Produsen otomotif asal Jepang, Toyota, meluncurkan target ambisius terkait perbaikan lingkungan hidup pada Oktober 2015. Program itu dinamai Toyota Environmental Challenge 2050. Target idealnya adalah nol karbon dioksida pada 2050 dan masyarakat yang harmonis dengan alam.
Tantangan itu diterjemahkan menjadi six environmental challenges. Di dalamnya ada tantangan emisi nol karbon dioksida bagi kendaraan produksi baru; siklus hidup kendaraan nol karbon dioksida; Emisi nonkarbon dioksida di pabrik; mengurangi dan mengoptimalkan penggunaan air; membangun sistem dan masyarakat berbasis daur ulang; dan membangun masyarakat masa depan yang selaras dengan alam.
KOMPAS/INGKI RINALDI–Perwakilan sejumlah perguruan tinggi dari Indonesia, Senin (11/3/2019), menyimak paparan mengenai teknologi mobil hibrida di Toyota Kaikan Museum, Prefektur Aichi, Jepang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Project Manager Corporate & Technology Communications Group Toyota Motor Corporation Ron Haigh, Senin (11/3/2019), menjelaskan enam tujuan itu dengan lugas di Toyota Kaikan Museum, Prefektur Aichi, Jepang. Saat itu, ia tengah memandu sejumlah pakar dan akademisi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Udayana, Bali.
Selain mengunjungi Kaikan, mereka juga datang ke sejumlah fasilitas teknologi kendaraan listrik di Jepang. Kunjungan pada 9-15 Maret 2019 dengan tajuk ”Electrified Vehicles Technology Trip” itu difasilitasi Toyota.
Ron Haigh menjelaskan secara makro mengenai empat museum sejenis, di mana teknologi mutakhir menjadi fokus museum yang tengah dikunjungi. Ron lalu membawa tamunya melihat-lihat Toyota Prius generasi ke-4 dan menghubungkannya dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), komputasi awan, dan sumbersumber informasi yang terkoneksi dengan sistem mobil tersebut.
Tak lama Ron membawa tamu-tamunya melihat mobil konsep Toyota Kikai yang berarti ”mesin.” Lewat mobil konsep itu, Toyota seolah ingin merayakan kembali keahlian manusia dengan menunjukkan dimensi-dimensi teknis tentang bagaimana mobil bekerja.
Nyaris semuanya tentang pencapaian mekanis yang disajikan dalam bentuk analog, Kalaupun ada kesan ”canggih,” itu adalah desainnya yang futuristis dan mirip kendaraan dalam komik, serta gabungan antara mesin berbahan bakar fosil (internal combustion engine/ICE) dan energi listrik dalam sistem hibrida.
Akan tetapi, yang jadi unggulan presentasi Ron hari itu adalah Toyota Mirai. Mobil sedan bermesin fuel cell electric vehicle (FCEV) dengan hidrogen sebagai bahan bakar utama sebelum diubah menjadi tenaga listrik dan nihil emisi gas buang karena bentuk emisi mesin jenis ini adalah air.
Salah satu yang dibanggakan adalah tangki hidrogen dari bahan carbon fiber reinforced thermoplastic (CFRTP) yang lebih ringan dan jauh lebih kuat ketimbang baja. Menurut Ron, ini membuatnya jauh lebih aman jika dikomparasikan dengan tangki bahan bakar minyak.
Susunan sel bahan bakar (fuel cell stack) juga rumit, tetapi cenderung mengecil ukurannya dari tahun ke tahun. Ini memungkinkan penggunaan kapasitas ruang lebih efisien. Tak lupa Ron juga menjelaskan mengenai jarak tempuh Mirai yang mencapai 650 kilometer.
Jarak tempuh ini tentu saja jauh lebih panjang jika dibandingkan dengan jenis mobil listrik lain, seperti hybrid electric vehicle (HEV), plug-in hybrid electric vehicle (PHEV), dan battery electric vehicle (BEV). Mobil jenis ini memungkinkan perjalanan antarkota dilakukan dengan pengisian ulang hidrogen di stasiun pengisian.
Kota hijau
Stasiun pengisian hidrogen itu seperti yang terlihat di Toyota Ecoful Town di Prefektur Aichi, Jepang. Saat rombongan berkunjung ke lokasi tersebut, Takuro Hagino, yang bertugas di divisi riset dan pengembangan Toho Gas, sudah menunggu untuk memberikan penjelasan.
