Dua pekan lalu, puluhan matematikawan top dari pelbagai kampus di dunia berkumpul di Universitas Oxford, Inggris. Mereka datang jauh-jauh ke Inggris hanya demi satu hal: memahami jawaban soal matematika, a + b = c.
Bagi yang pengetahuan matematikanya pas-pasan, soal itu tampak seperti materi pelajaran anak-anak yang baru belajar mengenal bilangan. Padahal, soal yang lebih dikenal sebagai Konjektur ABC ini merupakan salah satu misteri terbesar dalam matematika.
Konjektur ABC dilontarkan oleh matematikawan Prancis, Joseph Oesterle, dan David Masser, profesor matematika di Universitas Basel, Swiss, sekitar 30 tahun lalu. Ada sejumlah matematikawan yang mengajukan proposal jawaban atas soal itu, tapi tak satu pun diterima dan terbukti benar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Suatu pagi pada 30 Agustus 2012, Shinichi Mochizuki mengunggah empat artikel sepanjang 500 halaman ke Internet. Doktor matematika pada umur 23 tahun dari kampus kondang Universitas Princeton, Amerika, ini bekerja di Institut Riset untuk Sains Matematika di Universitas Kyoto, Jepang. Di artikel panjang itu, Shinichi mengklaim telah menemukan jawaban atas Konjektur ABC.
Shinichi tak mengirim artikelnya ke jurnal matematika. Dia hanya memajang artikelnya di Internet, tanpa berkoar-koar kepada matematikawan lain. Hingga seorang temannya di kantor, Akio Tamagawa, menemukannya dan mengirimkan jawaban Shinichi kepada matematikawan lain di sejumlah kampus, salah satunya Ivan Fesenko dari Universitas Nottingham, Inggris.
The Conversation
Ivan segera mengunduh artikel Shinichi dan buru-buru membacanya. Dahinya segera berkerut-kerut. “Tak mungkin untuk memahami jawaban Shinichi,” kata Ivan kepada Scientific American. Merasa penasaran, Ivan mengirim jawaban Shinichi kepada sejumlah matematikawan spesialis geometri aritmatika, bidang yang ditekuni Shinichi.
Tapi reaksi mereka kurang-lebih serupa dengan Ivan Fesenko. “Mencermati jawaban Shinichi, kamu akan merasa tengah membaca artikel dari masa depan atau dari luar angkasa,” kata Jordan Ellenberg, matematikawan dari Universitas Wisconsin, Madison, Amerika Serikat. Di artikelnya penuh bertebaran istilah baru dan tool matematika yang dibuat oleh Shinichi untuk menopang argumentasinya. “Dia benar-benar membuat dunianya sendiri,” kata Moon Duchin, matematikawan dari Universitas Tuft, Amerika.
Tiga tahun sudah “jawaban” soal a + b = c itu dipelototi para matematikawan, tapi tak satu pun yang bisa sungguh-sungguh memahami atau menyimpulkan apakah jawaban Shinichi itu benar atau salah. Tak aneh jika Shinichi pun hampir frustrasi melihat tak ada satu pun sejawatnya yang memahami artikelnya. Menurut Shinichi, paling tidak butuh waktu 500 jam untuk memahami artikel 500 halaman itu. Untuk memahami artikelnya, kata Shinichi seperti dikutip Nature, matematikawan lain harus “menonaktifkan” pola pikir yang selama ini mereka ikuti.
“Sungguh mengecewakan, tak ada satu orang pun yang bisa menyimpulkan apakah jawaban itu benar atau salah,” kata Minhyong Kim, matematikawan dari Universitas Oxford, kepada New Scientist. Kim sudah sangat lama kenal dengan Shinichi, sejak masih kuliah di Princeton. Tapi Kim juga bersimpati kepada para matematikawan yang mengkritik gaya eksentrik Shinichi.
Dia enggan meninggalkan Kyoto. Jenius matematika dari Jepang itu menolak menjelaskan artikelnya dalam forum terbuka di luar Jepang. Kendati sangat lancar berbahasa Inggris, dia juga menolak memberikan kuliah soal artikelnya dengan bahasa Inggris. Kepada wartawan, Shinichi juga sangat irit bicara.
