Usaha persuteraan alam, khususnya produksi kokon dan benang sutera, dirasakan sangat menguntungkan karena cepat menghasilkan dan bernilai ekonomis tinggi. Teknologi yang digunakan juga relatif sederhana dan tidak memerlukan keterampilan khusus, sehingga dapat dijadikan usaha pokok maupun sambilan.
Sutera alam telah dikenal sebagai bahan sandang yang berkualitas prima dan mempunyai nilai gengsi tersendiri bagi pemakainya. Sebagai bahan sandang, kain sutera dan benang sutera alam belum tergantikan oleh serat sintetis, sehingga proses produksinya tetap alami. Pemanfaatan
benang sutera di dunia saat ini tidak hanya untuk pakaian, furnitur maupun asesoris, namun semakin luas dengan adanya dukungan teknologi. Di Eropa dan Thailand, misalnya, benang sutera sudah diuji coba untuk dibuat rompi anti peluru. Pada abad 21 mendatang, industri ulat sutera alam diprediksi akan mengarah ke negara-negara tropis karena adanya berbagai kemudahan, seperti pemeliharaan ulat sutera bisa dilakukan setiap saat tanpa mengenal musim.
Kondisi ini jelas sangat menguntungkan Indonesia dan memberikan peluang untuk pengembangan lebih jauh.
Kebutuhan benang sutera selalu mengalami kenaikan. Pada 1994, FAO menyatakan kebutuhan benang sutera dunia sebesar 92.743 ton, sedang produksinya baru mencapai 83.393 ton. Di dalam negeri sendiri, permintaan benang sutera terus meningkat dan saat ini konsumsi sutera Indonesia
mencapai 600 ton per tahun, tapi sejauh ini baru dapat dipenuhi 150 ton dari produksi sutera rakyat. Gambaran kasar itu jelas mengindikasikan bisnis benang sutera masih sangat terbuka baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk keperluan ekspor. Persuteraan alam di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak 1960-an, khususnya di Sulawesi Selatan. Pada
waktu itu, kebanyakan lokasi budidaya ulat sutera (serikultur) dilakukan di daerah-daerah kritis, karena tanaman murbei-makanan pokok ulat sutera jenis murbei-dijadikan sebagai tanaman penghijauan. Namun keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dalam teknik pemeliharaan ulat sutera serta pemintalan kokon, menjadikan kegiatan itu tidak berkembang.
Sutera liar
Jesmandt Situmorang, pakar serangga dari Fakultas Biologi UGM, menuturkan kini sutera tidak terbatas pada sutera yang dihasilkan oleh Bombyx mori (sutera murbei). Banyak spesies lain yang menghasilkan sutera nonmurbei (wild silk). Sutera liar dihasilkan oleh jenis-jenis yang tergolong dalam famili Saturniidae dalam genus Antheraea, Samia, Cricula dan Attacus.
Sampai saat ini di antara yang paling banyak menghasilkan produksi sutera liar komersial adalah dari jenis-jenis yang tergolong Antheraea. Industri sutera liar itu berkembang dengan pesat karena tuntutan mode yang mulai beralih menyukai warna-warna alamiah seperti yang dimiliki oleh serat-serat sutera liar, atau karena berkembangnya kreasi-kreasi baru dalam
variasi-variasi garmen, termasuk komono, obi kimono, seni interior, wall paper, aksentuasi menarik pada tas wanita, dompet, dan kotak surat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jesmandt mengungkapkan di Indonesia terdapat sutera liar yang berkualitas baik, yakni sutera atakas dan sutera emas. Benang sutera atakas mengandung banyak saluran halus, sangat menyerap, lembut, sejuk dipakai, tidak mudah kusut, tahan panas, tidak menimbulkan gatal dan antibakteri. Potensi sutera liar sebenarnya sangat banyak, tapi sampai saat ini belum dimanfaatkan optimal sebagai potensi ekonomi. Terkait dengan itu, sampai kini baru dua
jenis ulat sutera liar yang telah diteliti cara budidayanya, yaitu Attacus atlas yang menghasilkan sutera atakas dan Circulla trifenestrata yang menghasilkan sutera emas.
Pembudidayaan ulat sutera liar mudah dilakukan, mengingat investasinya relatif rendah, teknologinya sederhana, bersifat padat karya, sementara pakannya dapat ditanam di mana saja, seperti di pekarangan rumah, lahan kurang subur, lahan tidur atau lahan kritis. Menurut dia, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) misalnya, sebenarnya banyak ditemukan ulat sutera
liar, terutama jenis sutera atakas dan sutera emas. Khusus ulat atakas, bagi penduduk sudah tak asing lagi. Ulat ini biasa disebut ulat jedhug atau kadang-kadang disebut juga uler keket. Ulat ini biasanya ditemukan di tanaman sirsak, keben, gempol, mahoni, rambutan, kedondong, alpokat, jambu biji, uwi dan rempeni. Sementara untuk sutera emas, tuturnya, saat ini banyak dibudidayakan di daerah Wonogiri, setelah beberapa tahun yang lalu
pihaknya bersama instansi terkait di daerah itu melakukan sosialisasi budidaya sutera emas.
