Tinggi, Kenaikan Muka Laut di Timur

- Editor

Kamis, 28 April 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pemantauan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, kenaikan muka laut sebagai dampak pemanasan global di Indonesia bagian timur lebih tinggi. Pemantauan dari 113 stasiun pasang surut, kenaikan muka laut itu rata-rata 9 milimeter per tahun.

”Wilayah lain 3 milimeter sampai 8 milimeter per tahun,” kata Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Asep Karsidi dalam Lokakarya Dampak Kenaikan Permukaan Laut di Bogor, Rabu (27/4).

Kenaikan muka laut berdampak pada berkurangnya daratan. Pulau-pulau kecil di garis terdepan wilayah Indonesia yang jadi titik penanda garis batas negara pun terancam hilang. ”Dapat menimbulkan konflik batas wilayah dengan negara lain,” kata Asep.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kenaikan muka laut yang cukup tinggi, terutama di Jawa bagian utara. Kenaikan muka laut itu juga dipengaruhi penurunan tanah. Namun, hingga saat ini belum diperoleh data akurat laju penurunan tanah itu.

Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata dalam sambutannya mengatakan, pemerintah sangat butuh kelengkapan data dan informasi geospasial seluruh wilayah Indonesia. Itu untuk kepentingan MRV (monitoring, reporting, and verification) dampak pemanasan global.

”Anggaran pemerintah terkait ilmu pengetahuan ini Rp 10 triliun. Masalahnya, bagaimana bisa menyinergikan anggaran untuk menghasilkan program yang efisien dan efektif,” kata Suharna.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Sri Woro B Harijono mengatakan, pemanasan global penyebabkan perubahan iklim menjadi sorotan negara maju. Bahkan, beberapa negara membangun kementerian khusus masalah perubahan iklim tersebut,

antara lain Selandia Baru (2005), Skotlandia dan Australia (2007), Inggris, Belgia, dan Denmark (2008). ”Saat ini banyak sekali pertemuan di tingkat global mengenai perubahan iklim. Namun, masih didominasi perdagangan karbon,” kata dia.

Terkait perubahan iklim, ujar Sri Woro, tak kalah penting meningkatkan pemantauan dampak sebagai basis data keilmuan. Data itu menunjang aspek mitigasi dan adaptasi.

”Fenomena cuaca tak menentu, seperti siklon tropis itu sangat penting. Melalui basis data yang diketahui, selanjutnya dapat untuk menetapkan kebijakan adaptasi,” kata dia. (NAW)

Sumber: Kompas, 28 April 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Berita Terbaru

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB