Sudah lebih dari 15 tahun yang lalu beberapa zat antigizi pada kedelai mentah ditemukan dan diketahui oleh para ahli pangan dan gizi. Zat antigizi yang dimaksud cukup beragam, antara lain: penghambat tripsin & chimotripsin, hemaglutinin atau lektin, goitrogen, antivitamin, asam fitat, Saponin, estrogen, lisinoalanin dan oligosakarida faktor flatulensi. Kandungan zat antigizi ini menjadi tolok ukur indikasi peringkat mutu kedelai sebagai sumber bahan pangan teristimewa sumber protein bermutu.
Penghambat tripsin & chimotripsin mengurangi efisiensi kerja pencerna protein yang di lakukan enzim tripsin, kareng itu zat antigizi ini mempunyai efek menghambat pertumbuhan badan yang penghambatannya dapat mencapai 40 persen dari normal. Penghambat tripsin juga akan menimbulkan pembengkakan kelenjar pankreas akibat keloyoan tripsin yang ada pada kelenjar pankreas itu.
Hemagglutinin atau lektin dapat mengikat molekul gula sehingga dapat mengurangi efisiensi karbohidrat dalam proses metabolisme produksi energi. Sifat lektin yang demikian itu dapat menghambat pertumbuhan badan, sesuai dengan julukannya senyawa ini dapat menimbulkan aglutinasi sel darah. Tetapi lektin pada kedelai mentah sebenarnya sangat kecil peranannya sebagai antigizi bila dibanding dengan penghambat tripsin & chimotripsin. Lektin pada kedelai mentah juga tidak sama peracunannya dengan lektin pada biji perak, lektin kedelai lebih ringan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Goitrogen merupakan Oligopeptida dengan berat molekul urendah, terdiri atas dua atau ,tiga gugus asam amino. Bila kedelai mentah atau terolah tetapi tanpa dipanaskan terlebih dahulu maka ada kemungkinan konsumennya akan mengalami pembengkakan kelenjar gondok, seperti halnya orang kekurangan mineral yodium. Fakta pembengkakan kelenjar gonodok ini ditemukan pada tikus dan ayam yang diuji-coba, juga pada anak-anak yang minum susu kedelai dengan pemanasan kurang mencukupi (Liener, 1979).
Antivitamin pada kedelai mentah dapat merampok ketersediaan vitamin D, E dan B-12. Anti vitamin ini akan berdampak bila kedelai yang dimakan tidak dipanaskan terlebih dahulu. Antivitamin D boleh jadi diperankan oleh asam fitat yang mengikat kalsium hingga menyebabkan penyakit rakhitis(tulang). Antivitamin E berupa enzim tokoferol-oksidase. Antivitamin B-12 merampok vitamin.
hidrogen dan metana yang semuanya sangat mengganggu perut.
Masih ada antigizi lain yang mencirikan sifat marga leguminosa termasuk kedelai yakni enzim lipoksigenase yang mamberikan bau kurang menyenangkan secara sensoris (beany & painty flavor atau langu/Jawa). Tetapi enzim lipoksigenase ini dapat dihilangkan dengan pemasakan dalam air atau direbus.
Makan tempe
Sepintas memang tampak terlihat begitu banyak zat anti-gizi yang terkandung dalam kedelai mentah yang sangat merugikan konsumennya. Tetapi itu tidak menjadi masalah sebab kandungan zat antigizi juga terdapat pada marga leguminosa yang lain, bahkan selain yang sudah dikemukakan di atas, kacang-kacangan lain mengandung senyawa fenol jenis tanin cukup berarti yang mampu menggumpalkan protein. Bahkan telur mentah juga mengandung zat antigizi yang dikenal dengan nama avidin. Susu mengandung laktosa dan bersifat antigizi terhadap orang-orang tertentu. Ikan mentah mengandung antigizi yang dikenal dengan nama histamin. Gluten pada gandum juga bersifat antigzi.
Manusia modern saat ini mengkonsumsi makanan tidak berasal dari bahan mentah secara langsung akan tetapi melalui tahap-tahap pengolahan terlebih dahulu. Teknologi pengolahan itu sangat beragam, sederhana maupun canggih yang perwujudannya ditentukan oleh banyak faktor. Warisan budaya, kemajuan peradaban, informasi ilmiah, selera cita rasa semuanya itu mempengaruhi ujud makanan terolah yang dihidangkan kepada konsumennya.
