Hasil penelitian BaliFokus pada 2015 menunjukkan bahwa belum ada perubahan perilaku produsen cat dalam hal penggunaan timbal. BaliFokus menemukan 83 persen cat enamel mengandung timbal dengan konsentrasi membahayakan, yakni lebih besar daripada batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia sebesar 90 ppm.
“Sekalipun menggunakan Standar Nasional Indonesia yang mematok batas maksimal penggunaan timbal 600 ppm, penelitian menunjukkan 78 persen sampel melampaui batas SNI itu,” kata Direktur BaliFokus Surya Anaya, Jumat (19/6), di Jakarta.
Menurut Surya, salah satu penyebab sulitnya mengatur produsen cat beralih dari pigmen timbal ke pigmen nontimbal adalah tidak adanya regulasi yang tegas untuk melarang atau membatasi penggunaan timbal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Satu-satunya regulasi yang mengatur penggunaan timbal hanya proses pengujian Standar Nasional Indonesia (SNI), sifatnya juga masih sukarela, belum SNI wajib. “Konsentrasi timbal 600 ppm sebenarnya masih berbahaya,” kata Surya.
Toxic Program Officer BaliFokus Sonia Buftheim menyatakan, kesadaran pengusaha ataupun pemerintah tentang bahaya timbal tergolong rendah. Di Thailand, pembatasan maksimal 600 ppm sudah dilakukan pada 1995. Kita baru menerapkan tahun 2015.
Menurut Sonia, ada ketidakkonsistenan standardisasi konsentrasi timbal yang aman. Ia mencontohkan penggunaan timbal pada mainan anak yang dibatasi maksimal 90 ppm. “Mengapa pada cat menjadi berbeda?” ujar Sonia.
Timbal ditambahkan dalam cat sebagai pigmen yang memberikan efek warna cerah. Karena itu, konsentrasi timbal pada cat berwarna kuning, oranye, hijau, dan merah biasanya lebih tinggi. Risiko paparan timbal akan semakin tinggi setelah lapisan cat lapuk dan terkelupas.
Anak sangat berisiko terpapar timbal karena fasilitas pendidikan biasanya dicat dengan warna cerah dan perilaku anak yang kerap memasukkan tangan ke mulut.
Secara terpisah, Ketua Asosiasi Produsen Cat Indonesia (APCI) Markus Winarto mengatakan, pihaknya mendukung pembatasan penggunaan timbal dalam cat. “Tidak hanya timbal, penggunaan logam berat lain juga harus dibatasi,” katanya.
Markus menyatakan, beberapa jenis cat sudah memenuhi standar yang ditetapkan SNI. “APCI bersama Kementerian Perindustrian mendorong agar semua jenis cat mematuhi SNI,” katanya.(B01)
Sumber: Kompas Siang | 19 Juni 2015
————–
Produsen Siap Batasi Bahan Berbahaya
Produsen cat enamel di Indonesia siap beralih dari pigmen pewarna berbasis timbal ke pigmen organik yang lebih aman. Beberapa perusahaan cat di Indonesia tidak lagi menggunakan timbal sejak Badan Standardisasi Nasional membatasi penggunaan timbal pada tahun 2015.
Kesanggupan itu diungkapkan dalam diskusi “Kandungan Timbal dalam Cat Enamel Dekoratif” yang diselenggarakan BaliFokus, Jumat (19/6), di Jakarta. Turut hadir perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Indonesia, Kementerian Perindustrian, Badan Standardisasi Nasional, dan pelaku industri.
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan PT Rajawali, produsen cat, Hiyoto menyatakan, perusahaannya membatasi penggunaan timbal sejak tahun 2015. Konsentrasi maksimal 600 bagian per juta (ppm) adalah angka paling logis untuk mengakomodasi semua pemangku kepentingan. “Peralihan juga bertahap,” katanya.
Dihubungi terpisah, Ketua Asosiasi Produsen Cat Indonesia Markus Winarto mengatakan, pihaknya mendukung pembatasan penggunaan timbal dalam cat. Beberapa jenis cat sudah penuhi standar yang ditetapkan Standar Nasional Indonesia. “Kami akan mendorong agar semua produsen cat tidak lagi menambahkan timbal dalam cat,” katanya.
Penelitian BaliFokus menunjukkan, 83 persen dari 121 sampel cat enamel yang diuji mengandung timbal dengan konsentrasi membahayakan atau lebih besar daripada 90 ppm (standar WHO). Jika menggunakan standar SNI, 78 persen sampel tidak memenuhi standar atau mengandung timbal di atas 600 ppm. Sampel diambil dari lima kota di Indonesia (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Denpasar).
Senior Advisor BaliFokus Yuyun Ismawati menyatakan, timbal ditambahkan dalam cat sebagai pigmen pemberi efek warna cerah. Karena itu, konsentrasi timbal pada cat warna kuning, jingga, hijau, dan merah biasanya lebih tinggi. Risiko paparan timbal akan semakin tinggi setelah lapisan cat lapuk dan terkelupas.
“Karena itulah, anak sangat berisiko terpapar timbal karena fasilitas pendidikan biasanya dicat warna cerah. Selain itu, risiko semakin tinggi karena perilaku anak yang kerap memasukkan tangan ke mulut,” kata Yuyun.
Environmental Health Advisor WHO Indonesia Sharad Adhikary menambahkan, anak sangat rentan terpapar timbal meski dalam dosis rendah. Paparan timbal pada anak menyebabkan kerusakan permanen pada saraf otak dan menurunkan kecerdasan.
Sebenarnya, kata Sharad, tidak ada batas aman penggunaan timbal. Konsentrasi 90 ppm artinya sama sekali tidak menambahkan timbal dengan sengaja. Timbal 90 ppm tersebut berasal dari ikutan bahan baku cat.
Kepala Subdirektorat Industri Kimia Hilir Kementerian Perindustrian Sumarsono menyatakan, timbal sebagai pigmen pewarna dan pengering dalam cat bisa digantikan bahan lebih ramah, tetapi lebih mahal.
Menurut dia, dalam aspek bisnis, industri cat berskala besar sudah siap beralih menggunakan pigmen organik. Namun, industri berskala kecil dan menengah cenderung belum siap meninggalkan timbal sama sekali karena menambah biaya produksi dan menurunkan daya saing produk.(B01)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Produsen Siap Batasi Bahan Berbahaya”.