Hasil tes menunjukkan orang yang telah mendapatkan dua kali suntikan vaksin tetap bisa terinfeksi virus penyebab Covid-19. Protokol kesehatan tak boleh kendur untuk mencegah penularannya.
Upaya peningkatan kapasitas surveilans genomik untuk memantau perkembangan mutasi SARS-CoV-2 menjadi semakin urgen. Selain bisa memicu lonjakan gelombang baru Covid-19, mutasi virus juga menyebabkan orang yang telah divaksinasi dengan dua dosis suntikan dan memiliki antibodi tetap dapat tertular dan sakit.
Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, Jumat (23/4/2021), mengatakan, gelombang kedua Covid-19 di India saat ini salah satunya dikarenakan keterlambatan dalam merespons sebaran varian baru. ”India termasuk negara yang sulit melakukan surveilans genomik yang real time seperti Inggris,” kata Riza.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Riza, keberadaan varian B.1.617 yang membawa mutasi ganda di India sebenarnya sudah dilaporkan sejak April 2021. Varian ini membawa 13 mutasi, yang empat di antaranya terletak pada protein paku (spike protein).
Masalahnya, pengurutan genomnya kalah cepat dibandingkan penularan varian baru SARS-CoV-2 ini. ”Saat ini varian yang menginfeksi India 61 persen dari analisis genomnya adalah B.1.617, namun data di GISAID mereka lebih rendah dari itu. Keterlambatan surveilans genomik di India ini mirip dengan yang terjadi di Indonesia saat ini,” katanya.
Seperti disampaikan Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio, ada selisih waktu sekitar satu bulan dari masa inkubasi dan pengambilan sampel dengan keluarnya analisis genomik. Hal ini karena, sampel yang akan dianalisis genomnya harus dipastikan dulu positif Covid-19, untuk menghemat biaya pemeriksaan genomik.
——-Analisis evolusi urutan genom SARS-CoV-2 dari kasus infeksi ulang di Manaus. A. Pohon filogenetik ML dari semua rangkaian total genom SARS-CoV-2 dari Brasil. Cabang dan ujung diwarnai berdasarkan garis keturunan dan lokasi pengambilan sampel, masing-masing mengikuti kode warna legenda. Dukungan cabang (aLRT) disajikan di node kunci. Genom pertama (R1) dan kedua (R2) yang diperoleh dari kasus reinfeksi diindikasikan. Skala cabang filogenetik diberikan sebagai substitusi per situs nukleotida. B. Pohon PKS Bayesian skala waktu dari garis keturunan SARS-CoV-2 P.1. Tip diberi warna sesuai dengan lokasi pengambilan sampel. Titik berwarna menunjukkan node leluhur kunci yang mewakili MRCA dari klade P.1 (hijau) dan MRCA dari virus yang menginfeksi ulang, dan urutan P.1 terdekat (ungu). Sumber: Felipe Naveca (virological.org, 2021)
Sampai saat ini sudah lebih dari 1.100 WGS (whole genome sequencing atau urutan genom utuh) SARS-Cov-2 yang dilaporkan dari konsorsium di Indonesia. Dari jumlah itu, Indonesia mendapatkan 10 varian B.1.1.7 dan dua mutasi E484K.
Dua kasus mutasi E484K yang ditemukan di Indonesia didapatkan dari pasien di Batam, yang diduga dari impor. Satu kasus lainnya diambil dari sampel pasien di Kalideres, Jakarta Barat, yang tidak memiliki riwayat perjalanan atau kontak dengan pelaku perjalanan dari luar negeri. Hal ini memicu kekhawatiran, sudah terjadi penularan lokal virus dengan mutasi E484K.
Epidemiolog Indonesia Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, mutasi E484K, selain mutasi ganda yang ada dalam varian B.1.617 di India, saat ini termasuk yang paling dikhawatirkan. ”Mutasi-mutasi ini berperan menyebabkan infeksi ulang pada orang yang pernah terinfeksi ataupun yang divaksin. Kita jangan terlambat mengantisipasi penyebaran varian baru ini agar tidak mengalami seperti yang terjadi di India saat ini,” katanya.
Menurut Dicky, kapasitas surveilans India sebenarnya lebih kuat dibandingkan Indonesia, walaupun dari aspek perilaku masyarakat relatif sama. ”Kalau varian baru ini menyebar luas di Indonesia, kita bisa separah India. Apalagi, fasilitas kesehatan dan sumber daya kita terbatas. Jangan sampai terlambat, perkuat protokol kesehatan dan jangan dulu melonggarkan agar varian baru tidak menyebar luas,” katanya.
Tetap tertular
Penelitian yang diterbitkan di New England Journal of Medicine pada 21 April 2021 melaporkan hasil dari pemantauan yang sedang berlangsung dalam komunitas di Universitas Rockefeller. Ditemukan, dua individu yang divaksinasi penuh dinyatakan positif terkena Covid-19.
Padahal, keduanya telah menerima dua dosis vaksin Moderna atau Pfizer, dengan dosis kedua lebih dari dua minggu sebelum diketahui positif Covid-19. Satu orang awalnya tanpa gejala, tetapi kemudian mengembangkan gejala sakit pernapasan.
Satu pasien mengalami gejala sebelum dites. Sekalipun demikian, kedua pasien pulih kembali yang menunjukkan bahwa vaksinasi tetap efektif dalam mencegah penyakit yang parah.
—–Indonesia baru mendaftarkan 394 total genom SARS-CoV-2 atau 0,03 persen dari total kasus Covid-19 yang ada. Ini menempatkan Indonesia di urutan ke-7 dari 10 negara di Asia Tenggara. Sumber: Riza Arief Putranto (2021)
Pengurutan genom mengungkapkan adanya mutasi pada kedua sampel virus yang menginfeksi dua pasien ini. Mutasi E484K ditemukan pada sampel salah satu pasien. Mutasi ini telah ditemukan secara simultan di sejumlah negara. Sementara sampel pasien lainnya mengandung mutasi S477N, yang telah menyebar di New York sejak November 2020.
”Pasien-pasien ini mendapat vaksinasi, memiliki respons kekebalan yang hebat, tetapi tetap saja mengalami infeksi klinis,” kata Robert B Darnell, ahli virologi yang memimpin penelitian ini.
Dalam kajian ini, para peneliti mampu membedakan jumlah virus yang dapat dihitung dalam sampel air liur dari pengujian rutin yang sedang berlangsung di Rockefeller dan mengurutkan RNA virus menggunakan metode pengujian virus korona baru yang mereka kembangkan. Sejak Januari, universitas telah mewajibkan semua karyawan yang bekerja di lokasi untuk diuji setiap minggu menggunakan tes PCR berbasis air liur ini.
Pengamatan menyimpulkan bahwa mereka yang telah divaksinasi masih bisa terus menyebarkan virus. ”Orang yang telah divaksinasi penuh dan mengembangkan gejala pernapasan harus mempertimbangkan untuk menjalani tes Covid-19,” kata Darnell.
Menurut Darnell, mengingat tingginya kasus secara global, peluang besar bagi mutasi untuk berkembang dan menyebar juga sangat tinggi. ”Itu akan menjadi tantangan bagi para pengembang vaksin selama beberapa bulan dan tahun mendatang,” katanya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 23 April 2021