Pesawat berbadan putih dengan logo daun maple itu mendarat di Bandar Udara Internasional Pierre Elliott Trudeau, Montreal, Kanada. Ketika makin mendekati terminal, terbacalah tulisan ”Air Canada” berwarna merah. Itulah pesawat jenis Embraer 190 milik Air Canada.
Inilah sebuah ironi. Tentu bukan sekadar soal Embraer—pesawat produksi Brazil yang mendarat di Trudeau, yang menjadi markas manufaktur pesawat Bombardier. Akan tetapi, Air Canada—flag carrier atau maskapai nasional Kanada—justru menerbangkan Embraer.
Tidak tanggung-tanggung, dimulai sejak tahun 2006, Air Canada kini menerbangkan 45 unit Embraer 190. Di sisi lain, Air Canada justru tidak memiliki Bombardier—produk kebanggaan dirgantara Kanada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bila dianalogikan, ini sama anehnya bila seandainya anggota keluarga Kerajaan Inggris mengemudikan Renault, atau Presiden Perancis membeli mobil dinas Rolls-Royce. Kaisar Jepang mengemudikan Hyundai, atau Presiden Korea naik mobil dinas Honda.
Namun, itulah bisnis penerbangan. Berbagai macam pertimbangan melandasi keputusan pembelian pesawat. Terkadang terdengar irasional, tetapi itulah realitasnya.
Realitas itu ada kalanya sulit dipahami. Sesulit memutuskan mana pesawat terbaik dari antara tiga pesawat berkapasitas 100 kursi (sub-100) dengan spesifikasi nyaris setara. Apakah Bombardier CRJ 1000 NextGen pesanan Garuda? Apakah Embraer 190 pesanan Sriwijaya Air? Ataukah, Sukhoi Superjet 100 (SSJ 100) pesanan Sky Aviation dan Kartika Airlines?
Tampaknya memang sulit menentukan pesawat terbaik hanya dalam ”pandangan pertama”. EVP Maintenance and Fleet Management Garuda Indonesia Batara Silaban pun menegaskan, ”Banyak hal yang harus dipertimbangkan.”
Menurut Batara, pertama-tama harus dikerjakan analisis pasar dan jaringan (network). ”Hal ini menentukan jenis pesawat, apakah tetap Boeing 737-800 NG (dalam kasus Garuda), atau kami harus memilih pesawat dengan 100 kursi,” ujar Batara.
Ketika awal tahun 2011 Garuda mengirim sinyal butuh pesawat dengan spesifikasi 100 kursi, hal itu langsung direspons manufaktur. Bombardier dan Embraer mengirim pesawat ke Cengkareng. Lalu digelar joy flight dari Cengkareng, dan dua pesawat sub-100 itu ”dibedah” di Garuda Maintenance Facilities (GMF) AeroAsia.
”Ada kriteria lain dari Garuda. Kami ingin manufaktur yang dapat memproduksi pesawat sesuai dengan rencana bisnis Garuda. Juga pesawat itu terbukti andal,” ujar Batara.
Andal memang salah satu kata kunci. Bombardier CRJ 1000 kini dipercaya menerbangkan penumpang Lutfhansa CityLine, Alitalia, J-Air, dan Shanghai Airlines.
Dalam beberapa joy flight, sejumlah anggota Garuda Frequent Flyer (GFF) diikutsertakan. ”Lalu, kami meminta pendapat dan masukan mereka dalam memilih pesawat,” kata Batara.
Singkat kisah, Garuda akhirnya menandatangani pembelian 18 unit Bombardier CRJ 1000 NextGen pada 10 Februari 2012. Pesawat pertama akan tiba pada Oktober 2012.
Dari sisi harga, Bombardier CRJ 1000 NextGen terbilang mahal. Per unitnya dihargai sekitar 46 juta dollar AS (setara Rp 414 miliar). Bandingkan dengan Embraer 190 dan SSJ 100 yang dihargai sekitar 32 juta dollar AS (setara Rp 288 miliar).
Sayangnya, manajemen Sriwijaya Air tertutup soal pilihannya atas Embraer 190. Padahal, toh Air Canada memercayai Embraer 190. Hingga 31 Maret 2012, bahkan tercatat pesanan 552 unit E-190 dan sudah dikirim 402 unit E-190.
Pada November 2011, Kompas juga pernah menjajal Embraer 190 milik KLM dari Amsterdam (Belanda) ke Hamburg (Jerman). Relatif nyaman. Pesawat tersebut juga antara lain diterbangkan oleh JetBlue, US Airways, dan AeroMexico Connect.
Seorang manajer Sriwijaya Air sempat membisikkan, ”Embraer dipilih karena langit-langitnya yang lebih tinggi”. Alasan yang sederhana tetapi rasional. Tinggi kabin E-190 mencapai 2 meter, lebih tinggi dari kabin Bombardier CRJ 1000 yang 1,89 meter. Akan tetapi, tinggi kabin SSJ 100 malah mencapai 2,12 meter!
Kabin yang sesak, harga lebih mahal, apa yang didapat Garuda dari Bombardier? Jawaban teknologi jelas memicu debat kusir. Namun, Batara punya jawaban jitu. ”Bombardier setuju mengajari GMF untuk merawat pesawat kami. Bahkan, GMF dapat menjadi approved support facilities untuk Bombardier di regional ini,” ujar Batara.
Bagaimana dengan SSJ 100? Ditemui di ruang kerjanya, General Manager PT Sky Aviation Sutito Zainudin—pembeli 12 unit SSJ 100—mengatakan, maskapainya membeli dengan pertimbangan matang. ”Surveinya lama,” kata Sutito.
Pengamat penerbangan Chappy Hakim pun tanpa ragu mengatakan, dari spesifikasinya, inilah salah satu pesawat komersial terbaik. Meski demikian, sejauh ini SSJ 100 baru diterbangkan Aeroflot dan Armavia Airlines.
Serupa dengan Chappy, pengamat penerbangan Dudi Sudibyo berpendapat—terlepas dari tragedi Gunung Salak, inilah salah satu pesawat sub-100 terbaik. ”Kecelakaan itu harus diusut, tetapi ini bukan pesawat yang jelek,” kata Dudi yang setiap tahun pergi ke Toulouse, markas besar Airbus di Perancis. ”Konsultannya Boeing. Mesinnya buatan Perancis. Kokpitnya merupakan minikokpit dari Airbus A380,” ujar Dudi.
Tragedi di Gunung Salak menghadirkan kisah berbeda, tak sesuai ekspektasi Sukhoi atau siapa pun. Namun, Dudi yakin, perjalanan Sukhoi masih berlanjut. Bagi maskapai pemesan SSJ 100, Dudi berpesan, ”Mintalah offset signifikan karena (maskapai) akan memberi feedback, masukan untuk pengembangan.”
Kembali ke pertanyaan, manakah pesawat terbaik? Tentu harus dikembalikan kepada berbagai kriteria yang disusun maskapai pembeli….
Oleh HARYO DAMARDONO-Eko Hendrawan Sofyan
Sumber: Kompas, | Jumat, 25 Mei 2012 | 07:25 WIB