Mantan Senior Vice President of People Operations Google Inc, Laszlo Block, dalam artikel wawancara khusus In Head-Hunting, Big Data May Not Be Such a Big Deal (The New York Times, 19 Juni 2013), menceritakan, dulu, Google meminta pelamar menyertakan indeks prestasi kumulatif (IPK) dan transkrip nilai ujian perguruan tinggi mereka. Namun, seiring waktu, IPK tidak layak sebagai kriteria utama perekrutan, begitu pula dengan nilai ujian.
Pada tahun itu, Laszlo mengungkapkan, Google sudah mempunyai tim yang sekitar 14 persen anggotanya terdiri dari orang-orang yang belum pernah kuliah. Proporsi karyawan tanpa mengenyam perguruan tinggi di Google meningkat dari waktu ke waktu.
Google melakukan langkah atraktif dalam mencari kandidat yang tepat. Misalnya, wawancara perilaku, yang isinya bukan semata-mata terkait pertanyaan hipotesis, melainkan mengenai cara seseorang melewati masa-masa sulit. Tujuannya, menggali informasi perihal kandidat itu berinteraksi dengan dunia nyata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada Agustus 2018, Glassdoor merilis daftar 15 perusahaan yang tidak lagi membutuhkan karyawan bergelar akademik tertentu, termasuk Google, Apple, dan IBM. Edelman Intelligence, Upwork, dan Freelancers Union merilis laporan survei Freelancing in America 2018. Survei tahunan yang diselenggarakan sejak lima tahun lalu menyasar 6.001 pekerja lepas di Amerika Serikat. Temuan menariknya, 93 persen pekerja bergelar sarjana empat tahun kuliah mengaku pelatihan keterampilan lebih bermanfaat. Hanya 79 persen yang mengatakan pendidikan perguruan tinggi berguna untuk pekerjaan mereka sekarang.
Perubahan teknologi digital yang cepat dikombinasikan dengan kenaikan biaya pendidikan memungkinkan sistem pendidikan tinggi tradisional kian ketinggalan zaman.
Pada 2016, sebenarnya kesadaran mengenai situasi tersebut sudah ramai disuarakan. Dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF), disebutkan, 5-10 tahun lalu, pekerjaan spesialisasi atau dengan keterampilan tertentu belum laris dicari. WEF kembali menekankan pada kecepatan perubahan teknologi digital yang berdampak pada persyaratan lapangan pekerjaan. Sekitar 65 persen anak-anak yang memasuki sekolah dasar diperkirakan akan berakhir pada pekerjaan yang belum ada.
Kalangan pekerja yang masih bekerja, baik sebagai pekerja lepas maupun pekerja tetap, merespons realita itu dengan berbagai sikap. Pekerja tetap di perusahaan memilih menuntut manajemen memberikan pelatihan keterampilan atau mengubah sistem organisasi. Namun, tidak semua perusahaan mampu bersikap seperti dalam laporan Glassdoor.
Kehadiran program pelatihan keterampilan menjadi “ancaman” sebagian pekerja untuk tetap bertahan. Mengutip riset Linkedin, 94 persen karyawan akan tinggal di perusahaan lebih lama jika berinvestasi dalam pengembangan karir. Survei Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebutkan, negara yang mempunyai porsi karyawan terbanyak menerima pelatihan dari perusahaan antara lain Finlandia, Swedia, dan Jerman.
Di Indonesia, situasinya lebih kompleks. Pemerintah aktif merespons setiap perubahan yang terjadi di pasar tenaga kerja, sehingga patut diapresiasi. Sejak 2017, Pemerintah Indonesia mendorong ribuan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) atau Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyelenggarakan pelatihan vokasi. Pemerintah juga telah menyusun peta jalan pendidikan dan pelatihan vokasi sehingga lintas kementerian/lembaga diharapkan satu suara mendukung suplai tenaga kerja terampil. Namun, masih ada anggapan gelar adalah label utama mengukur kompetensi profesional.
Dengan gelar, mereka menciptakan ilusi “rasa aman” mendapatkan pekerjaan layak seumur hidup. Padahal, faktanya, pasar kerja tidaklah statis.
Mengutip pernyataan Managing Partner Ernst&Young for Talent, Maggie Stilwell, kualifikasi gelar akademik tetap diperhitungkan dan menjadi pertimbangan menilai kandidat secara keseluruhan. Akan tetapi, ketiadaan gelar akademik tidak lagi bertindak sebagai penghalang utama meraih kesempatan kerja yang layak. (MEDIANA)–MEDIANA
Sumber: Kompas, 12 Februari 2019