Sutera emas, tuturnya, bentuk ulatnya memang lebih kecil dibanding dengan ulat atakas, tapi harganya memang relatif lebih mahal dibanding atakas. Menurut dia, kalau sudah berbentuk kokon, untuk atakas per kg mencapai jumlah 800-1200 kokon, sementara untuk kokon sutera emas mencapai 16.000-17.000 kokon per kg. Dia menuturkan harga kokon sutera atakas dan
emas jauh lebih mahal dibandingkan dengan sutera murbei. Kalau murbei per kg sekitar Rp. 20.000, maka untuk sutera atakas dan emas mencapai Rp. 50.000-Rp. 150.000. Jemandt menuturkan di DIY saat ini sudah banyak kelompok-kelompok yang membudidayakan sutera liar-khususnya atakas-setelah pihaknya bersama BK3S (sebuah LSM pimpinan GKR Hemas) mensosialaisasikan
budidaya sutera liar kepada masyarakat di pedesaan sejak tahun 1996 lalu.
“Kini mereka sudah merasakan hasilnya. Yang saya tahu mereka menjual kokon sutera liar itu kepada pengusaha Jepang yang secara periodik datang ke Yogya melakukan pembelian,” ujarnya seraya menambahkan Jepang merupakan pasar yang sangat prospektif untuk sutera liar mengingat benang atau tekstil dari sutera liar sangat indah untuk membuat kimono. Di Jepang,
tutur dia, harga benang dari sutera liar ini pernah mencapai harga 500.000 yen per-kg-nya. BKPMD DIY tanggap dengan peluang bisnis sutera liar ini. Karena itu, badan ini bekerja sama dengan Fakultas Biologi UGM menyusun semacam panduan informasi ihwal budidaya sutera liar dengan harapan banyak orang atau investor berminat menerjuni bisnis ini.
Y. Bayu Widagdo & Tomy Sasangka
Sumber: Bisnis Indonesia, Edisi : 04-JAN-2000
——————-
Ulat sutera: Hama Jadi Harta
Ribuan ulat rakus melahap daun itu bahan benang bernilai Rp2-juta per kg.
Ribuan pohon di Desa Karangtengah, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, nyaris tanpa daun. Jambu mete, avokad, sirsak, mahoni, dan pohon-pohon lain meranggas. Ribuan ulat yang menikmati daun di pepohonan itu menimbulkan suara gemerisik hampir sepanjang malam.
Joyo Pargiyanto, salah satu pekebun pohon itu tidak lantas kalap memberantas larva anggota famili Papillionidae itu. Alih-alih terganggu, ia justru bersyukur. Semakin banyak ulat, semakin ia senang. Apa pasal? Ia mengolah ulat-ulat itu menjadi kain sutera bernilai tinggi. Lelaki 43 tahun itu mengolah 2 jenis ulat: ulat kipat Cricula trifenestrata dan ulat gajah Attacus atlas. Kokon alias kepompong kedua ulat itu bernilai Rp65.000—Rp70.000 per kg. Setelah pemintalan dan penenunan menjadi kain, harga selembar sutera asal ulat dengan lebar 48 cm dan panjang 1 meter mencapai Rp500.000. Bandingkan dengan harga sutera puti asal ulat Bombyx mori, Rp100.000—Rp150.000 dengan ukuran sama.
Ulat kipat menghasilkan benang sutera berwarna emas. Adapun warna sutera dari ulat gajah tanpa proses pewarnaan bervariasi antara cokelat muda hingga cokelat tua keemasan. Tubuh ulat kipat berwarna hitam dengan bintik dan bulu putih, sedangkan bagian kepala dan ujung perut berwarna merah cerah. Ulat itu berasal dari telur ngengat dewasa berwarna cokelat muda dengan tiga bercak transparan di sayap depan. Ia menjalani hidup sebagai ulat selama 20—45 hari dan mengalami 4 kali pergantian kulit.
Setiap fase di antara pergantian kulit, disebut instar, berlangsung 4—9 hari. Selama menjadi instar kelima sebagai ulat berukuran 4—6 cm, ulat kipat makan lebih rakus. Tujuannya memperoleh cukup tenaga untuk membentuk kepompong. Setelah memperoleh cukup energi, ia lantas membuat kokon kuning keemasan selama 2 hari. Selang 17—21 hari, dari kepompong akan muncul ngengat dewasa.
