Rehabilitasi terumbu karang buatan membutuhkan standar operasi dan prosedur agar bisa diterapkan sesuai dengan kondisi perairan. Hal itu bertujuan untuk mencegah kerusakan karang akibat kegiatan rehabilitasi tersebut.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Penyelam, Rabu (25/9/2019) menempelkan karang pada instalasi logam Daun Khatulistiwa atau Domus Frosiquilo di dasar perairan Pantai Jikomalamo, Ternate, Maluku Utara. Instalasi ini diharapkan ditumbuhi dan dipadati karang sehingga menjadi terumbu karang atau rumah baru bagi ikan-ikan setempat.
Rehabilitasi terumbu buatan telah banyak dijalankan di berbagai daerah di Indonesia. Meski tak sedikit yang sukses, hasil evaluasi pada beberapa tempat justru menunjukkan kegiatan restorasi tersebut malah memicu kerusakan karang berlebihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terkait hal itu, kalangan akademisi, praktisi konservasi terumbu karang, organisasi masyarakat, dan pengambil kebijakan diajak bersama-sama menyusun standar operasi prosedur agar rehabilitasi karang buatan berhasil. Prosedur umum ini nantinya disesuaikan dengan riset awal pada tiap lokasi di Indonesia yang unik dan membutuhkan perlakuan spesifik terkait restorasinya.
“Mohon kita berpikir bersama-sama untuk membuat SOP (standar operasi dan prosedur) rehabilitasi, untuk transplantasi atau terumbu karang buatan sehingga tidak malah menyebabkan kerusakan karang bertambah,” kata Suharsono, profesor riset Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI).
Suharsono menyampaikan hal itu, Selasa (12/5/2020), dalam diskusi virtual yang diadakan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang dengan Masyarakat Terumbu Karang Indonesia (INCRES).
Menurut Suharsono yang juga Ketua INCRES, rehabilitasi yang bertujuan baik acapkali malah berujung pada kerusakan. Kalau tidak terjadi kerusakan, terumbu buatan (artificial reef) tersebut malah teronggok begitu saja di dasar laut tanpa membawa manfaat.
Standar operasi prosedur itu bisa melingkupi penilaian awal dari suatu lokasi. Penilaian awal ini penting untuk mengkaji kondisi perairan yang akan direhabilitasi. Hasil kajian tersebut bisa digunakan untuk menentukan apakah perlu dilakukan rehabilitasi melalui terumbu karang buatan atau tidak.
Tanpa rehabilitasi
“Bisa jadi kalau lokasinya baik dan memenuhi persyaratan, ditutup saja dari semua kegiatan selama 2 tahun pasti udah balik lagi kondisinya,” kata dia. Sebagai contoh, kondisi terumbu karang di sekitar Banda yang hancur akibat letusan gunung api setempat. Setelah tujuh tahun, tanpa sentuhan rehabilitasi buatan, ekosistem terumbu karang telah pulih seperti sediakala.
Beberapa contoh kerusakan akibat kegiatan restorasi terumbu buatan antara lain terumbu karang buatan yang biasanya terbuat dari beton atau media yang berat, diletakkan begitu saja pada terumbu karang. Itu membuat karang patah dan mati karena tertutup media.
PRESENTASI MUNASIK—Pembuatan terumbu buatan memerlukan kajian awal dan persiapan matang agar tak berakhir sia-sia. Seperti di Sinjai, Sulawesi Selatan ini menjadi contoh terumbu buatan yang tidak ditumbuhi karang dan malah merusak karang di sekitarnya. Ini diambil dari paparan Munasik, pengajar Departemen Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, dalam diskusi virtual 12 Mei 2020.
Selain itu, rehabilitasi karang justru mengorbankan karang-karang di sekitarnya untuk dijadikan bibit yang ditempelkan pada media itu. “Sebelum melakukan rehabilitasi itu seharusnya sediakan bibit dulu, lalu bisa ambil sepanjang kurang dari lima sentimeter sudah cukup, tak usah yang besar-besar,” tuturnya.
Pakar karang Departemen Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Munasik menunjukkan sejumlah contoh rehabilitasi karang buatan yang kurang berhasil dan bisa jadi pembelajaran bagi pihak terkait sebelum menjalankan rehabilitasi. “Rehabilitasi karang yang dulu itu bukan tanpa basis iptek,” katanya.
Namun pengalaman rehabilitasi di tempat lain tidak bisa begitu saja dicontoh desain dan bahannya untuk diterapkan pada semua lokasi. Karena itu, riset lokasi amat penting untuk perencanaan. Selain aspek biofisik perairan, ia menekankan pendekatan sosial dan ekonomi pada masyarakat setempat untuk diajak terlibat aktif dalam restorasi.
Indikator keberhasilan
Karena itu, indikator keberhasilan rehabilitasi terumbu karang tidak hanya pada jumlah rekrutmen (juvenile karang yang menempel pada media) maupun pertumbuhan atau tutupan transplantasi karang. Ia menekankan rehabilitasi yang sukses bisa menciptakan habitat baru bagi kelimpahan ikan. Ini penting menjadi ketahanan pangan serta menjadi alternatif wisata yang bisa dikembangkan masayarakat setempat.
Ia menunjukkan terumbu buatan yang dilakukannya bersama masyarakat di Pulau Panjang, Jepara, Jawa Tengah, telah membuahkan hasil. Terumbu karang buatan yang disebutnya Artificial Patch Reefs (APR) tersebut menggunakan blok beton melingkar dan bertingkat yang dipasang di sekitar terumbu karang alami. Pada permukaan substrat, transplantasi karang dilakukan.
PRESENTASI MUNASIK—Contoh terumbu buatan yang dikerjakan di sekitar perairan Pulau Panjang, Jepara. Rehabilitasi karang melalui terumbu buatan dan transplantasi karang ini menjadi contoh bagi upaya rehabilitasi yang berhasil karena menjadi habitat baru perairan setempat. Ini diambil dari presentasi Munasik, pengajar Departemen Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang pada diskusi virtual, Selasa (12/5/2020).
Munasik memaparkan, transplantasi karang bisa tumbuh subur dan bahkan terdapat rekrutmen anakan (juvenile) karang yang menempel pada media. Rekrutmen tertinggi bisa mencapai 179 koral per meter persegi per tahun. Terumbu buatan itu pun telah menjadi habitat baru bagi sejumlah ikan karang.
Tantangan perairan yang keruh berupa sedimentasi yang tinggi diatasinya dengan melakukan transplantasi lamun. “Terkadang bersama masyarakat bersama membersihkan (substrat media),” ungkapnya.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 13 Mei 2020