Apakah perkembangan dunia media digital juga berpengaruh pada produksi salah satu surat kabar terbaik di dunia seperti The New York Times?
Apakah slogan “All the News That’s Fit to Print” yang digaungkan pendirinya masih berlaku dalam era ketika berita diproduksi dalam ketergesaan dan kepastian informasi harus menunggu beberapa saat? Dua pertanyaan ini hanyalah sebagian kecil dari sejumlah pertanyaan menarik untuk melihat kondisi koran yang terbit sejak 1851 itu.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita bisa melihat apa yang ditulis oleh Nikki Usher, asisten profesor di George Washington University, yang menulis buku Making News at The New York Times (University of Michigan Press, 2014). Buku ini karya Usher dalam bentuk disertasi PhD-nya di University of Southern California, Annenberg School of Communication and Journalism. Yang menarik, buku ini ditulis dengan gaya jurnalisme narasi sehingga “bau” tulisan disertasi yang ilmiah jadi agak tergeser.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Usher menulis buku setelah ia bergabung dengan redaksi The New York Times (NYT) selama lima bulan pada 2010 dan ia melakukan penelitian dengan metode etnografi dengan wawancara mendalam tak kurang dari 80 wartawan NYT dan merekam bagaimana reaksi mereka terhadap perubahan yang terjadi pada surat kabar mereka.
Di luar buku Usher ini, kita juga ingat akan suatu film dokumenter bikinan Andrew Rossi dan David Carr, Page One: A Year Inside the New York Times (2011), yang juga menggambarkan bagaimana transformasi terjadi dalam diri NYT yang baru saja memiliki divisi multimedia.
Buku Usher ini menggambarkan adanya ketegangan antara apa yang ingin dilakukan koran ini untuk terus memperbarui beritanya lewat media online, lalu muncul persoalan ketika isi media harus bisa interaktif dengan pembaca, tetapi di sisi lain, koran ini juga harus terus menjadi penentu kebijakan dan menjadi arah pemberitaan di Amerika.
Ada tiga kata kunci dalam dunia media online saat ini: kesegeraan, interaktivitas-dalam bentuk video maupun grafik interaktif-dan partisipasi. Tiga nilai ini, menurut Usher, menjadi sumber ketegangan di NYT, tetapi juga sekaligus sarana terjadinya perubahan dalam diri koran yang pernah memiliki pemimpin redaksi perempuan, Jill Abramson, itu.
Banyak wartawan di NYT yang, tadinya merasa selesai pekerjaannya dengan menulis berita, kini menambah kegiatan lain: mencicitkan isi berita yang telah dipublikasikannya, menambah pembaruan berita yang telah ditulisnya. Terkadang itu juga artinya si wartawan harus menjawab banyak pertanyaan yang diajukan pembaca, baik lewat Facebook maupun Twitter. Sejumlah wartawan merasa tak tahu apakah mereka senang atau tidak dengan kondisi ini, tetapi begitulah hal ini berjalan dan mengubah kebiasaan mereka sebelumnya.
Tupai-isasi
Dean Starkman, editor Columbia Journalism Review, pernah mengecam perkembangan dunia media online saat ini, tak ubah ibarat seekor tupai yang berlari di lingkaran dalam sarangnya. Binatang pengerat kecil ini terus-menerus berlari walaupun sebenarnya ia tak pernah beranjak ke mana-mana. Lingkaran yang mengitari tupai itu tak menekankan soal kesegeraan, tetapi soal gerakan demi gerakan itu sendiri. Analogi ini dikutip Usher menggambarkan bagaimana kritik ditujukan kepada kondisi media online saat ini.
Dalam perkembangan setakat ini, industri media hari-hari ini sangat menekankan kesegeraan dalam memublikasikan informasi, tak peduli apakah informasi sudah lengkap atau belum, apakah faktanya sudah akurat atau belum. Penekanan yang dilakukan oleh para editor saat ini adalah jumlah berita yang diproduksi ketimbang kualitas berita yang diterbitkan.
Interaktivitas adalah nilai lain yang juga dianggap sangat penting. Interaktivitas di sini dimaknai sebagai pelibatan pembaca terhadap isi media online NYT. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti lebih banyak foto yang ditampilkan via media online daripada yang bisa muncul pada harian, kemudian juga muncul grafik interaktif yang mendukung isi berita, serta adanya percakapan dengan para pembaca.
