Sejarah psikoaktif sama tuanya dengan perkembangan peradaban manusia. Substansi ini awalnya digunakan dalam upacara religius, pengobatan, dan tentu saja pergaulan sosial. Namun, efeknya yang menghanyutkan membuat banyak orang tergoda untuk menyalahgunakannya.
Zat psikoaktif adalah zat kimia yang masuk ke dalam tubuh dan kemudian bereaksi memengaruhi sistem saraf dan otak sehingga menyebabkan perubahan suasana hati, kognisi, dan perilaku.
Tidaklah mengherankan jika jamur Amanita muscaria,yang memengaruhi kesadaran, banyak dimanfaatkan dalam upacara adat untuk memudahkan seseorang kerasukan. Demikian pula halnya dengan opium.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nepenthes pharmakon sudah disebutkan dalam kisah klasik Helen of Troy pada abad ke-9 sebelum Masehi (SM) ketika menerima ramuan dari Ratu Mesir yang ia campurkan pada anggur bala tentara Yunani. Campuran itu membuat para prajurit tidak lagi merasa sakit dan hilang amarahnya (Marc-Antoine Crocq dalam Historical and cultural aspects of man’s relationship with addictive drugs, 2007).
Nepenthes pharmakon, yang menurut etimologi berarti obat penghilang penderitaan, bisa jadi pada masa kini adalah obat antidepresi yang biasanya berasal dari opium.
Berdasarkan dokumen pengobatan tertua yang ditulis pada kertas papirus sekitar 1500 SM, ramuan dari tanaman poppy (sumber opium) digunakan untuk menenangkan anak-anak yang rewel.
Beberapa zat yang potensial memicu ketergantungan banyak digunakan untuk pergaulan. Sebutlah kopi, nikotin, dan alkohol. Demikian pula halnya dengan hashish, yang berbahan baku Cannabis sativa syn Cannabis indica alias ganja, umum digunakan di kawasan Timur Tengah.
Metode baru
Dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, semakin banyak dan mudah zat psikoaktif diproses. Akibatnya, zat-zat ini lebih terjangkau dan lebih cepat bekerja sampai ke otak.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan zat psikoaktif ke dalam beberapa kategori: stimulan, depresan, opioid, dan halusinogen. Stimulan berfungsi meningkatkan aktivitas sistem saraf pusat, membuat pemakainya jadi bergairah, berdebar-debar, dan memperpendek pernapasan. Sebutlah di antaranya kafein, nikotin, kokain, amfetamin, MDMA.
Depresan memengaruhi neurotransmiter otak Gammaaminobutyricacid (GABA), penghubung antar-sel otak. Zat-zat seperti alkohol, lorezepam, diazepam, valium, dan barbiturat termasuk golongan ini. Kerjanya memperlambat aktivitas kerja otak sehingga orang merasa relaks dan tenang.
Opioid adalah zat yang kuat untuk menghilangkan rasa sakit. Opioid memengaruhi reseptor opioid pada sel-sel saraf otak dan tubuh. Zat jenis ini di antaranya kodein, morfin, heroin, hydrocodone, dan fentanyl. Penggunaan jangka panjang bisa memicu adiksi dan dosis berlebih bisa menyebabkan kematian.
Perkembangan zat psikoaktif baru tak lepas dari kategorisasi di atas. Menurut Kantor PBB untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC), zat-zat psikoaktif baru yang disebut new psychoactive substances (NPS) mencapai lebih dari 640 jenis pada 2016. NPS sejumlah itu diproduksi perseorangan.
Tidak mudah memberantas penyalahgunaan ini. Menurut UNODC, banyak faktor berkontribusi, termasuk pembuat kebijakan, pelaksana peraturan, dan keluarga sebagai sumber pemberdayaan. (NES)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2017, di halaman 1 dengan judul “Zat Psikoaktif, Dulu dan Kini”.