Indonesia termasuk negara dengan tingkat kematian akibat gigitan ular tertinggi di dunia. Tiap tahun rata-rata ada 600 – 800 kasus gigitan ular berbisa di Indonesia, dan 10 persen korbannya meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA—Dokter Tri Maharani – Kekayaan ragam satwa Indonesia, termasuk berjenis-jenis ular yang mendiami alam Nusantara, memukau dunia. Namun, kekayaan ini menyimpan ancaman. Puluhan jenis ular di Indonesia memiliki bisa mematikan. Di antara sekitar 120.000 dokter Indonesia, ada satu dokter bernama Tri Maharani yang mengabdikan hidup dan ilmunya untuk menyelamatkan satu per satu nyawa korban gigitan ular berbisa. Nyawa yang kini masih terabaikan.
Ketika Covid-19 mendominasi pemberitaan di media massa, penyakit lain, seperti gigitan ular, menghilang dari radar global. Padahal, ratusan ribu orang sekarat, cacat parah, atau menderita efek jangka panjang lainnya akibat gigitan ular. Indonesia termasuk negara dengan tingkat kematian akibat gigitan ular tertinggi di dunia.
Tiap tahun rata-rata ada 600 – 800 kasus gigitan ular berbisa di Indonesia, dan 10 persen korbannya meninggal dunia. Angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata global 2 persen. Besarnya tingkat korban karena minimnya ketersediaan serum antivenom di rumah sakit di Indonesia.
Di tengah pengabaian negara, ada dokter perempuan dari Kediri, Jawa Timur yang mendapat penghargaan dunia karena dianggap berjasa mengatasi persoalan gigitan ular.
“Pada Hari Kesadaran Gigitan Ular Internasional yang diperingati tiap 19 September kami memberi penghargaan kepada 46 perempuan terpilih di dunia, yang berjasa dalam mengatasi penyakit yang diabaikan ini. salah satunya adalah dokter Tri Maharani dari Indonesia,” kata Birte Bogats-Mander, juru bicara Health Action International (HAI) dari Belanda, dalam surat elektronik, Minggu (20/9/2020).
Menurut Birte, Tri terpilih karena upayanya menyelamatkan nyawa para pasien gigitan ular. Salah satunya, menyelamatkan nyawa Martinus, bocah laki-laki berusia 12 tahun dari Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), dari gigitan ular bandotan puspo (Daboia siamensis) pada Januari 2020 lalu.
“Demi mengobati pasien ini, Tri bepergian ke Thailand dengan biaya sendiri untuk membeli antivenom dan harus bermalam di bandara karena tidak ada uang tersisa untuk hotel. Tri tanpa lelah berjuang melawan kematian dan kemelaratan yang disebabkan gigitan ular dan kami ingin dia mendapatkan pengakuan yang pantas dia dapatkan,” sebut Birte.
–Wujud ular hijau (Trimeresurus albolabris) yang diambil di Taman Nasional Baluran, Situbondo, perbatasan dengan Bondowoso, Provinsi Jawa Timur, dan difoto pada 19 April 2007. Sebanyak 87,5 persen kasus gigitan ular di Bondowoso, Jawa Timur, diakibatkan oleh jenis ular tersebut. Sayangnya, serum anti bisa ular yang tersedia di Indonesia tidak untuk menangani gigitan ular hijau. –LIPI/Amir Hamidy–19 April 2007
Ancaman yang diabaikan
Tri Maharani mengaku terhormat dengan penghargaan ini. Namun, perjuangan untuk mengatasi masalah ini di Indonesia masih panjang, karena minimnya perhatian negara. “Sebanyak 600 – 800 kasus gigitan itu yang kami terima laporannya, kenyataannya bisa jauh lebih banyak. Namun, gigitan ular berbisa ini masih diabaikan,” kata Tri, dokter yang juga Presiden Toksinologi Indonesia.
Selama delapan tahun terakhir, Tri mendedikasikan diri mengatasi persialan gigitan ular di Indonesia. Selain mengadakan pelatihan penanganan gigitan bisa ular untuk para tenaga kesehatan, dia kerap membantu pasien gigitan ular di berbagai daerah, dengan menggunakan dana pribadi.
Pengabaian persoalan gigitan ular ini, lanjut Tri, terlihat dengan tidak masuknya ancaman kesehatan ini dalam program di Kementerian Kesehatan, sehingga protokol penanganan, termasuk keberadaan serum antibisa ular juga tidak disediakan di berbagai daerah rawan. Rumah sakit dan para tenaga kesehatan juga tidak diajarkan untuk menangani persoalan ini.
“Saya telah mengusulkan agar ini dimasukkan dalam program pencegahan dan penanggulangan penyakit (P2P) di Indonesia sebagai bagian dari neglected disease, dijadikan satu dengan penanggulangan sengatan ubur-ubur, tawon dan aneka racun binatang lain yang belum ada yang menangani. Tetapi, sampai saat ini tetap belum ada perhatian,” kata Tri, yang menjadi penasihat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk masalah gigitan ular.
–Wujud ular hijau (Trimeresurus albolabris) yang diambil di Taman Nasional Baluran, Situbondo, perbatasan dengan Bondowoso, Provinsi Jawa Timur, dan difoto pada 19 April 2007. Sebanyak 87,5 persen kasus gigitan ular di Bondowoso, Jawa Timur, diakibatkan oleh jenis ular tersebut. Sayangnya, serum anti bisa ular yang tersedia di Indonesia tidak untuk menangani gigitan ular hijau.–LIPI/Amir Hamidy–19 April 2007
Tri mengatakan, Indonesia memiliki 77 spesies ular berbisa, termasuk ular laut. Jumlah ini sangat besar dibandingkann negara lain, misalnya Malaysia hanya memiliki 30 – 40 spesies, Thailand 40 spesies, Taiwan 6 spesies, dan India 45 spesies.
Dengan keragaman jenis ini, Indonesia hanya memiliki tiga serum antibisa atau antivenom, yaitu untuk gigitan ular kobra (Naja sputatrix), ular belang (Bungarus fasciatus), serta ular tanah (Agkistrodon rhodostoma). “Toga serum ini biasanya dipakai polivalen untuk lima jenis gigitan ular, karena kobra ada dua jenis, yaitu kobra jawa dan kobra sumatra, demikian juga welang ada dua jenis,” katanya.
Bahkan, Indonesia juga belum memiliki serum antibisa ular king kobra (Ophiophagus hannah), yang telah menelan banyak korban. “Untuk menangani pasien gigitan king kobra, saya biasanya harus ambil sendiri ke Thailand dan kebanyakan memakai biaya sendiri,” kata Tri yang mendonasikan gajinya sebagai dokter untuk membantu para pasien gigitan ular di Indonesia.
Menurut Tri, Indonesia memiliki keragaman jenis ular berbisa sangat tinggi, dan sebagian besar adalah endemik. Wilayah Sumatera, Jawa dan Kalimantan memiliki jenis ular berbisa yang mirip dengan daratan Asia, sehingga antibisanya banyak diproduksi di Thailand dan negara Asia lain. Sementara Papua memiliki kemiripan jenis ular dengan Australia, sehingga serumnya bisa diimpor dari Australia, sekalipun harganya mencapai puluhan juta rupiah.
“Namun, Zona Wallaceae, meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku serta Maluku Utara, memiliki beragam jenis ular yang tidak ditemukan di negara lain. Ini menyebabkan, kebanyakan ular berbisa di kawasan ini belum ada antivenomnya,” ungkapnya.
Lebih sulit lagi jika ada kasus gigitan ular berbisa di Zona Wallaceae, karena tidak ada satu negara pun yang memproduksi serumnya. “Seharusnya kita sendiri yang membuatnya, karena itu ular-ular di Wallacea kebanyakan endemik, termasuk juga ular lautnya tidak ditemukan di negara lain,” kata Tri.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 21 September 2020