Pengendalian penularan Covid-19 membutuhkan penanganan wabah antarwilayah dengan berbasis pulau. Hal itu hanya bisa dicapai melalui koordinasi yang intensif antarinstansi pemerintah.
Penanganan Covid-19 di Indonesia tidak bisa didasarkan pada wilayah administratif, tetapi berbasiskan pulau. Pembatasan sosial dan surveilans yang dilakukan juga perlu dilakukan secara lintas daerah, tetapi mengikuti mobilitas warga. Ini hanya bisa dilakukan jika pemerintah pusat melakukan peran koordinatif.
”Situasi penularan Covid-19 di Jawa Timur sebenarnya tidak beda dengan Jakarta, bahkan lebih mengkhawatirkan karena jumlah tes belum memenuhi standar dan tingkat kematian paling tinggi,” kata epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, Senin (14/9/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Windhu mengatakan, tak hanya perlu diikuti daerah penyangga lain di sekitar Jakarta, pembatasan sosial dengan lebih ketat seharusnya juga diberlakukan kembali di seluruh Pulau Jawa. ”Jawa harus dianggap sebagai satu kesatuan epidemi. Mobilitas di Pulau Jawa ini sangat tinggi. Jakarta-Surabaya lewat tol bisa kurang dari 12 jam. Kalau tidak ada pembatasan orang antarwilayah, penularan akan terus terjadi secara bolak-balik,” ujarnya.
Epidemiolog Indonesia di Griffth University, Dicky Budiman, juga mengatakan, penanganan pandemi di Indonesia harusnya dilakukan berdasarkan karakteristik mobilitas penduduknya yang bisa dibagi per pulau.
”Jakarta tidak bisa tangani sendiri wabah selama provinsi lain masih ada penularan, kecuali ada penutupan perbatasan antarwilayah. Begitu pula di pulau lain, harus ada kerja sama antardaerah. Berikutnya, perketat pintu masuk antarpulau,” katanya.
Saat ini, kata Dicky, penanganan Covid-19 tersekat wilayah administratif, bahkan memunculkan persaingan politik antardaerah. Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri, seharusnya lebih berperan mengoordinasikan penanganan antarwilayah administratif. Koordinasi ini termasuk pemerataan cakupan tes, yang saat ini sangat timpang.
Jakarta saat ini sudah mampu memenuhi empat kali syarat minimal pemeriksaan 1 per 1.000 per minggu. Selain Jakarta, di Jawa baru Yogyakarta yang sudah mendekati jumlah tes minimal. Sementara itu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten belum separuhnya dari standar minimal.
Tingkat kematian
Windhu mengatakan, dalam menangani wabah Covid-19, pemerintah seharusnya mengedepankan pada upaya pencegahan membesarnya kasus penularan. Penambahan jumlah kasus harian saja tidak bisa jadi patokan karena banyak daerah mengalami masalah dengan minimnya kapasitas tes.
”Masih ada pemerintah daerah yang sengaja tidak melakukan tes karena masih ada anggapan kalau kasusnya banyak dianggap gagal. Padahal, tes ini kunci untuk mengetahui persoalan sesungguhnya. Di sisi peran koordinatif dari pemerintah seharusnya dijalankan untuk mengawasi daerah-daerah menjalankan tugasnya dalam tes dan pelacakan,” ujarnya.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat penambahan kasus baru Covid-19 secara nasional mencapai 3.141 orang dalam sehari sehingga total menjadi 221.523 kasus. Tiga besar daerah dengan penambahan kasus terbanyak secara berturut-turut adalah Jakarta 879 kasus, Jawa Timur 343 kasus, dan Jawa Barat 203 orang.
Meski Jakarta mendominasi penambahan kasus baru, penambahan kematian terbanyak terjadi di Jawa Timur, yaitu 37 orang. Jakarta ada penambahan korban jiwa 27 orang dan Jawa Tengah 8 orang. ”Tingkat kematian di Jawa Timur sangat mengkhawatirkan, mencapai 7,3 persen merupakan yang tertinggi di Indonesia,” kata Windhu.
Mengacu data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, tingkat kematian Covid-19 di Jawa Tengah sebesar 6,4 persen, merupakan tertinggi kedua secara nasional. Namun, jika mengacu pada pencatatan di corona.jatengprov.go.id, tingkat kematian di wilayah ini mencapai 9,2 persen dengan rincian total korban jiwa 1.677 dibandingkan total kasus 18.136 kasus.
Tingginya tingkat kematian di Jawa Timur dan Jawa Tengah ini, menurut Windhu, salah satunya karena jumlah tes masih sangat kurang sehingga penularan kasus sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan yang ditemukan.
”Saat ini, tingkat okupansi ruang di Jatim hanya sekitar 50 persen, salah satunya karena pasien bisa dipulangkan walau tanpa dua kali tes usap. Namun, tingkat kematiannnya sangat tingggi, jauh lebih tinggi dari Jakarta yang jumlah tesnya sudah baik,” tuturnya.
Sebagai perbandingan, tingkat kematian di Jakarta sebesar 2,6 persen. Selain jumlah tes yang kurang, tingginya tingkat kematian di Jawa Timur karena perilaku pasien yang datang ke rumah sakit sudah dalam kondisi kritis. Faktor lain yakni tingginya komorbid.
Jika lonjakan pasien terus terjadi dan rumah sakit kembali penuh seperti bulan-bulan sebelumnya, Jatim akan mengalami masalah lebih serius. ”Sebelum itu terjadi, pembatasan harus lebih ketat dengan sanksi tegas,” katanya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 15 September 2020