Ia memulai dengan memberikan pemaparan lewat dokumentasi audio visual. Para pengunjung berdesakan menyimak tayangan video mengenai bahan bakar hidrogen yang ramah lingkungan dan bagaimana hal itu terkait dengan isu pemanasan global.
Stasiun pengisian hidrogen itu, selain oleh Toho Gas, dibangun pula oleh Iwatani Corporation. Keduanya bagian dari konsorsium Research Association of Hydrogen Supply/Utilization Technology (HySUT).
Setelah memasuki penjelasan umum ihwal bagian teknis, Takuro membawa tamu-tamunya berkeliling meninjau lokasi stasiun pengisian hidrogen. Selain dispenser di area depan yang relatif sederhana, pada bagian belakang ada semacam pabrik hidrogen kecil yang cenderung kompleks sebelum disalurkan ke bagian dispenser menuju tangki kendaraan.
Pabrik ini beroperasi dengan metode steam reforming process. Pada proses ini, metan dan uap bereaksi pada temperatur dan tekanan tinggi sebelum menghasilkan hidrogen dan karbon dioksida. Beberapa tingkatan proses selanjutnya memastikan hidrogen dengan tekanan 70 megapascal atau sekitar 700 atmosfer bisa digunakan dalam kendaraan sebagai sumber energi.
Risiko hidrogen sebagai gas yang mudah terbakar diantisipasi dengan begitu rupa. Aneka sensor untuk mendeteksi gempa tatkala terjadi gerakan seismik dipasang untuk memastikan keamanan. Sensorsensor ini pada keadaan tertentu akan mengaktifkan sistem automatic shutdown manakala kondisi darurat tertentu dideteksi.
Takuro mengingatkan, tantangan untuk mengoperasikan stasiun pengisian hidrogen seperti itu cukup besar. Di Jepang, stasiun pengisian itu mulai beroperasi pada 2015. ”Sekarang ada lima hingga enam mobil per hari (yang melakukan pengisian). Tahun 2015 saat dibuka, masih kosong (belum ada kendaraan melakukan pengisian,” kata Takuro.
Hal ini bisa diterima sebagai kewajaran mengingat populasi kendaraan FCEV di Jepang yang baru sekitar 3.000 unit. Stasiun pengisian hidrogen di Jepang, imbuh Takuro, saat ini 110 unit.
Faktor harga
Harga menjadi faktor yang penting. Takuro mencontohkan, biaya pembangunan stasiun pengisian hidrogen seperti itu 5 juta dollar AS. Karena itu, subsidi pemerintah diberlakukan sebagaimana kendaraan FCEV yang juga ditawarkan pada masyarakat setelah beroleh subsidi pemerintah.
Namun, kawasan ”kota hijau” bukan melulu tentang kendaraan FCEV dengan hidrogen sebagai energinya. Akan tetapi, juga rumah pintar yang terhubung dengan kendaraan dan mengadopsi konsep home energy management system yang mengoptimalkan penggunaan energi surya bagi sejumlah kebutuhan rumah dan kegunaan pengisian ulang kendaraan listrik.
Cahaya matahari dan ventilasi juga didesain sedemikian rupa untuk mendukung konsep tersebut. Penggunaan kayu tampak relatif dominan pada rumah dua tingkat dengan luas lantai 165 meter persegi itu.
Akiko Yamada, yang memandu sesi itu, mengatakan, rumah pintar bernama Toyota Home itu dibanderol dengan harga 320.000 dollar AS. ”(Harga) itu untuk (bangunan) rumahnya saja dan yang tertarik di sekitar sini biasanya adalah para keluarga muda,” sebut Yamada.
Tak jauh dari situ, tampak pula beberapa unit kendaraan listrik Toyota COMS dengan kapasitas satu penumpang. Kendaraan-kendaraan tersebut berjejer di salah satu pelataran dan menjadi bagian dari layanan ekosistem car sharing Ha:mo RIDE. Siap untuk mengantar orang-orang ke sejumlah tujuan. Membayar hanya sesuai dengan waktu pemakaian. Tanpa emisi.–INGKI RINALDI
Sumber: Kompas, 6 Mei 2019