Penanaman tanaman penghasil energi hayati didorong tidak monokultur. Pengelolaan hutan secara lestari dengan menanam bermacam tanaman berpotensi menghasilkan energi hayati lebih besar sekaligus membawa manfaat lain, seperti pemenuhan kebutuhan pangan dan menjaga jasa lingkungan, ketimbang jika hanya produksi tanaman energi.
Sistem disebut multi-silvikultur atau tumpangsari itu lebih unggul, termasuk dibandingkan dengan kebun kelapa sawit. “Keluaran energi dari sistem multi- silvikultur 2,5-3 kali lipat ketimbang dari sawit dengan luasan lahan sama,” ucap Direktur Penelitian dan Pengembangan Arsari Group Willie Smits dalam diskusi “Bio Energi dan Penurunan Emisi”, Jumat (15/4), di Jakarta.
Pada perkebunan sawit, energi dihasilkan dari satu macam tanaman. Sementara di hutan dengan tanaman campuran, energi bisa dari gula pohon aren dan biomassa kayu, misalnya dari pohon nyawai. Petani juga bisa membudidayakan singkong yang patinya bisa untuk bioetanol.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sistem tumpangsari dinilai lebih bermanfaat daripada sistem monokultur dalam perkebunan sawit. Keuntungan kebun sawit pada tingkat balik modal (IRR) 18 persen dan dengan sistem multi- silvikultur 31 persen atau hampir dua kali dibandingkan dengan perkebunan sawit.
Perhitungan itu diperoleh dari hasil audit salah satu perusahaan auditor terbaik dunia pada bisnis konservasi Arsari di Kalimantan Timur. Arsari memegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam 173.395 hektar. “Kami tak memakai 50.000 ha hutan yang bagus karena itu untuk konservasi,” ujarnya.
Arsari beroperasi di lahan kritis (70 persen area konsesinya ialah lahan kritis) sehingga harus memulihkan lahan. Perusahaan itu memakai bibit pohon diberi mikroba agar tumbuh di lahan kritis. Akar membusuk dari semak-semak jadi sumber unsur hara tanaman sehingga petani bisa menanam singkong dengan sistem bagi hasil.
Perusahaan pun menanam bermacam pohon di areal konsesi, termasuk tanaman penghasil energi, yakni pohon aren untuk menghasilkan bioetanol serta tanaman bambu dan nyawai untuk menghasilkan biomassa pengganti batubara. Pengusahaan hutan mirip hutan alami agar jasa lingkungan terjaga.
Menurut Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Energi Arief Yuwono, pengembangan bioenergi setiap daerah tak bisa disamaratakan karena potensi sumber daya beragam. Itu perlu pemetaan potensi dan kendala terpadu. Sektor bioenergi pun diurus sejumlah lembaga, seperti Kementerian LHK serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
(JOG)
———–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2016, di halaman 14 dengan judul “Penanaman Didorong Tidak Monokultur”.