Tulisan ini bukan tentang Maryam yang di kitab-kitab suci itu, melainkan Maryam Mirzakhani. Dia lahir 3 Mei 1977 dan meninggal 14 Juli 2017. Dia satu-satunya perempuan peraih medali Fields, hadiah tertinggi matematika, semacam hadiah Nobel, hanya lebih jarang dan dengan syarat si penerima berusia maksimal 40 tahun.
Di garda depan matematika ada banyak orang brilian. Mereka legendaris karena cepat dan piawai memecah kebuntuan. Maryam berbeda. Ritmenya pelan dengan topik tidak beragam. Dia kerap memakai mengunyah dan melukis sebagai kiasan. Soal penting perlu dikunyah sampai sarinya keluar. Ide yang muncul dilukisnya di atas kertas besar.
Anahita, putrinya, bilang bahwa ibunya pelukis. Suaminya, Jan Vodrak, mafhum bahwa cara visual membantu istrinya berburu pemahaman baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tekanan untuk menerbitkan sesering mungkin membuat gaya pelan tetapi dalam semakin ditinggalkan. Mencari jalan baru untuk masalah yang sulit bukan pilihan menyenangkan. Risiko gagal yang tinggi bisa membahayakan karier. Meski demikian, kontribusi Maryam diakui luas. Tulisannya terbit di Annals of Mathematics. Dia pembicara utama di Kongres Matematika Dunia 2010. Medali Fields tahun 2014 mematrikan reputasinya sebagai satu dari yang terbaik.
Berilmu luas
Semasa kecil, di tengah kecamuk perang Iran-Irak, Maryam gemar membaca biodata, novel, dan kumpulan puisi. Saat perang surut, Maryam masuk sekolah khusus untuk murid perempuan berbakat di Teheran. Roya Beheshti menjadi karib dan teman belajarnya.
Roya bercerita bahwa peran para guru di SMP agak ambigu. Guru pada tahun pertama menyimpulkan Maryam tidak cukup berbakat, lamban, dan gusar saat diminta bekerja cepat. Keadaan berbalik pada tahun kedua. Guru lain melihat bakat istimewa murid yang selalu memilih soal yang paling berat dan tidak pernah menyerah ini.Dukungan ibu kepala sekolah menjadi tiket mereka ke kompetisi nasional sebelum lolos seleksi Olimpiade Matematika Internasional (IMO). Iran, sampai saat itu, belum pernah mengirim peserta perempuan.
Usianya 17 tahun saat membawa pulang medali emas IMO 1994. Tahun berikutnya, emas dengan nilai sempurna. Seusai S-1 di Sharif University, Maryam menuju Harvard, Boston, AS, dan mulai mengikuti seminar geometri hiperbolik Curtis McMullen, peraih medali Fields 1998. Sebagai mahasiswi baru program doktoral, awalnya dia tidak tahu apa-apa. Yang diingatnya adalah betapa indah bidang baru ini.
Unsur terpenting: estetika
Ada kesenjangan besar antara bermatematika dan pemasaran pendidikan matematika. Kala murid bertanya tentang apa perlunya belajar matematika, pesan keliru yang kerap diulang berpusat pada kegunaan. Matematika itu fondasi untuk bidang lain. Ia membentuk kemampuan berlogika. Kalau kamu pintar matematika, nanti mudah mencari pekerjaan. Ada benarnya memang. Namun, menjual kegunaan adalah kegagalan memahami unsur hakiki matematika.
Mayoritas orang dewasa hanya memerlukan aritmatika untuk berhitung dan memahami data sederhana. Untuk berilmu luas perlu dua kualitas tambahan, yaitu rasa ingin tahu dan kemauan terus belajar.
Sudut pandang kegunaan membuat matematika disajikan minim unsur estetika dan afeksi, sekadar rentetan formula yang (mungkin) berguna, tetapi tidak menarik hati, membuat murid merasa serba tidak cukup. Semuanya bertolak belakang dengan esensi bermatematika, di mana kegunaan hanyalah efek samping.
Unsur terpenting adalah estetika. Fakta ini jarang menjadi inti pedagogis. Padahal, manusia secara alami tertarik pada keindahan. Hampir semua orang menghargai karya matematis yang disajikan sebagai seni dan sebagai perpanjangan rasa ingin tahu.
Perjalanan membuktikan Fermat Last Theorem makan waktu 358 tahun. Pada dirinya sendiri teorema itu tidak berguna. Proses mencari solusi melahirkan teknik temuan Ernst Kummer sekitar tahun 1847 yang terpakai dalam komunikasi nirkabel dan radar. Hasil studi kurva eliptik berefek samping sistem keamanan perbankan dan internet.
Indonesia: mencari juara
Sistem pendidikan kita menekankan kompetisi, mencari juara. Mungkin sampai level sekolah menengah cara ini efektif. Sesudahnya, kolaborasi mestinya menjadi pilihan utama. Senang rasanya berbagi teknik menarik dan soal yang belum terpecahkan dengan rekan lain yang bisa menghargai. Matematika itu kumulatif. Hasil yang sahih di zaman Yunani kuno, misalnya, bukti bahwa bilangan prima itu tak berhingga jumlahnya tetap berlaku. Pada ilmu lain, teori baru menggantikan teori lama.
Sisi kedua ini tampak dalam konsep jarak kolaborasi. Lewat situs AMS MathSciNet, seorang peneliti bisa dengan cepat menentukan hubungan akademisnya dengan peneliti lain. Umumnya jarak itu tidak begitu besar, menunjukkan dekatnya jalinan kerja sama bahkan di antara mereka yang menggeluti bidang berbeda. Kolaborasi, bukan persaingan, membawa kemajuan. Kesadaran ini perlu masuk dalam proses pendidikan.
Kesenjangan antara jumlah pria dan wanita peneliti di bidang matematika, sains, dan teknologi masih besar meskipun pelan-pelan berkurang. Halangan kultural makin terkikis, pun di Indonesia tercinta. Maryam sendiri yakin akan ada banyak perempuan peraih medali Fields. Saat diumumkan menerima medali, Maryam baru selesai kemoterapi.
Tiga tahun terakhir, kontribusinya masih kentara meski kurang intensif. Namanya akan dikenang, tekniknya dipelajari dan diterapkan. Akan ada anak Indonesia yang berani bermimpi, ”Aku akan jadi pemenang medali Fields pertama dari negeriku.”
MARTIANUS FREDERIC EZERMAN, PENELITI AHLI DI DIVISI ILMU MATEMATIKA UNIVERSITAS TEKNOLOGI NANYANG, SINGAPURA
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul “Tentang Maryam”.