Pengolahan itu ternyata dapat, menghancurkan perangai zat antigizi yang sangat merugikan kesehatan itu. Informasi ilmiah yang memadai saat ini telah mampu menciptakan teknik pengolahan yang menghilangkan sifat antigizi pada kedelai secara memuaskan. Ternyata tempe mampu menghancurkan zat antigizi pada kedelai.
Tempe menghancurkannya
Zat antigizi pada kedelai dapat dikelompokkan menjadi yang tahan panas dan sebaliknya. Penghambat tripsin & chimotripsin, hemaglutinin, goitrogen, antivitamin, asam fitat tergolong tidak tahan panas. Saponin, estrogen, oligosakarida factor flatulensi, lisinoalanin tergolong kelompok tahan panas.
akan menurunkan 30 persen dari jumlah awalnya. Bakteri asam laktat yang yang timbul pada proses perendaman mampu merusak daya kerja asam fitat Kapang tempe Rhizopus oligosporus menghasilkan enzim titase yang mampu merusak kompleks asam fitat hingga berkurang 32,9 persen dari awalnya. Bila asam fitat sudah dapat dihidrolisis total maka penyerapan mineral utama tidak terhalang lagi hingga mutu gizinya bertambah baik. Antivitamin rusak total dengan pemanasan yang cukup, demikian pula goitrogen. Oligosakarida dalam bentuk rafinosa, verbaskosa dan stachiosa akan hilang dengan pencucian. Gula sederhana ini larut dalam air dan asam. Peragian dan pengkecambahan juga mampu menghilangkan oligosakarida in. Lisinoalanin tidak akan terbentuk pada suasana asam dan netral, karena itu pada pembuatan tempe pasti tidak akan menghasilkan lisinoalanin. Saponin dapat rusak terhidrolisis oleh mikroba tempe dan bakteri yang ada di usus kita.
Proses pembuatan tempe yang terdiri atas perendaman, pencucian, pembilasan, penghilangan kulit kedelai, pemanasan dengan cukup dengan air berlebih dan fermentasi, secara akumulatif telah mampu menghancurkan zat antigizi yang semula ada pada kedelai mentah. Teknologi tradisional dan relatif sederhana seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara pengrajin tempe sudah dapat menghilangkan senyawa antigizi pada kedelai sekaligus menghasilkan zat gizi utama yang mampu memperbaiki mutu gizi kedelai. Bioindustri tempe terdiri atas proses fisikokimia dan fermentasi akan tetap terandalkan pada waktu yang akan datang terutama bila dikaitkan dengan upaya pengolahan pangan dan perbaikan gizi yang terjangkau oleh masyarakat pedesaan maupun urban.
Peluang ke depan
Kemajuan informasi ilmiah dan teknologi pengolahan pangan telah memberikan keyakinan pada para ahli pangan, bahwa kedelai dan marga kacang-kacangan yang lain mempunyai peluang besar untuk menjadi alternatif sumber prtein bermutu pada abad XXI. Bagi negara maju, protein kedelai mampu mengatasi kekurangan protein hewani. Sedangkan bagi negara berkembang, protein kedelai dan kawan-kawan relatif dapat terjangkau secara ekonomik oleh sebagian besar rakyatnya. Perbaikan teknologi pengolahan dan pengkayaan methionin pada protein kedelai telah mampu meningkatkan mutu gizi protein kedelai setara dengan mutu gizi protein susu dan ASI.
Zat antigizi yang ada pada kedelai mentah maupun marga Leguminosa yang lain tidak lagi menjadi masalah. Teknologi pengolahan, apakah itu teknologi tempe atau teknologi lain yang relatif lebih modern, telah mampu menghilangkan daya kerja zat antigizi yang ada pada bahan mentahnya. Kedudukan tempe justru menjadi semakin kokoh dan terandalkan oleh adanya kemajuan informasi ilmiah di bidang gizi dan medis. Tetapi yang jelas, hasil olahan kedelai akan menjadi lebih beragam lagi. Tempe, tahu, kecap akan ,diiringi dengan kemunculan susu kedelai, bakso kedelai, sosis kedelai, ham kedelai dan es krimkedelai berikut inovasi lain lagi.
F.G. Winarno, guru besar ilmu pangan di Institut Pertanian Bogor dan Sapto Kuntoro adalah mahasiswa pascasarjana jurusan ilmu pangan di Institut Pertanian Bogor.
Sumber: Kompas tanpa tanggal