Upaya Cerdik Mengatasi Demam Berdarah Dengue

- Editor

Senin, 9 Januari 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DlAM-DIAM penyakit demam berdarah dengue (DBD) terus mencari korban. Tahun lalu seperti dijelaskan Kepala Dinas Kesehatan DKI dr Aslan Lasman SKM di Jakarta tercatat 2.831 penderita dan 35 orang di antaranya meninggal dunia. Selain itu, DBD juga menunjukkan aksinya di Demak (Kompas, 18/11/95), Surabaya dan di Banjarmasin.

Meski tak terlalu menghebohkan, sesungguhnya DBD menyeramkan juga. Karena hingga kini penyakit yang disebabkan virus dengue itu belum ditemukan obatnya. Padahal sejak pertama kali berjangkit di Batavia, Kairo, dan Alexandria tahun 1779 penelitian terhadap virus dengue terus-menerus dilakukan. Sayang sampai sekarang para ahli virologi belum berhasil menemukan obat antiviral yang efektif untuk menanggulanginya.

Sungguhpun demikian, manusia tak pernah kehilangan akal. Kendati di bidang virologi belum ada kemajuan berarti, kalangan medis berusaha menemukan penyebab penularannya (vektor). Akhirnya, ditemukanlah vektor DBD, yakni nyamuk Aedes (Ae) aegypty dan Ae albopictus. Penanggulangan DBD pun difokuskan pada usaha memutuskan rantai penularannya, dengan cara memberantas vektornya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

DI Indonesia, DBD pertama kali berjangkit di Surabaya dan Jakarta tahun 1968. Waktu itu terdapat 58 kasus DBD di Surabaya, dan 24 (41,3 persen) di antaranya meninggal dunia. Sejak itu, jumlah kasus DBD di Indonesia cenderung bertambah banyak, kendati angka kematiannya semakin berkurang.

Anehnya, tiap 5 tahun sekali terjadi ledakan jumlah kasus, seperti pada 1973, 1977/1978,1983 dan 1988 (lihat tabel 1). Gejala inilah yang dinamakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), yang hingga kini belum diketahui penyebabnya.

Jika siklus Iima tahunan itu tetap berlangsung, maka tahun 1993 yang lalu seharusnya berlangsung KLB lagi. Namun syukurlah, wabah itu tidak terjadi. Tentunya hal ini disebabkan pengertian, kewaspadaan dan partisipasi masyarakat bersama-sama Departemen Kesehatan untuk menanggulanginya.

Ada pun virus dengue tergolong arbovirus (anthropod-borne virus), karena dapat menular melalui gigitan serangga.

Masa inkubasi intrinsik virus dengue atau tenggang waktu antara masuknya virus ke dalam tubuh manusia sampai terjadinya penyakit, berkisar 3 sampai 15 hari. Gejala klinis yang muncul pada penderita adalah: pertama, demam tinggi yang mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari.

Kedua timbul perdarahan secara bertahap. Mulai dari pendarahan ringan di bawah kulit berupa bintik-bintik kecil berwarna merah (petekia). Salah satu ciri penting DBD ini adalah bila kulit yang berbintik merah itu direnggangkan, maka bintik merahnya tetap kelihatan. Berbeda dari bintik merah bekas digigit nyamuk biasa, yang saat direnggangkan akan hilang.

Kemudian bintik-bintik itu bertambah besar (purpura) dan berbentuk seperti memar (ekimosisi). Lalu timbul pendarahan dari hidung atau mimisan (opistaksis). Ketiga, terjadi pembesaran hati dengan atau tanpa renjatan (shock). Keempat, berkurangnya jumlah trombosit. Kelima, meningginya nilai kekentalan darah (hematokrit) sebesar 20 persen dibandingkan pada masa penyembuhan (konvalesen).

Karena obat DBD yang efektif belum ditemukan, maka pengobatan yang dilakukan hanya bersifat simtomatik. Penderita DBD ringan biasanya diberikan aspirin. Namun, bila sudah mendekati mimisan, diberikanlah obat golongan kortikosteroid dengan dosis tinggi, seperti oradexon dan dexametoson. Obat ini tidak dapat mangatasi virus dengue, ia hanya berfungsi menahan laju kekentalan darah agar tidak terlampau tinggi dan membuat pasien tidak terlalu gelisah.

