Hasil kajian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menunjukkan, tenaga kesehatan saat ini telah kelelahan dalam menangani wabah Covid-19. Hal ini agar dideteksi secara dini.
Pandemi Covid-19 belum mencapai puncaknya, tetapi tenaga kesehatan terus berguguran. Situasi bisa lebih parah karena sebanyak 82 persen tenaga kesehatan di Indonesia telah mengalami kelelahan dengan skala sedang. Hal ini dikhawatirkan bisa memengaruhi pelayanan hingga meningkatkan risiko mereka terpapar virus.
”Semalam, sejawat dokter, alumnus kami yang menjadi Direktur Rumah Sakit Hermina Samarinda, juga meninggal karena Covid-19. Tiap hari ada dokter meninggal. Kajian tim kami, burnout (kelelahan) menjadi salah satu faktor risiko yang harus ditangani segera,” kata Dekan Fakulas Kedokteran Univesitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam dalam pemaparan hasil kajian terkait kondisi tenaga kesehatan (nakes), di Jakarta, Jumat (4/9/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ari mengatakan, riset ini dilakukan tim dari Program Magister Kedokteran Kerja, FKUI. Riset melibatkan 1.461 responden tenaga kesehatan yang tersebar di seluruh Indonesia dengan usia rata-rata 35 tahun dengan rentang 18-63 tahun. Responden mayoritas perempuan, rata-rata sudah bekerja selama lima tahun.
Paling banyak yang mengisi kuisioner adalah dokter umum, disusul bidan, perawat, dokter spesialis, petugas laboratorium, dan apoteker. ”Paling banyak responden bekerja di puskesmas, disusul rumah sakit pemerintah dan klinik. Lebih dari 50 persen responden menangani pasien Covid-19,” kata Dewi S Soemarko, ketua tim peneliti.
Menurut Dewi, dari riset ini ditemukan, sebanyak 1.197 responden atau 82 persen mengalami kelelahan dengan kategori sedang, 248 atau 17 persen kategori rendah, dan 16 atau 1 persen kategori tinggi. Kelelahan atau burnout didefinisikan sebagai sindrom psikologis akibat respons kronik terhadap tekanan atau konflik.
”Gejala yang dialami bisa berupa keletihan emosi, kehilangan empati dan rasa percaya diri,” katanya.
Responden mengalami keletihan emosi kategori rendah 58,9 persen, sedang 19 persen, dan berat 22,1 persen. Sebanyak 78 persen kehilangan empati kategori rendah, sedang 10,9 persen, dan berat 11,2 persen. Sementara responden yang kehilangan rasa percaya diri dengan kategori rendah 47,8 persen, kategori sedang 22,8 persen, dan berat 29,4 persen.
”Jenis pekerjaan mereka terkait Covid-19 ini yang memengaruhi munculnya gejala burnout di kalangan nakes. Ini punya implikasi jangka panjang dan berpengaruh pada kinerja mereka, termasuk risiko diri jika terpapar,” kata Dewi.
Untuk mengurangi risiko, Dewi merekomendasikan para nakes perlu menyadari apakah mereka sudah mencapai tahap burnout atau tidak. Dukungan dari fasilitas layanan kesehatan dengan memberikan pendampingan psikologis menjadi sangat penting, selain pengaturan jadwal kerja.
”Pemerintah perlu melakukan surveilans burnout pada nakes untuk deteksi dini. Mereka yang sudah burnout tahap moderat harus segera ditolong agar tidak menjadi berat,” katanya.
Menurut Dewi, sekalipun riset mereka tidak spesifik menanyakan soal pengaruh stigmatisasi yang dialami nakes, banyak responden yang menyampaikan melalui surat daring, melaporkan mengenai kondisi sosial tersebut. ”Beberapa di antara mereka mengaku mengalami stigma dan dikucilkan dari masyarakat. Orang-orang lari karena mereka menangani Covid-19. Namun, ini tidak kami tanyakan langsung, dan merupakan salah satu keterbatasan riset kami,” katanya.
Sebelumnya, kajian yang dilakukan Laporcovid19.org bersama peminatan intervensi sosial Fakultas Psikologi UI menemukan, sebanyak 55,8 persen tenaga kesehatan yang jadi penyintas Covid-19 mengalami stigma sosial. Bentuk sigma mulai dari dijauhi, diusir, hingga dilarang naik kendaraan umum.
Ini sejalan juga dengan hasil kajian dari Fakultas Ilmu Keperawatan UI yang menemukan 55 persen atau 1.172 perawat mengalami kecemasan dan depresi karena menghadapi situasi saat ini. Mayoritas perawat juga mengalami stigmatisasi sehingga ada 1,4 persen yang terpikir untuk mengakhiri hidup.
105 dokter
Data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sebanyak 105 dokter meninggal karena Covid-19. Sementara dokter gigi sebanyak 9 orang dan perawat 73 orang.
Ari mengkhawatirkan, jumlah tenaga kesehatan yang meninggal akan terus bertambah karena saat ini banyak di antara mereka yang tengah dirawat karena tertular. ”Jumlah kasus penularan harus ditekan, bahkan diturunkan agar rendah lagi. Ketika kasus meningkat, dokter dan nakes yang lain akan paling terdampak,” katanya.
Selain itu, Ari juga mengingatkan pentingnya meningkatkan kapasitas surveilans, baik tes maupun pelacakan kontak, dalam pengendalian laju penularan. Fasilitas tes yang rutin juga dibutuhkan bagi nakes karena dari survei mereka kebanyakan mengaku tidak mendapatkannya. Padahal, risiko keterpaparannya sangat tinggi.
Ari menambahkan, selain menjamin ketersediaan alat pelindung diri (APD), layanan kesehatan juga perlu melakukan mobilisasi untuk membantu dokter-dokter yang saat ini menangani Covid-19, seperti dokter paru, penyakit dalam, dan anestesi.
”Soal insentif ini juga penting. Sebagian memang sudah diberikan. Namun, ini belum konsisten. Juga untuk dokter PPDS (program pendidikan dokter spesiaslis) karena menjadi garda terdepan, memang sudah dijanjikan insentif harus segera realisasi. Umumnya, saat ini, penghasilan para dokter menurun karena pasien selain Covid-19 berkurang,” katanya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 5 September 2020