Peringatan letusan Gunung Tambora diharapkan tidak berhenti pada kawasan itu sebagai taman nasional oleh Presiden. Tambora berpotensi menjadi ekomuseum kelas dunia yang bisa menarik wisatawan, sekaligus media belajar tentang kegunungapian dan dampaknya bagi peradaban.
“Peringatan letusan Tambora bukan perayaan karena ini artinya memperingati banyaknya korban. Ini harus menjadi momen refleksi dan momentum memajukan daerah ini, sekaligus meningkatkan pengetahuan tentang gunung api dan dampaknya bagi peradaban,” kata Ketua Tim Penelitian Situs Tambora Sonny Wibisono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), dalam diskusi di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (17/4).
Diskusi ini rangkaian peringatan dua abad letusan Tambora yang digelar BBJ. Selain Sonny, turut berbicara filolog dari Bima, Siti Maryam, Kepala Puslit Arkenas I Made Griya, Kepala Badan Geologi Surono, dan geolog Indyo Pratomo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Sonny, penggalian di Tambora sejak 2006 telah menemukan data penting, misalnya berhasil mengekskavasi sebuah kompleks permukiman yang terkubur material vulkanik dengan kondisi lengkap, mulai dari batu penopang, kayu, hingga perabotan rumah. Selain itu, ditemukan berbagai komoditas, seperti aneka hasil pertanian dan alat-alat tenun yang menandakan kemajuan kebudayaan saat itu.
Namun, dari sisi arkeologi, Tambora masih banyak menyisakan misteri. “Sampai kini, pusat Kerajaan Tambora dan Pekat yang hilang karena letusan Tambora tahun 1815 belum ketemu,” kata Griya. Oleh karena itu, riset di Tambora masih menjadi salah satu prioritas Puslit Arkenas.
Sonny mengatakan, selain temuan arkeologis ini, yang juga perlu diperhatikan adalah lingkungan di sekitar Tambora yang semakin rusak karena perambahan hutan. “Oleh karena itu, kami mengusulkan dibuat ekomuseum di sana. Selain bisa menampung koleksi arkeologi, juga membawa pesan untuk menjaga ekologi, seperti bagaimana masyarakat Tambora belajar menghargai kearifan alam,” tuturnya.
Siti Maryam mengharapkan, peringatan letusan Tambora itu dapat memajukan pembangunan di kawasan timur Indonesia, yang cenderung terpinggirkan.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNGGeolog dari Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo, Kepala Badan Geologi Surono, peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Sonny Wibisono, Kepala Puslit Arkenas I Made Griya, dan filolog Siti Maryam (dari kiri ke kanan) menjadi narasumber dalam diskusi “Tambora Dilihat dari Perspektif Mitologi, Arkeologi dan Kesejarahan, Geologi, dan Mitigasi Kegunungan” di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (17/4). Diskusi ini merupakan bagian dari pameran, pergelaran, dan talk show Kuldesak Tambora yang diselenggarakan untuk memperingati 200 tahun meletusnya Gunung Tambora.
Kaya sumber daya
I Made Griya mengatakan, Tambora sebenarnya kaya sumber daya yang mendunia. Kopi tambora dikenal sebelum letusan gunung ini tahun 1815. Pada periode itu, Belanda telah menjalin perdagangan dengan kerajaan di sekitar Tambora.
Dokumen yang menyebutkan perdagangan kopi itu adalah catatan Kerajaan Bima atau Bo’ Sangaji Kai, yang dikompilasi Siti Maryam bersama Henri Chambert-Loir. Disebutkan, ada perjanjian damai dan perdagangan di antara kerajaan-kerajaan di lereng Gunung Tambora dan Belanda yang dilakukan di Makassar, 18 April 1701. Temuan biji kopi, yang terangkat karena terkubur letusan menguatkan catatan sejarah tersebut. “Tetapi, sekarang nama kopi tambora tak dikenal lagi,” katanya.
Dari sisi geologi, menurut Indyo, Gunung Tambora masih sangat menarik minat ilmuwan dunia untuk mempelajarinya.
Surono mengingatkan, Tambora seharusnya menggugah Indonesia meningkatkan minat mempelajari gunung api. “Masak Singapura yang tak punya gunung api malah mendirikan EOS (Earth Observatory of Singapore) yang salah satu fokus menyelidiki gunung api,” katanya. (AIK)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2015, di halaman 14 dengan judul “Tambora Layak Menjadi Ekomuseum Kelas Dunia”.