Gayanya mirip sekali dengan jenius lain, Grigori Perelman, matematikawan dari Rusia. Perelman adalah satu-satunya orang yang berhasil memecahkan “Tujuh Soal Matematika Abad Ini” dari Institut Clay, yakni Konjektur Poincare. Tapi Perelman menolak hadiah US$ 1 juta yang diberikan oleh Institut Clay. “Aku sudah punya semua yang aku butuhkan,” Perelman memberi alasan.
Menurut Kim, Shinichi bukan orang yang sangat tertutup. “Dia hanya sangat berfokus pada matematika.” Satu hal lagi yang membedakan Shinichi dengan Perelman, dia orang yang ramah dan sangat rapi. “Kantornya paling rapi di antara semua kantor matematikawan yang pernah aku saksikan seumur hidupku,” kata Ivan Fesenko.
Lokakarya di kampus Oxford dua pekan lalu kembali menemui jalan buntu. Kendati Shinichi bersedia menjelaskan jawabannya lewat Skype, matematikawan yang hadir dalam pertemuan selama beberapa hari itu tetap tak benar-benar paham.
“Tak ada yang paham apa yang sebenarnya terjadi,” kata Felipe Voloch dari Universitas Texas, Amerika. Shinichi dan sejawatnya sama-sama frustrasi. “Aku tak mengerti mengapa dia membuatnya sedemikian abstrak,” kata matematikawan dari Universitas Purdue, Arthur Jackson. Minhyong Kim, sahabat lama Shinichi dan ketua panitia lokakarya, mengatakan dia mengerti ide besar Shinichi, tapi belum paham penjelasannya.(sap/hbb)
Sapto Pradityo
Sumber: detikNews, 2015/12/21
—————-
Ini Kata Doktor Matematika UI Soal a+b=c yang Belum Terpecahkan
Belum ada satu pun matematikawan di dunia ini yang dianggap bisa memecahkan konjektur ABC, yang memiliki penulisan matematis a+b=c. Bagaimana dengan matematikawan Indonesia?
Kepala Departemen Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia Alhadi Bustamam S.Si, M.Kom, Ph.D, mengaku tak mengikuti detail pembahasan soal konjektur a+b=c. Namun dia mengatakan memang banyak konjektur matematika, atau disebut postulat di bidang Fisika, yang belum terpecahkan. Secara bahasa, konjektur atau postulat berarti asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya.
“Selama problem konjektur itu belum bisa dibuktikan, ya masih dianggap benar. Ini seperti postulat di Fisika,” ujar Alhadi saat dihubungi detikcom, Senin (21/12/2015).
Alhadi belum bisa bicara banyak soal konjektur a+b=c itu. Ahli Bioinformatika ini masih harus membaca lebih jauh soal konjektur tersebut.
Jawaban tak jauh berbeda keluar dari matematikawan ITB, Profesor Hendra Gunawan. Profesor Hendra mengatakan konjektur a+b=c dikaji para matematikawan ahli teori bilangan, namun bukan bidang keahliannya.
“Saya pernah mendengar, tapi itu bukan bidang saya. Mungkin itu lebih mengerti teman-teman yang ahli teori bilangan,” ujar Hendra yang merupakan anggota Grup Analisis dan Geometri FMIPA ITB ini.
Konjektur ABC dilontarkan oleh matematikawan Prancis, Joseph Oesterle, dan David Masser, profesor matematika di Universitas Basel, Swiss, sekitar 30 tahun lalu. Ada sejumlah matematikawan yang mengajukan proposal jawaban atas soal itu, tapi tak satu pun diterima dan terbukti benar.
Dua pekan lalu, puluhan matematikawan top dari pelbagai kampus di dunia berkumpul di Universitas Oxford, Inggris. Mereka datang jauh-jauh ke Inggris hanya demi satu hal: memahami jawaban soal matematika, a+b=c itu.
Salah satu yang dibahas dalam perkumpulan di Oxford itu adalah soal artikel matematikawan Jepang Shinichi Mochizuki. Pada 30 Agustus 2012 lalu, Shinichi mengunggah empat artikel sepanjang 500 halaman ke Internet. Di artikel panjang itu, doktor matematika pada umur 23 tahun dari kampus kondang Universitas Princeton, Amerika, ini mengklaim telah menemukan jawaban atas Konjektur ABC.
Apakah jawaban Shinichi memuaskan para matematikawan? Belum. Jawaban Shinichi masih dianggap membingungkan.(tor/nrl)
Ahmad Toriq –
Sumber: detikNews, Senin 21 Dec 2015