Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan peringatan bahwa peretas China terpantau berusaha mencuri hasil riset AS dalam pengembangan obat dan vaksin Covid-19. China membantah dan mengklaim mereka justru lebih maju.
AFP/PHOTO BY NICOLAS ASFOURI—Dalam sebuah foto yang diambil pada 29 April 2020, seorang peneliti menunjukkan tabung vaksin eksperimental yang sedang diuji di fasilitas pengontrol kualitas milik Sinovac Biotech, Beijing, China. Vaksin yang dikembangkan Sinovac adalah salah satu vaksin yang telah lolos uji keamanan pada uji klinik fase I dan kini berada di fase II untuk melihat efikasinya melawan infeksi virus SARS-CoV-2, penyebab penyakit Covid-19.
Lanskap keamanan siber global semakin memanas bersamaan dengan semakin meluasnya pandemi Covid-19. Sejumlah negara dituduh melakukan serangan siber untuk mencuri informasi mengenai pengembangan vaksin dan obat untuk Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemerintah Amerika Serikat dalam waktu dekat akan mengeluarkan peringatan bahwa peretas China selama ini terpantau berusaha mencuri hasil riset AS dalam pengembangan obat dan vaksin untuk Covid-19.
China membantah hal ini, menyatakan bahwa saat ini ”Negeri Tirai Bambu” itu lebih maju dalam pengembangan obat dan vaksin.
Sejarah panjang China bertindak buruk di ruang siber itu sudah lumrah diketahui. Jadi bukan sesuatu yang mengejutkan apabila (China) berusaha menarget berbagai institusi yang terlibat dalam upaya AS menangani pandemi Covid-19.
Langkah AS ini diambil menyusul berbagai laporan peningkatan aktivitas kejahatan siber yang dilakukan oleh aktor-aktor yang bertindak atas nama negara (state actors) di sejumlah negara lain.
Melalui rancangan pengumuman yang diperoleh New York Times, Biro Investigasi Federal AS (FBI) dan Department of Homeland Security, Senin (11/5/2020) larut malam WIB, menyebut China berusaha mendapatkan berbagai informasi terkait dengan pengembangan vaksin, obat, dan tes Covid-19 melalui pencurian siber.
Pemerintah AS menyebut bahwa para peretas yang dikerahkan adalah nontraditional actors. Istilah ini dipercaya mengacu kepada sejumlah mahasiswa perguruan tinggi dan peneliti asal China di AS yang ”diaktivasi” untuk mencuri data dari dalam pusat penelitian akademis maupun laboratorium swasta.
Direktur Badan Keamanan Siber dan Keamanan Infrastruktur AS (CISA) Christopher Krebs mengatakan, pihaknya akan secara agresif melindungi kepentingan AS.
”Sejarah panjang China bertindak buruk di ruang siber itu sudah lumrah diketahui. Jadi bukan sesuatu yang mengejutkan apabila (China) berusaha menarget berbagai institusi yang terlibat dalam upaya AS menangani pandemi Covid-19,” kata Krebs.
China lebih maju
Pemerintah China pun langsung membantah dan menghalau tuduhan AS tersebut sebagai rumor tanpa dasar.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian dalam konferensi persnya mengatakan, pihaknya menjunjung tinggi keamanan siber dan telah menjadi korban serangan siber. China mengecam seluruh tindakan peretasan yang dilakukan oleh peretas.
Zhao menambahkan bahwa saat ini China adalah negara yang memimpin dunia dalam upaya pengembangan vaksin dan obat untuk Covid-19.
”Saat ini kami yang berada di posisi terdepan dalam riset vaksin dan obat Covid-19. Menuduh melalui rumor tanpa bukti itu tindakan imoral,” kata Zhao melalui laman resmi Kemlu China.
Kantor berita Xinhua melaporkan, sejumlah peneliti China juga membantah tuduhan AS. Disebut bahwa vaksin yang dikembangkan oleh kedua negara tersebut memiliki basis pengembangan yang berbeda; China mengembangkan vaksin dari virus yang dilemahkan, sedangkan AS melalui vaksin berbasis DNA dan RNA.
Menilik langsung laman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dua vaksin yang dikembangkan dua perusahaan AS, yaitu Moderna dan Inovio, memang menggunakan platform RNA dan DNA. Sementara tiga vaksin dari China; baik dari Wuhan Institute of Biological Products, Sinovac, maupun Beijing Institute of Biological Products menggunakan virus korona yang dibuat inaktif.
Polemik AS-China terkait serangan siber terkait riset Covid-19 tidak dapat dihindari memperpanas lanskap siber global beberapa waktu terakhir.
Akhir pekan lalu, investigasi Reuters mengungkap bahwa kelompok peretas yang diyakini memiliki kaitan dengan Iran telah meluncurkan sejumlah serangan siber ke perusahaan farmasi AS, Gilead Sciences, dalam beberapa pekan terakhir.
Salah satu contoh serangan yang diluncurkan pada April diketahui menggunakan modus phising laman login e-mail (surat elektronik/surel) untuk mencuri kode sandi pejabat tinggi perusahaan tersebut.
Peneliti intelijen firma keamanan siber asal Israel ClearSky, Ohad Zaidenberg, mengatakan, serangan tersebut adalah sebagian dari rangkaian upaya dari sekelompok peretas asal Iran untuk meretas masuk surel karyawan menyaru sebagai jurnalis.
Juru bicara perwakilan Iran di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Alireza Miyousefi, membantah ada serangan siber dari pemerintahannya kepada negara lain.
”Pemerintah Iran tidak terlibat dalam perang siber. Aktivitas siber yang Iran lakukan hanya bersifat defensif dan bertujuan untuk mempertahankan infrastruktur Iran dari serangan siber,” kata Miyousefi dilaporkan Reuters.
Gilead adalah produsen obat bernama generik remdesivir, satu-satunya obat yang telah teruji berdampak efektif mempercepat pemulihan pasien Covid-19.
Firma keamanan siber asal AS, FireEye, pada akhir April lalu juga menemukan bahwa kelompok peretas bernama APT32 yang berkaitan dengan Pemerintah Vietnam diketahui berusaha meretas masuk ke akun surel milik staf Kementerian Manajemen Kedaruratan China dan Pemerintah Kota Wuhan.
Serangan ini juga terkonfirmasi oleh firma perangkat lunak keamanan siber asal Slovakia, ESET. APT32 diketahui beberapa bulan terakhir telah menarget sejumlah instansi pemerintahan lain di Asia dan juga aktivis politik domestik oposisi Pemerintah Vietnam.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam Ngo Toan Thang membantah tuduhan tersebut. ”Vietnam melarang seluruh bentuk serangan siber,” ujarnya.
Oleh SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Editor KHAERUDIN KHAERUDIN
Sumber: Kompas, 12 Mei 2020