Inti interaktivitas ini, menurut Usher, adalah pelibatan pembaca yang berarti pembaca akan lebih lama membaca dan tinggal dalam situs NYT. Pembaca yang lama tinggal di situs ini nantinya akan tercatat dalam web metric sebagai dasar untuk menggaet para pengiklan masa kini. Hal ini penting mengingat kebiasaan pembaca media online yang mudah berselancar dari satu situs ke situs lain.
Seorang ahli komunikasi generasi awal, Ithiel de Sola Pool, pernah memprediksi rupa penerbitan elektronik masa depan dalam buku yang ia tulis pada 1983, Technologies of Freedom. Menurut De Sola Pool, “penerbitan elektronik di masa depan akan makin menyerupai permainan (game) elektronik, ketika unsur cahaya dan suara akan muncul di antara kata-kata yang dihasilkannya. Pemain yang akan memulai permainan dan mesin akan merespons dalam cara yang interaktif”.
Ditarik ke konteks sekarang, situs berita sedemikian rupa terkonvergensi antara media berbasis teks, ditambah dengan video, seri foto, efek suara, terkadang juga tampil dalam bentuk Podcast, misalnya. Sungguh luar biasa apabila De Sola Pool sudah pernah membayangkan kondisi tersebut tiga dekade sebelumnya. Maka, hari ini jurnalis yang memiliki kemampuan dalam perancangan web, pemrograman, pembuatan video, dan pengambilan foto akan lebih dibutuhkan sekarang ini ketimbang wartawan yang “cuma” memiliki keterampilan menulis.
Dari penelitian Usher ini ditemukan bahwa menggarap item pemberitaan yang memungkinkan adanya interaktivitas dengan pembaca adalah yang paling sukar dilakukan. Artinya, menggarap item berita yang demikian tak dapat dilakukan setiap hari dan hal ini hanya bisa diterapkan pada pemberitaan yang tenggatnya lebih luwes.
Konteks Indonesia
Ada banyak hal yang bisa ditarik manfaatnya dari membaca buku Nikki Usher ini bagi konteks perkembangan jurnalistik di Indonesia. Transformasi media ini tidak hanya terjadi di Amerika dalam diri The New York Times, tetapi juga bagi media yang ada di Indonesia. Bagaimanapun, praktik media online yang segera, interaktif, dan partisipatif telah juga dilakukan di Indonesia lebih dari satu dasawarsa lalu. Namun, masalahnya, belum banyak riset mendalam dilakukan untuk memahami lebih jauh gejala yang tengah berubah ini di Indonesia.
Hal pertama, misalnya, apakah kehadiran media online ini akan membuat jurnalisme media arus utama akan tergeser? Jika tidak, strategi konvergensi macam apa yang bisa diterapkan untuk menyatukan keduanya? Apakah strategi konvergensi media ini juga sama dengan strategi monetisasinya? Hal terakhir ini yang dianggap menjadi misteri besar bagi perkembangan media online, ketika makin hari makin banyak orang yang ingin masuk di dalamnya.
Hal berikut adalah mengevaluasi sisi produksi informasi yang ada saat ini, baik dari mereka yang memproduksinya maupun isi informasi yang dihasilkan. Apakah kriteria lama soal layak berita tak lagi menjadi pegangan satu-satunya dan sebaliknya unsur sensasionalisme menjadi mengemuka bagi media online pada saat ini? Berita apa saja yang mudah ditransformasikan untuk menjadi interaktif, dan berita seperti apa yang sulit mengadopsi model demikian?
Di luar ihwal praktik produksi informasi dilakukan oleh para wartawan, bagaimana pula kita menilai informasi yang dihasilkan dalam bentuk partisipasi masyarakat (atau kerap juga disebut sebagai wartawan warga)? Di mana batas-batas peliputan wartawan warga ini?
Jika sejumlah penelitian ini bisa dikerjakan di Indonesia, dunia akademis serta dunia industri di Indonesia bisa mendapatkan masukan atas perkembangan yang terjadi saat ini, dan transformasi yang terjadi ini pun akan tercatat dan jadi bahan pembelajaran untuk perubahan teknologi komunikasi pada kegiatan jurnalistik yang makin canggih terjadi di kemudian hari.
Ignatius HaryantoPeneliti Senior di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 April 2015, di halaman 7 dengan judul “Transformasi “The New York Times””.