Akhir-akhir ini beberapa wali kota dan gubernur telah mengumandangkan status atau rencananya menjadikan kotanya menjadi smart city. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah meluncurkan sebagian aplikasi smart city-nya pada 15 Desember lalu.
Wali Kota Bandung sedang menyiapkan command room dengan seragam ”Startrek”-nya, suatu ruangan operasi kota secara digital yang diharapkan mengetahui pergerakan kota tiap menit. Demikian juga Wali Kota Bogor dengan green and smart room-nya. Surabaya dengan aplikasi finger print serta rencana Wali Kota Makassar dengan pembuatan kartu identitas dan pembayaran elektroniknya.
Pertanyaannya adalah apakah itu semua sudah disebut smart city? Kenyataannya Bandung sedang dilanda banjir, Jakarta masih macet, masih banyak pedagang kaki lima, dan lain sebagainya? Selanjutnya apakah smart city itu baru sebatas jargon atau hanya sebagai pencitraan kota (city branding)? Ataukah smart city itu suatu konsep kerangka kerja atau untuk pemasaran (gimic marketing)?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika suatu kerangka kerja, apakah smart city bisa dibangun dalam tiga atau empat tahun? Ini yang selalu diembuskan oleh gubernur, wali kota, bupati, atau pejabat baru. Tentu saja ini suatu hal yang wajar karena masa kerja mereka hanya lima tahun.
Sebagai penggiat dan peneliti smart city, penulis telah melakukan beberapa observasi di berbagai belahan dunia, di antaranya Eropa dan Asia. Ternyata selain industri, beberapa kota dan organisasi sedang bergiat meningkatkan inovasi kota dengan menamainya sebagai smart city.
Jika melakukan pencarian (googling) di internet, kita akan menemukan banyak sekali konsep ataupun definisi smart city. Namun, pada inti dan umumnya smart city adalah suatu usaha mengelola sumber daya kota, baik alam, lingkungan, manusia, kelembagaan, kemitraan, maupun interaksi kota yang cerdas dan gegas (umumnya teknologi, informasi, komunikasi/TIK membantu). Tujuannya adalah mewujudkan kota yang aman, nyaman, dan berkelanjutan.
Anatomi kota
Salah satu organisasi dunia yang konsen terhadap pembangunan smart city adalah Cityprotocol.org, yang setiap tahun menyelenggarakan world congress on smart city. Organisasi ini tengah mengusulkan suatu konsep dengan memandang atau menganalisis suatu kota seperti tubuh manusia.
Kota adalah rangkaian dari sistem-sistem (systems of sytems), bisa dilihat dari sektor transportasi, kesehatan, pendidikan, bencana, dan lain-lain, tetapi juga bisa dilihat dari kewilayahan (kelurahan, kecamatan) ataupun kehidupan lainnya.
Cityprotocol.org telah mengusulkan basis anatomi kota menjadi tiga komponen utama, yaitu (1) struktur, (2) interaksi, dan (3) masyarakat. Setiap komponen dibagi dengan beberapa lapisan (layer).
Lapisan pertama dari komponen struktur kota adalah lingkungan yang dibentuk oleh tiga elemen dasar: air, udara, dan bumi. Ketiga elemen itu memiliki pengaruh besar dalam persoalan banjir, longsor, dan lain-lain. Infrastruktur adalah lapisan kedua dari komponen struktur. Lapisan ini pendukung dari pergerakan air, materi, energi, dan lain-lain. Sementara lapisan ketiganya tersusun dengan nama domain pembangunan (built domain), seperti bangunan rumah, gedung, distrik, hingga megapolitan.
Komponen interaksi terdiri atas empat lapisan: fungsi kota, ekonomi, budaya, dan informasi. Fungsi kota menyangkut kehidupan, kerja, pendidikan, belanja, hingga seni pertunjukan. Sementara lapisan budaya melibatkan tradisi, nilai, dan cara penduduknya mengelola kehidupan.
Adapun lapisan informasi dibangun oleh sistem operasi kota (city operating system), indikator kinerja kota.
Kota cergas
Walau masih menunggu masukan dari publik untuk perbaikan, cara pandang Cityprotocol.org tersebut sangat komprehensif dan bisa menjadi acuan pemangku kepentingan kota untuk membangun suatu kota idaman.
Dihubungkan dengan jargon smart city, konsep anatomi kota tersebut saat ini telah menjadi pegangan kongres dunia tentang smart city yang setiap tahun diagendakan di Barcelona, Spanyol.
TIK memang memiliki peran penting , terutama dalam komponen kedua, yaitu interaksi. Dengan adanya interaksi di komponen pertama dan ketiga, pemahaman tentang kota dan tindakan untuk mengatasi persoalan bisa dilakukan dengan cerdas dan gegas (cergas).
Sementara itu, diskusi dengan beragam kalangan, padanan kata smart city diusulkan dengan nama kota cergas, gabungan dua kata: cerdas dan gegas. Kata ini sedang dalam proses usulan masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Di Indonesia, ada beberapa prakarsa untuk mengukur suatu kota, apakah kota sedang menuju kota cergas atau hanya ikut-ikutan, masih inisiasi, sudah mulai membangun terpisah, atau sudah terintegrasi.
Salah satu unit di Institut Teknologi Bandung telah mengusulkan suatu pengukuran tingkat kematangan kota cergas yang disebut sebagai Garuda Smart City Maturity Model.
Pengukuran ini melibatkan 3 sektor pengungkit (enabler), 3 sektor utama, dan 5 level kematangan. Tiga sektor pengungkit adalah manusia, tata kelola, dan TIK, sementara tiga sektor utama adalah lingkungan, masyarakat, dan ekonomi. Ada 111 indikator pendukung.
Selain pengukuran, juga telah dikembangkan karya anak bangsa, yaitu platform kota cergas (smart system platform) sebagai otak interaksi antara komponen struktur dan masyarakat.
Membangun kota cergas tidaklah sederhana, bisa terwujud dalam 5-10 tahun saja sudah luar biasa. Dibutuhkan suatu kesabaran, fondasi dan rencana jangka panjang yang kuat.
Suhono Harso Supangkat,
Guru Besar ITB, Koordinator Prakarsa Kota Cergas Indonesia;Anggota Cityprotocol.org
Sumber: Kompas, 31 Desember 2014