Sebagian Pulau Sumatera dan Kalimantan tertutup oleh kabut asap pekat akibat lalapan api yang menyambar hutan dan lahan kering. Lingkungan yang telah berubah serta dipicu El Nino yang meski lemah dan pengaruhnya selesai pada Agustus kemarin, telah menimbulkan kemarau panjang yang berdampak pada keterlambatan datangnya musim hujan. Ini menyebabkan lahan terlalu kering, termasuk pada daerah-daerah bergambut yang telanjur dieksploitasi dan belum berhasil direstorasi.
Bila api sudah membakar luas di areal bergambut yang kering, banyak pihak berpendapat, “Hanya hujan yang bisa memadamkannya,”. Dalam sebuah video kebakaran hutan di Sumatera Selatan yang diambil petugas dari udara, bulan Agustus lalu, tampak air yang tercurah dari bucket air yang dibawa helikopter water bombing seperti tetesan air di atas luasan lahan hitam yang membara dan berasap tebal.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Kebun masyarakat terbakar di wilayah Sabaru, Kota Palangkaraya,Senin (9/9/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada kebakaran lahan tahun 2015, juga di Sumatera Selatan, Kompas pernah menyaksikan satu tangki air mobil kebakaran tak berkutik untuk mengatasi satu lokasi kebakaran kecil, sekitar 50 meter persegi. Meski permukaan lahan tersebut tampak basah kuyup oleh semprotan air satu tangki, hanya kurang dari satu menit, asap putih tebal muncul dan kian membesar dari dalam tanah bergambut tersebut. Itu menjadi penanda bara api di dalam gambut masih belum berhasil dipadamkan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, kebakaran hutan dan lahan pada periode Januari – Agustus 2019 ini telah membakar 328.724 hektar hutan dan lahan (Kompas, 9 September 2019). Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman menyebutkan, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan mencapai 109,7 juta ton setara CO2 (karbondioksida). Ini terdiri emisi kebakaran gambut seluas 89.563 ha sebesar 82,7 juta ton setara CO2 dan kebakaran pada lahan mineral seluas 239.161 ha sebesar 27 juta ton setara CO2e.
Mendekati Konferensi Tingkat Tinggi Aksi Iklim di New York City, Amerika Serikat, 23-27 September 2019, yang rencananya dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia bisa dikatakan sebagai oleh-oleh “yang tak mengenakkan” bagi upaya penurunan emisi. Apalagi, prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) hingga Oktober 2019 kecamuk kebakaran hutan dan lahan masih berpotensi tinggi terjadi di Sumatera dan Kalimantan.
“Masak kita bawa oleh-oleh jelek,” kata Ruandha. Pernyataannya ini beralasan mengingat Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendengungkan agar negara-negara meningkatkan ambisi komitmen kontribusi penurunan emisi (NDC) periode kedua mendatang.
Di Indonesia, emisi kebakaran pada lahan gambut merupakan kontributor penting yang harus diturunkan dalam konteks mencegah dunia krisis iklim tak melampaui 2 derajat celsius. Sebagai acuan pengukuran yaitu pelepasan emisi gambut pada tahun 2010 sebesar 47 juta ton CO2e.
Ruandha mengatakan emisi kebakaran hutan dan lahan dari kebakaran hutan dan lahan selalu fluktuatif tiap tahun. Tapi ia mengatakan fluktuasi tersebut masih “aman” karena berada di bawah business as usual (BAU) atau penanganan seperti biasa.
Mahawan Karuniasa, Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim Indonesia (APIK Network), mengatakan fluktuatif akibat cuaca tersebut yang agar dijelaskan kepada dunia internasional. Hal itu mengingat kebakaran tak hanya melanda Indonesia, tapi juga hutan tropis Amazon di Amerika Latin dan hutan di Australia.
Namun Indonesia lagi-lagi tetap bakal menjadi sorotan karena gambutnya yang kaya akan cadangan karbon. Kebakaran membakar cadangan karbon yang disimpan dalam ketebalan gambut yang bisa mencapai belasan meter.
Meski kebakaran hutan dan lahan kembali berulang dan menimbulkan kabut asap yang menurunkan mutu udara jadi tidak sehat, bahkan membahayakan, di Pekanbaru Riau, Pontianak, Kalimantan Barat, dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah, perbaikan sistem dan komunikasi penanganannya diakui membaik. Peringatan akan potensi kebakaran sejak suatu daerah tak mengalami hujan selama 10 hari berturut-turut dari BMKG dengan cepat didistribusikan ke KLHK dan satuan tugas pengendalian kebakaran di daerah.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI–Helikopter bantuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membantu pemadaman kebakaran lahan di Desa Sri Gemilang, Siak pada 26 Juli 2019.
Langkah antisipasi
Dari sisi antisipasi, sejumlah pemerintah daerah sejak dini menyatakan status siaga kebakaran hutan dan lahan. Meski tampak sederhana, pernyataan status siaga ini menjadi syarat administrasi-birokrasi pemerintah untuk mengeluarkan anggaran negara. Langkah ini pun mendorong Manggala Agni bersama petugas TNI/Polri serta swadaya masyarakat desa-desa peduli api berpatroli untuk bersosialisasi dan memadamkan api sedini mungkin.
Kementerian Keuangan kini memberi keleluasan pemakaian dana bagi hasil dana reboisasi kepada daerah untuk digunakan dalam pencegahan kebakaran dan lahan. Ini bisa dimanfaatkan pemerintah daerah untuk melengkapi sarana-prasarana penanggulangan kebakaran lahan.
Efek jera dari penegakan hukum pun banyak disebut cukup berpengaruh terhadap berkurangnya titik api. Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan sejak 2015 memberikan sejumlah sanksi kepada perusahaan yang konsesi terbakar.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Perbandingan Upaya Pemadaman Karhutla Dari Tahun Ke TahunDipaparkan oleh Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Raffles Brotestes Panjaitan, Kamis (29/8/2019) di Jakarta.
Sanksi tersebut yaitu 168 pengawasan perusahaan, 65 sanksi administrasi, 325 surat peringatan, 17 gugatan/perdata (9 diantaranya inkracht senilai Rp 3,15 triliun), dan 4 pidana bagi korporasi. Ini belum termasuk pendekatan pidana yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan yang umumnya masih menyasar pelaku perseorangan.
Agar meminimalkan kriminalisasi masyarakat kecil atau perseorangan seperti ini, petani kecil atau pekebun kecil yang tak memiliki alternatif lain pembukaan lahan selain dengan cara membakar, agar diberi jalan keluar. Pemanfaatan alat mekanisasi maupun pendekatan teknologi lain serta pendampingan penyuluh pertanian akan sangat membantu.
Langkah yang tak kalah penting adalah, upaya pencegahan kebakaran melalui kebijakan politik untuk merestorasi gambut serta menjaga agar gambut tetap basah agar tidak kendor, apalagi dikendorkan. Dengan menjaga gambut tetap basah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah pun akan sangat susah terbakar.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 14 September 2019