Adapun ulat gajah berwarna hijau muda, memiliki duri lunak dan berselimut tepung putih. Ciri lain ulat gajah adalah tubuh besar dengan panjang mencapai 15 cm. Setelah melewati 6 kali pergantian kulit, masing-masing selama 4—6 hari, ulat gajah pun membentuk kepompong.
Saat kepompong-kepompong itu berumur 3 hari, Pargiyanto panen. Kepompong siap panen kalau pupa—bagian dalam kepompong—telah mengeras, berwarna cokelat, dan terasa bergeser saat digoyangkan, menandakan adanya rongga kosong antara kulit kepompong dengan pupa di dalamnya. Dari setiap pohon, ia memperoleh hingga 2 kg kepompong. Setiap musim, lahan itu menghasilkan hingga sekuintal kepompong tanpa pupa, sekitar 2.000—3.000 kepompong. Pargiyanto menyisakan 10% kepompong untuk mempertahankan populasi ulat agar ia bisa panen pada musim berikutnya.
Untuk memintal benang, Pargiyanto merebus kokon lolos seleksi selama 24 jam. Setelah berbentuk seperti kapas, ia mendinginkan kokon selama 4 jam. Ia lalu memintal benang dengan alat tenun sambil memilin benang dengan tangan. Benang yang didapat masuk penyaring dan berakhir di penggulung benang. Jika putus atau habis, Pargiyanto segera menyambung filamen dari kokon lain. Filamen alias benang tipis itu lantas ia pilin menjadi benang twist alias benang pilin. Setiap pilinan terdiri atas 5—10 benang mentah. Menurut Sari Nur Anisa, kepala Produksi Yarsilk Gallery, toko sutera terbesar di Kota Yogyakarta, setiap kepompong dapat menghasilkan 2.500 meter filamen. Begitu menjadi gulungan benang twist, panjangnya hanya 20 m.
Serat sutera dari kedua ulat itu 2—3 kali lebih tebal ketimbang serat sejenis asal ulat murbei Bombyx mori. Ketebalan filamen kepompong bervariasi, tetapi penampang melintang filamen seragam. Hasilnya, serat sutera yang dihasilkan pun lebih panjang dan kuat. Keunggulan lain, kain sutera alami halus, tidak mudah kusut, tahan panas, dan tidak menyebabkan alergi. Wajar jika sekilogram benang dari ulat sutera liar dihargai hingga Rp2-juta.
Pengolahan ulat sutera liar di Desa Karangtengah bermula pada 2000. GRA Nurmalita Sari alias Kanjeng Ratu Pembayun, putri sulung gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X, mendapat informasi bahwa ulat sutera Indonesia bernilai tinggi dari Prof Hiromu Akai. Hiromu, peneliti ulat sutera asal Jepang sekaligus ketua Perkumpulan Sutera Liar Dunia itu terkejut begitu tahu ulat yang menjadi hama dan dibasmi penduduk adalah satu-satunya spesies di dunia yang menghasilkan benang sutera berwarna emas. Pembayun lantas menyebarkan informasi itu ke Karangtengah. Dalam sekejap, ulat yang semula dihabisi ramai-ramai itu naik kelas menjadi makhluk kesayangan.
Hiromu pernah mencoba membudidayakan ulat kipat di Jepang, tetapi gagal. Menurut Prof Dr Jesmandt Situmorang, MSc, peneliti ulat sutera di Fakutas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, kegagalan terjadi karena banyak faktor. Di antaranya ketidaksesuaian iklim, ketidakcocokan pakan, sampai serangan bakteri. “Ulat kipat memerlukan suhu 24—300C dan kelembapan di atas 50% untuk hidup dan berkembangbiak,” ujar Jesmandt. Di bawah iklim subtropis Jepang, ulat-ulat itu jelas tidak mampu bertahan.
Kedua ulat penghasil sutera liar itu hanya muncul pada permulaan kemarau, ketika hujan masih turun sesekali. Itu sebabnya panen pun hanya setahun sekali. Pasalnya, produksi sangat bergantung kondisi cuaca. Menurut Jesmandt, perkembangan kupu-kupu dan ngengat terganggu saat hujan. Sebabnya penyakit dan predator ulat banyak berkembang di musim hujan.
Sudah begitu, kedua penghasil sutera alam itu hanya bisa hidup di lingkungan kebun. Pada 2010, Pargiyanto mencoba mendomestikasi seperti lazimnya dilakukan pada ulat murbei. Sayang, usaha itu gagal. Ulat menemui ajal pada 14—16 hari alias pada fase instar ke-3 tanpa diketahui sebabnya. Jesmandt melihat peluang mengembangkan ulat sutera liar masih terbuka. Jika hambatan domestikasi teratasi, ternak ulat kipat dan ulat gajah bisa dilakukan di halaman rumah. (Kartika Restu Susilo)
Sumber: majalah trubus