Indonesia bisa dikonsolidasikan hingga meningkatkan kapasitas riset dan inovasi, termasuk dalam bidang kedirgantaraan dan keantariksaan.
Jika konsolidasi itu bisa segera dilakukan, tantangan besar selanjutnya yang harus segera diselesaikan adalah menjalankan visi dan misi keantariksaan yang telah ditetapkan. Visi penyelenggaraan keantariksaan Indonesia adalah menjadi negara yang mandiri, maju, dan berkelanjutan.
Dengan visi itu, Indonesia ingin menguasai sains dan teknologi antariksa dengan mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri. Pengembangan keantariksaan itu juga harus mampu berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia serta bisa mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada secara berkesinambungan.
Visi tersebut menunjukkan Indonesia belum berani memiliki mimpi keantariksaan yang besar dan tegas serta bisa menarik seluruh komponen bangsa untuk mengikutinya. Isu kedirgantaraan dan antariksa sering dipandang belum saatnya dikuasai Indonesia hingga dukungan politik pun sangat lemah. Uniknya, pada saat bersamaan, kekaguman atas karya teknologi luar angkasa buatan bangsa lain senantiasa muncul tanpa ada upaya nyata yang jelas dan terukur untuk membuatnya secara mandiri.
Di sisi lain, program-program untuk menjalankan visi keantariksaan yang ada pun belum dijalankan dengan optimal. Persoalan anggaran masih menjadi ganjalan meski pemerintah sadar riset dan inovasi kedirgantaraan dan antariksa itu high tech, high cost dan high risk (teknologi tinggi, biaya tinggi, dan risiko tinggi). Sifat tersebut membuat pengembangan teknologi dirgantara dan antariksa tidak bisa langsung diserahkan ke swasta.
Terkatung-katungnya proyek pengembangan satelit komunikasi orbit rendah untuk pendeteksian dan penanganan bencana menjadi salah satu contohnya. Meski program ini sudah masuk prioritas nasional sejak tahun 2019 dan harus dikerjakan antara 2020-2024, hingga kini satu pun satelit dari rencana sembilan satelit kecil yang dibuat belum ada yang terwujud akibat ketidakjelasan anggaran.
Pada saat bersamaan, devisa negara terus mengalir ke luar untuk membayar layanan jasa satelit yang belum bisa dipenuhi satelit nasional. Padahal, dibandingkan teknologi antariksa lain seperti roket, teknologi satelit bisa dikuasai lebih cepat meski harus dilakukan bertahap.
Ke depan, tantangan ini ada di pundak BRIN. Wilayah yang luas, penduduk besar, dan ekonomi yang terus tumbuh membuat riset dan inovasi teknologi kedirgantaraan dan keantariksaan menjadi keniscayaan bagi Indonesia. Kini, tinggal menunggu keberanian para pengambil kebijakan untuk mau mewujudkan visi dan misi program keantariksaan tersebut secara nyata.
Oleh M Zaid Wahyudi, wartawan Kompas
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 2 Juni 2021