NYAMUK Ae aegypty mula-mula ditemukan Linnaeus di Mesir tahun 1762. Spesies ini bersifat kosmopolit, didapatkan hampir di seluruh benua yang beriklim tropis dan subtropis. Luas penyebarannya terletak pada garis isoterm 10 derajat celsius, antara 45 derajat Lintang Utara sampai 35 derajat Lintang Selatan, dan pada ketinggian kurang dari 1.000 m di atas permukaan laut.

Di Indonesia, nyamuk ini mula-mula ditemukan di Ujungpandang pada 1860 dan sejak 1954 telah tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Nyamuk Ae aegypty berciri warna dasar hitam tubuhnya dengan belang-belang putih pada badannya. Terutama terlihat jeias di kakinya. Sedang pada punggungnya (mesonotum) terdapat sisik-sisik halus putih yang menyerupai bentuk harpa (lyre form).

Nyamuk penular DBD ini bersifat antropofilik, yakni lebih suka mengisap darah manusia ketimbang hewan. Nyamuk betina biasanya lebih aktif menyerang daripada, yang jantan. Sebagian pakar menyatakan ada dua puncak kegiatan pengisapan darah. Pertama, sekitar pukul 08. 00 sampai 13.00. Kedua antara pukul 15.00 sampai 17.00.

Serangga ini akan menularkan virus dengue dari penderita DBD kepada orang yang sehat melalui air liurnya, ketika ia menghisap darah. Setelah kenyang, Ae aegypty beristirahat di dalam rumah (endofilik). Terutama ia hinggap di benda-benda yang bergantungan, seperti pakaian, kelambu, gorden atau perabotan rumah tangga. Tempat yang gelap, berbau dan lembap merupakan wilayah yang paling disukainya.

Ada pun nyamuk Ac albopictus, biasanya beristirahat di luar rumah (eksofilik). Ia hinggap pada tumbuhan galongan perdu dan rumput-rumputan di dekat tempat perindukannya yang tidak terkena sinar matahari secara langsung. Kendati demikian nyamuk Ae albopictus didapatkan pula di dalam rumah. Sebaliknya, Ae aegypty kadang berkeliaran di luar rumah.

Jarak jelajah kedua jenis nyamuk ini seakitar 50 m dari tempat perindukannya. Namun bila terbawa angin dan sarana transportasi, mereka dapat berkelana sampai 1-2 km. Di alam bebas, umur Ae aegypty berkisar antara 12-56 hari. Sedang Ae albopictus umurnya berkisar antara 12-40 hari.

SATU-SATUNYA cara efektif untuk menanggulangi DBD adalah mengendalikan kedua jenis nyamuk ini. Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa, biasanya dilakukan dengan malation 4 persen dalam bentuk asap (fogging) pada radius 100 m, mengingat jarak jelajah nyamuk tersebut yang hanya 50 m. Sedangkan larva nyamuknya dibasmi dengan abate temefos 1 persen berbentuk granula pasir.

Sebenarnya, cara yang paling murah dan aman untuk mengendalikan vektor DBD adalah pemberantasan sarang nyamuk. Kegiatan ini meliputi pertama, membuang atau mengganti air di tempat penampungan air (TPA) yang sehari-harinya dalam keadaan terbuka, seperti bak mandi dan vas bunga.

Kegiatan ini dilakukan sekali seminggu, agar daur hidup nyamuk yang berlangsung 8-10 hari tidak tercapai, hingga nyamuk tidak sempat menjadi dewasa. Kedua, menutup rapat TPA yang digunakan untuk memasak, seperti tempayan, drum, dan ember plastik. Supaya nyamuk dewasa tidak dapat masuk untuk bertelur.

Ketiga, meniadakan genangan-genangan air hujan di TPA yang berserakan di dalam atau di sekitar rumah. Seperti kaleng, botol, ban bekas, talang air dan aki bekas.

(Anni Sardjito, pemerhati masalah biologi, alumnus Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta)

Sumber: Kompas, 21 April 1996

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Minggu, 13 Maret 2022 - 17:24 WIB

Gelombang Radio

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB