Belajarlah dari Barat, tapi jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas.–Tan Malaka
Memanglah ukuran keseriusan sesuatu hal bisa dilihat dari keseriusan mereka yang menentangnya. Tentu juga keseriusan mereka yang mendukungnya.
Kita sudah sungguh-sungguh serius di jalan yang benar untuk naik kelas sebagai sebuah bangsa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Standard Chartered Plc memproyeksikan Indonesia masuk lima besar ekonomi dunia pada 2030, dengan ukuran ekonomi di atas 10 triliun dollar AS. Prediksi ini tak mengada-ada menimbang keseriusan bangsa ini menjejaki jalan itu. Juga menimbang keseriusan perlawanan terhadapnya. Dalam lima tahun terakhir saja Indonesia telah melakukan pembangunan infrastruktur terbesar sepanjang sejarah berdirinya.
Kerjaan-kerjaan yang lazimnya di banyak negara dilakukan secara mulus oleh pemerintah otoriter atau totaliter, bisa dikerjakan pemerintah demokratis dalam waktu kurang dari lima tahun. Jalan terbentang dari Aceh hingga Papua. Pulau-pulau terhubung lewat laut dan udara.
Bandara dibangun sehingga dunia pun terbuka. Ketika kian banyak titik-titik Nusantara dapat terakses dan terhubung, muncul pusat-pusat ekonomi baru. Banyak kesempatan maju bisa diraih mereka yang punya niat baik.
Di sisi lain, struktur demografi Indonesia berubah. Puncaknya, pada 2030 usia produktif bangsa ini (15-64 tahun) akan mencapai 200 juta orang. Itu akan menjadikan Indonesia negara dengan usia produktif terbesar di Asia Tenggara. Para orang pintar menyebutnya “bonus demografi”. Saya lebih suka menyebutnya “suplai nyali dan nalar bangsa.” alenta.
Perubahan struktur penduduk ini akan memberi peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, namun juga akan jadi beban bila pekerjaan rumah tak kita tuntaskan: memasok talenta Indonesia 4.0. Talenta yang bernyali dan bernalar tentunya.
Puncaknya, pada 2030 usia produktif bangsa ini (15-64 tahun) akan mencapai 200 juta orang. Itu akan menjadikan Indonesia negara dengan usia produktif terbesar di Asia Tenggara.
Krisis talenta global
Saat mendiskusikan keanekaragaman potensi psikologis dan genetis SDM Indonesia dengan para mahasiswa psikiatri dan rekayasa genetik asal Indonesia di Universitas Cambridge seminggu lalu, saya menggunakan kata “talenta” ketimbang “manusia”.
Talenta melambangkan manusia dengan segala imajinasi, potensi dan kemampuan yang dibawanya. Sedangkan kata “manusia” hanya melambangkan manusia sebagai unit biologis dan bahan mentah dari sebuah sistem yang diasumsikan sudah baku.
Fajar Revolusi 4.0 yang sedang merekah telah memunculkan persoalan baru: krisis talenta global. Di satu sisi, pemanfaatan teknologi informasi secara besar-besaran untuk otomasi produksi kian menyempitkan lapangan kerja yang sudah sangat padat oleh pasokan tenaga kerja yang tersedia. Sementara di sisi lain, lapangan baru yang terbuka oleh ekonomi berbasis teknologi tinggi kekurangan pasokan talenta yang bernyali dan bernalar tadi.
Dalam kondisi ini tiap-tiap negara terancam kehilangan generasinya jika mereka gagal menggunakan pendekatan yang lebih utuh untuk mengasuh (nurturing) talenta sesuai yang diminta sejarah.
Menurut laporan Human Capital Index, pemanfaatan potensi SDM baru mencapai 62 persen secara global, di mana hanya ada 25 negara yang mencapai 70 persen, sementara mayoritas negara baru memanfaatkan 50-70 persen dari modal manusia yang dimilikinya.
Data Asian Productivity Organization menunjukkan, pada 2018 laju produktivitas tenaga kerja Indonesia masih berada di bawah Thailand, Malaysia, bahkan Vietnam. Mayoritas pendidikan usia produktif kita SMP ke bawah. Presiden Jokowi sudah menyatakan kegelisahannya tentang kondisi ini.
Indonesia, dengan populasi sekitar 260 juta orang, kekurangan ahli di bidang Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika (STEM). Pasokan di bidang STEM masih kurang memadai untuk memenuhi permintaan atau kebutuhan revolusi Industri 4.0.
Talenta melambangkan manusia dengan segala imajinasi, potensi dan kemampuan yang dibawanya. Sedangkan kata “manusia” hanya melambangkan manusia sebagai unit biologis dan bahan mentah dari sebuah sistem yang diasumsikan sudah baku.
Kita semua sudah tahu playbook-nya. Dalam menyiapkan talenta 4.0, playbook ini mewajibkan kita memetakan permintaan lapangan kerja, pengembangan kurikulum pendidikan sesuai kebutuhan zaman, penyegaran guru-guru dan tenaga pengajar, serta, peningkatan fasilitas Balai Latihan Kerja (BLK), SMK, politeknik, dan universitas. Cara ini cara standar. Cara standar akan memberikan hasil linear. Namun waktu kita tak banyak.
Revolusi 4.0, sebagaimana jenis-jenis revolusi lain yang pernah dikenal manusia, menuntut lompatan. Kita butuh quantum leap yang memungkinkan talenta Indonesia tumbuh dalam skala eksponensial. Kita butuh ide radikal. Saya mau menawarkan ide radikal itu: meleburkan Kekuatan Nalar (Brain Power) dengan Kekuatan Masyarakat (Community Power). Ini soal otak dan otot bangsa.
