Seandainya rasio pajak kita sebelumnya 15 persen dari GDP, penambahan defisit mungkin tidak terlalu perlu. Menormalkan rasio pajak merupakan agenda mendesak yang harus disepakati ke depan.
Wabah Covid-19 cepat atau lambat akan berakhir.
Sejarah menunjukkan, wabah bukanlah hal baru. Perbedaannya mungkin terkait dengan perkiraan besaran jumlah korban jiwa. Ada laporan bahwa korban Covid-19 jauh lebih besar dari wabah sebelumnya, seperti flu burung dan ebola, selain efek psikologis yang membuat Covid-19 tampak jauh lebih menakutkan, imbas dari media sosial. Jika sepakat Covid-19 hanya masalah waktu, tantangan apa yang akan kita hadapi ke depan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Henry A Kissinger (3 April 2020) menyatakan, dunia tak akan sama lagi pasca-Covid-19. Ia tidak menjelaskan bagaimana tatanan dunia baru setelah Covid-19. Namun, bagi saya, tatanan dunia baru sangat bergantung pada wacana dominan di tataran internasional.
Tiga guncangan
Sejarah modern menunjukkan tiga guncangan monumental terhadap tatanan dunia pasca-perang dunia. Guncangan pertama runtuhnya Uni Soviet, guncangan kedua serangan terhadap menara WTC di AS, dan ketiga pandemi Covid-19. Jika runtuhnya Uni Soviet pada 1991 menghasilkan gagasan ”takdir sejarah”, meminjam kalimat Fukuyama, guncangan kedua menghasilkan konsep seperti ”perang melawan terorisme”, ”benturan peradaban”, dan preemptive strategy, guncangan ketiga belum tampak konsep- konsep strategisnya.
Hampir semua negara tergagap-gagap menghadapi wabah Covid-19. Berbeda dengan guncangan pertama dan kedua, wabah tidak terjadi dalam konteks ideologis dan serangan militer bersenjata. Negara yang terkena dari ”demokratis” sampai ”otoriter”, adikuasa sampai negara kecil semata. Tidak ada batas geografis, virus menyerang tanpa ”paspor” (meminjam istilah Joseph E Stiglitz).
Kegagapan ini wajar. Sistem jaminan kesehatan dan jaminan sosial lain, publik pun swasta, termasuk ketersediaan infrastruktur fisik, memang tidak dirancang menghadapi kondisi tidak normal seperti wabah ini. Permintaan peralatan dan fasilitas medis yang meningkat pesat tak tercukupi.
WHO sebagai lembaga yang kompeten menilai tentang suatu wabah menjadi pandemik atau tidak terus mengimbau pentingnya kerja sama internasional. Lembaga keuangan internasional, seperti IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia, merekomendasikan berbagai bantuan fasilitas keuangan: utang jangka pendek, infrastruktur, dan hibah.
Berbagai proyeksi tentang ekonomi dunia muncul dari beberapa dokumen WTO ataupun Organisasi Buruh Internasional (ILO). Proyeksi dan skenario tentang resesi dan pertumbuhan ekonomi dunia yang negatif tersirat dari semua laporan itu.
Maka, rekomendasi yang disarankan umumnya memperkuat intervensi negara melalui instrumen fiskal, relaksasi kredit untuk kelompok miskin, usaha kecil, dan usaha menengah, kemudahan impor kebutuhan peralatan medis, melindungi para buruh, baik di sektor formal maupun informal.
Identifikasi menunjukkan ada dua kata kunci normatif dari semua wacana yang ada. Diyakini bahwa melindungi kehidupan dan hajat hidup (mata pencarian) sama pentingnya. Prinsip semacam ini menjadi pendorong untuk membentuk dan menggerakkan semua inisiatif kebijakan, baik internasional, regional, maupun nasional.
Di tataran nasional ini, berarti menghadapi wabah Covid-19 harus menggabungkan pendekatan kesehatan publik dengan ekonomi. Mencari titik tengah dan keselarasan di antara dua pendekatan ini adalah suatu keharusan. Banyak yang berharap bahwa intervensi fiskal dan relaksasi di sektor keuangan moneter akan dapat membantu ekonomi menghadapi Covid 19. Namun, harus disadari instrumen ekonomi tidak bisa meramalkan kapan wabah akan terjadi dan bagaimana mengatasinya secara medis.
Para ekonom bisa memberikan sinyal kapan krisis keuangan akan terjadi, tetapi tidak bisa menyampaikan kapan krisis wabah akan muncul. Demikian juga sebaliknya, seorang epidemologis pasti akan tergagap-gagap ketika menjelaskan bagaimana cara mengatasi berbagai kejutan ekonomi, baik di sisi pasokan, permintaan, maupun keuangan (financial shock) sebagai konsekuensi pandemi.Menciptakan mekanisme interaksi dan pertemuan antara ekonom dan epidomolog adalah keniscayaan demi masa depan.
Menghilangkan sekat
Beberapa kajian menyebutkan bahwa wabah seperti ini akan semakin sering terjadi (recurrence) karena interaksi antarmanusia yang semakin meningkat dalam era globalisasi.
Kita tidak bisa menyarankan penghentian globalisasi untuk mengatasi wabah ini karena global supply chain telah menjadi fakta yang menyatukan ekonomi dunia. Karena itu, dialog lintas disiplin menjadi semakin dibutuhkan dan diintensifkan, termasuk di Indonesia.
Interaksi lintas komunitas epistemik untuk menghilangkan sekat mungkin lebih mudah ketimbang memutus sekat antarpembuat keputusan politik.
Masalah utama adalah konsep public goods sangat langka di tataran internasional.
Kecuali menyangkut isu keamanan, konstruksi berpikir yang dominan adalah kesehatan dan pendidikan diyakini menjadi tanggung jawab nasional. Karena itu, sudah saatnya menggerakkan tatanan dunia pasca-Covid-19 untuk mengagendakan isu kesehatan sebagai bagian dari tanggung jawab komunitas internasional.
Pasokan dan pendanaan dari komunitas internasional menjadi penting. Komunitas internasional memang harus memperkuat sumber daya dan sistem peringatan dini untuk menghadapi wabah.
Di tingkat nasional, pergeseran ini pun harus terjadi. Kebijakan kesehatan jangan terlalu menitikberatkan pada kesehatan tingkat individu, tetapi harus siap mengatasi serangan wabah yang mengancam kesehatan publik. Tentu saja ini menjadi biaya sangat tinggi.
Seperti halnya anggaran pertahanan dan pembangunan kekuatan militer, kita tidak tahu kapan perang akan terjadi. Demikian juga dalam kesiapan menghadapi wabah membutuhkan biaya besar.
Kita tidak tahu kapan wabah akan terjadi, tetapi kita harus memiliki persiapan memadai. Salah satu teknik adalah dengan mengubah konsep kesehatan sebagai pengeluaran (expenditure) menjadi konsep investasi (investment). Intinya, kesehatan dapat digerakkan untuk menjadi salah satu leading sector pemacu pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam kaitan ini, kesiapan fiskal adalah titik awal yang harus dibenahi.
Menarik dicatat bahwa pelebaran deficit fiskal menjadi sekitar 5 persen dari GDP bisa dipahami. Namun, kita tidak harus melupakan fakta bahwa rasio pendapatan pajak terhadap GDP kita tidak normal, yaitu 11 persen dari GDP. Di ASEAN, rasio itu sekitar 15 persen.
Seandainya rasio pajak kita sebelumnya 15 persen dari GDP, penambahan defisit mungkin tidak terlalu perlu. Menormalkan rasio pajak merupakan agenda mendesak yang harus disepakati ke depan.
(Makmur Keliat Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia)
Sumber: Kompas, 13 Mei 2020