Indonesia memiliki potensi ekonomi digital yang besar. Namun, untuk memanfaatkannya, perlu SDM yang mumpuni. Inilah pekerjaan rumah Indonesia saat ini. Tingkat inovasi teknologi Indonesia termasuk terendah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/PRIYOMBODO—Suasana kerja di kantor perusahaan pembayaran elektronik Doku di Jakarta, Selasa (22/10/2019). Ekosistem ekonomi digital Indonesia semakin matang seiring pesatnya pertumbuhan industri digital Tanah Air. Menurut laporan e-Conomy SEA 2019 oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di Asia Tenggara dengan persentase 49 persen.
Ekonomi digital diharapkan pemerintah dapat menjadi sektor yang mengantarkan Indonesia lepas dari middle income trap, jebakan pendapatan menengah. Namun, banyak persoalan mendasar yang harus dipenuhi untuk mencapai mimpi negara maju pada 2045.
Ekonomi digital menitikberatkan pada kemampuan inovasi teknologi suatu negara, tetapi Indonesia masih tertinggal di bidang inovasi, bahkan dibandingkan dengan sesama negara Asia Tenggara.
Mengutip laporan Global Innovation Index, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, pada Senin (28/9/2020), tingkat inovasi Indonesia dikategorikan rendah, 85 dari 131 negara. Bahkan, Indonesia peringkat ketujuh di ASEAN, di bawah Singapura (posisi 8 dunia), Malaysia (33), Vietnam (42), Thailand (44), Filipina (50), dan Brunei Darussalam (71).
RISTEK-BRIN—Perbandingan tingkat inovasi Indonesia dengan Singapura dan Malaysia berdasarkan laporan Global Innovation Index 2020.
Padahal, menurut Bambang, kunci lolos dari jebakan pendapatan menengah ini adalah berani melakukan perubahan paradigma menjadi ekonomi berbasis inovasi.
Dibandingkan dengan negara yang tingkat inovasinya lebih baik, Bambang menilai, Indonesia masih tertinggal di tiga aspek, yakni rendahnya dukungan secara institusional (institutional support), sumber daya manusia dan riset, serta kemajuan berbisnis (business sophistication).
Bambang mencontohkan, keberhasilan Jepang dan Korea Selatan lepas dari jebakan ini bermula fokus membangun sumber daya manusia, yang kemudian diarahkan untuk berinovasi di sektor manufaktur.
”Jadi, komponen penting untuk mencapai innovation-driven economy ini adalah pada aspek manusianya,” kata Bambang sebagai pembicara kunci dalam International Conference on Engineering and Information Technology for Sustainable Industry (Iconetsi) yang digelar oleh Swiss German University (SGU) secara virtual.
Indonesia menyimpan potensi ekonomi digital yang sangat besar. Dalam laporan Google mengenai ekonomi digital Asia Tenggara berjudul ”e-Conomy SEA 2019”, Indonesia memiliki ekonomi digital yang paling besar dan paling cepat pertumbuhannya. Pada 2019, nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan 40 miliar dollar AS atau sekitar Rp 600 triliun dan diproyeksikan akan menembus 130 miliar dollar AS (Rp 2.000 triliun) pada 2025.
RISTEK-BRIN—Perbandingan tingkat entrepreneurship Indonesia dengan Singapura dan Malaysia berdasarkan laporan Global Entrepreneurship Index 2019.
Namun, untuk Indonesia bisa benar-benar bertransformasi pada ekonomis berbasis inovasi, menurut dia, menghadapi dua tantangan besar pada aspek manusia. Pertama, peningkatan kualifikasi talenta teknologi informasi dan komputer. Kedua, tingkat entrepreneurial yang masih rendah.
Untuk itu, Bambang berharap perguruan tinggi dapat menyiapkan lulusan yang tidak hanya memiliki kualifikasi pada disiplin ilmu masing-masing, tetapi juga memiliki semangat entrepreneurial yang baik. Tanpa kemauan untuk menciptakan usaha, keinginan mewujudkan sektor ekonomi digital yang maju tidak akan tercapai.
Rektor SGU Filiana Santoso mengatakan, memang penting bagi suatu institusi pendidikan untuk sensitif terhadap kebutuhan industri dan memupuk jiwa entrepreneurship.
Keberadaan pendidikan kewirausahaan menjadi sesuatu yang mendasar di dunia pendidikan masa kini. Hal ini mengingat karakter mahasiswa yang sudah berubah. Menurut Filiana, generasi Z memiliki semangat entrepreneurial yang jauh lebih besar dibanding generasi-generasi sebelumnya.
”Kita harus bisa memanfaatkan mindset dari generasi Z ini,” kata Filiana.
Indonesia dikategorikan sebagai negara berpenghasilan menengah tinggi (rentang pendapatan nasional bruto atau PNB per kapita 4.046-12.535 dollar AS), naik dari negara berpendapatan menengah rendah (PNB per kapita 1.036-4.045 dollar AS). Klasifikasi itu berdasarkan PNB per kapita 2019 (Kompas, 16/9/2020).
Penyelarasan riset teknologi
Riset dan inovasi teknologi Indonesia pun perlu diselaraskan, antara akademisi dan industri. Pemerintah, menurut Bambang, perlu menjadi jembatan di antara kedua dunia tersebut. Untuk benar-benar mendapatkan inovasi teknologi yang berdampak bagi masyarakat, industri perlu bersedia turut berkontribusi di sisi hulu penelitian, sedangkan dunia ilmiah perlu juga melihat apa yang dibutuhkan industri di hilir.
”Kalau tidak cocok bagi industri, ya, hasil risetnya tidak terpakai. Perusahaan harus mau diajak ke hulu dan peneliti juga bisa melihat ke hilir,” kata Bambang.
Iconetsi adalah salah satu konferensi yang berfokus pada penerapan teknologi dalam industri dalam rangkaian International Conference on Innovation, Entrepreneurship, and Technology (Iconiet) SGU.
Ketua Panitia Iconiet Maulahikmah Galinium mengatakan, penyelenggaraan konferensi ini bertujuan membahas bagaimana sistem informasi dan teknologi dapat dimanfaatkan dalam industri. Hal ini diharapkan dapat mempertemukan industri dan akademisi untuk menciptakan inovasi yang berguna bagi masyarakat.
Oleh SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Editor: KHAERUDIN KHAERUDIN
Sumber: Kompas, 28 September 2020