Otak dan otot
Brain Power adalah penubuhan dan perwujudan potensi kaum terpelajar Indonesia yang sudah berkarier. Merekalah talenta yang telah lebih dahulu berhasil menikmati akses pendidikan tinggi (D1 hingga S3, baik di dalam maupun luar negeri) dan terserap dalam lapangan kerja atau menciptakan pekerjaan.
Beberapa talenta dalam kategori Brain Power ini bahkan dapat dikategorikan sebagai “Talenta Unggul”. Mereka memiliki keberuntungan mengenyam pendidikan tinggi di tempat-tempat terbaik (kampus terbaik di dalam atau luar negeri), berhasil menempati pucuk-pucuk pimpinan di perusahaan di mana mereka bekerja, atau menjadikan usaha rintisan mereka acuan keberhasilan pengusaha lainnya.
Community Power, adalah sel inti (stem cell) yang membentuk bangsa. Di sinilah struktur sosial masyarakat terjalin sejak tingkat RT hingga desa atau kampung kota. Community Power memiliki fungsi merekatkan individu yang berbeda dalam sebuah sistem dan melakukan fungsi pengaturan diri (self-regulation) supaya kehidupan bermasyarakat tertib.
Community power mengatur diri sendiri berdasarkan apa yang mereka tahu sebagai warisan masa lalu. Ini kearifan kolektif, tempat informasi dasar tentang bangsa tersimpan ratusan tahun. Tanpa kebaruan pengetahuan dan wawasan, fungsi self-regulating ini, kita akan ditinggal hyperloop sejarah dan orang-orang di dalamnya cuma jadi bulan-bulanan ide-ide baru komersial yang berterbangan di angkasa digital.
Brain Power memiliki pengetahuan dan ilmu pengetahuan sedangkan Community Power memiliki kebijaksanaan dan kebajikan masyarakat. Keduanya harus dikawinkan sebagai dua penggerak kembar pelaksanaan strategi pengembangan talenta yang sudah diterapkan dalam RPJMN 2020-2024. Tak bisa tidak, saya membayangkan lahirnya golongan akar rumput (Community Power) yang berpikir lewat para pemikir (Brain Power) yang berjiwa akar rumput.
Mungkinkah? Mungkin.
Revolusi 4.0, sebagaimana jenis-jenis revolusi lain yang pernah dikenal manusia, menuntut lompatan. Kita butuh quantum leap yang memungkinkan talenta Indonesia tumbuh dalam skala eksponensial.
Dalam pengalaman banyak bangsa (asal kita mau merenungkannya), segala perkara dunia tidaklah dibagi antara yang susah dan yang mudah, melainkan oleh apakah solusinya sesuai yang diminta sejarah atau tidak. Jika sesuai jadi mudah, jika tidak sesuai jadi susah. Kerja pokoknya bukan saat berretorika atau menyusun peta jalannya, namun membangun jejaring Brain Power dan Community Power.
Ada beberapa kisah menarik dalam beberapa tahun belakangan saat saya bertemu puluhan ribu Community Power dan beribu Brain Power Indonesia yang tersebar, dari desa hingga dunia. Proses mengawinkan mereka dengan Community Power, khususnya desa-desa selama empat tahun terakhir, meyakinkan saya bahwa talenta Indonesia menghadapi Revolusi 4.0 tak bisa tidak harus melompat dengan cara disruptif.
Setidaknya kita harus menciptakan ruang untuk saling bicara dan bekerja sama antara tiga unsur Brain Power ini. Pertama, Brain Power yang bekerja untuk mencerdaskan dan menajamkan masyarakatnya, seperti pejabat publik yang berpikir progresif disruptif, pendidik dan wirausahawan sosial (social entrepneurs).
Kedua, Brain Power yang bekerja untuk mencerdaskan dan menajamkan alat-alat, seperti para pakar Kecerdasan Buatan, Mesin Pembelajar, pakar robotik dan mobil terbang, ahli mesin cetak tiga dimensi, pakar komputer kuantum dan semacamnya.
Ketiga, Brain Power yang bekerja untuk mencerdaskan tubuh manusia, seperti ahli rekayasa genetik, pakar neurosains, psikolog evolusioner dan sejenisnya. Dalam Revolusi 4.0, ketiganya harus saling bercakap-cakap membangun keselarasan gerak.
Proses mengawinkan mereka dengan Community Power, khususnya desa-desa selama empat tahun terakhir, meyakinkan saya bahwa talenta Indonesia menghadapi Revolusi 4.0 tak bisa tidak harus melompat dengan cara disruptif.
Dalam pertemuan Brain Power dengan Community Power, alih pengetahuan, belanja masalah, penemuan solusi, dan tukar gagasan berlandas pengetahuan dan kebajikan akan terjadi. Brain power yang tak menggandeng Community Power akan jadi dongeng pencerahan yang tertolak.
Sedangkan Community Power tanpa Brain Power akan terjun bebas hambatan menuju populisme tribalis yang gentar di hadapan badai data dan informasi. Pertemuan ini adalah jalur percepatan, di mana pembangunan talenta yang tadinya harus terjadi selama belasan tahun dapat dipotong jadi lebih cepat.
Hal ini penting karena bonus demografi kita hanya sampai 2030. Selepas itu, Indonesia akan menjadi masyarakat menua. Pilihannya hanya menjadi talenta unggul sekarang atau tidak selamanya. Dalam proses tersebut, desa dan kampung menjadi inkubator inovasinya, kota dan negara menjadi lintasan jejaringnya dan dunia menjadi arena bermainnya
(Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia)
BUDIMAN SUDJATMIKO KETUA UMUM INOVATOR 4.0 INDONESIA
Sumber: Kompas, 19 Juli 2019