Langkah BI menurunkan BI-7DRR di tengah pandemi ini perlu dimaknai sebagai upaya konkret dalam mendorong ekspektasi positif untuk percepatan pemulihan ekonomi Indonesia.
Bank Indonesia (BI) terus mengawal perbaikan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 dengan menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan. Dibandingkan dengan negara lainnya, Indonesia tergolong berhasil mengelola gejolak ekonomi pada masa awal pandemi. Salah satu cerminannya adalah nilai tukar mata uang rupiah yang mulai membaik dengan potensi penguatan.
Namun, banyak tantangan yang masih perlu dihadapi. Ekonomi masih dibayangi risiko perlambatan dengan berbagai dampak turunan, seperti pengangguran dan kemiskinan. Ketidakpastian atas berakhirnya pandemi pun masih menghantui kondisi makroekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Per Juni 2020, BI kembali menurunkan BI 7-day reverse repo rate (BI-7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 4,25 persen setelah mempertahankannya sejak Maret 2020. Penurunan tersebut adalah kali ketiganya sejak Covid-19 menimbulkan gangguan nyata bagi ekonomi.
Makna suku bunga acuan
Suku bunga acuan merupakan sinyal respons kebijakan moneter BI yang ditetapkan untuk mengarahkan inflasi agar tetap pada jalur pencapaian sasarannya. BI menggunakan BI-7DRR sebagai hasil penyempurnaan suku bunga acuan sejak 19 Agustus 2016, menggantikan BI rate..
Bedanya, BI-7DRR ditautkan dengan instrumen operasi pasar terbuka BI, yaitu reverse repo (membeli dengan janji untuk menjual kembali) surat berharga negara (SBN) yang dimiliki bank peserta dengan tenor tujuh hari. Perubahan itu terbukti menguatkan transmisi kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada pergerakan suku bunga operasional di pasar uang antarbank karena sifatnya yang dapat ditransaksikan.
Pergerakan suku bunga acuan semasa pandemi menunjukkan sinyal dari kebijakan moneter yang longgar. Penurunan BI-7DRR bulan Juni 2020 ini sejalan dengan momentum pemulihan ekonomi di tengah pelonggaran pembatasan mobilisasi sosial.
Langkah BI tersebut juga mencerminkan komitmennya dalam sinergi pemulihan ekonomi nasional.
Dampak ekonomi Covid-19 memberikan tekanan tidak hanya dari sisi penawaran, tetapi juga di sisi permintaan. Suku bunga acuan saja tidaklah cukup menjawab seluruh permasalahan. Instrumen kuantitas (quantitative easing) masih dapat melengkapi efektivitas pelonggaran kebijakan moneter. BI telah melakukan injeksi likuiditas sekitar Rp 583,5 triliun, antara lain melalui pembelian SBN di pasar sekunder, swap valuta asing, dan penurunan giro wajib minimum yang berlaku per 1 Mei 2020.
Permintaan agregat turun
Jika dicermati, pelonggaran kebijakan moneter kerap dilakukan mengikuti tren perlambatan ekonomi, termasuk di tengah momen pandemi ini. BI menangkap fenomena tersebut dan memberikan respons secara tepat. Namun, kebijakan moneter tidak secara langsung memengaruhi kondisi sektor riil.
Ketidakpastian yang tinggi akibat pandemi Covid-19 telah menurunkan permintaan agregat. Pada saat masalah tersebut terjadi, penurunan suku bunga acuan perlu disokong dengan dimensi kebijakan yang lain.
Ekonomi memerlukan koordinasi dan bauran kebijakan antar-otoritas, termasuk dalam kebijakan moneter dan fiskal. Pada skala nasional, bauran kebijakan moneter-fiskal pun dapat berperan menimbulkan rangsangan ekonomi sektor riil.
Rasionalitas kolektif
Gangguan makroekonomi sesungguhnya berakar dari masalah rasionalitas kolektif, baik dalam situasi pertumbuhan cepat maupun saat terjadi perlambatan. Di tengah pandemi ini, pelaku ekonomi cenderung menghindari risiko.
Di tengah pandemi ini, pelaku ekonomi cenderung menghindari risiko.
Hal tersebut wajar dan rasional secara individual. Namun pada skala kolektif, dapat berdampak negatif, yaitu pelemahan ekonomi. Untuk itu, BI berkepentingan mengendalikan rasionalitas kolektif demi kestabilan ekonomi.
Bagi otoritas, mengendalikan cenderung lebih mudah dibandingkan merangsang pertumbuhan. Aspek psikologis melekat pada perilaku ekonomi dalam mengambil keputusan ekonomi. Hal itulah yang mendorong perlunya BI dan pemerintah bersama-sama mengelola ekspektasi ekonomi secara baik. Respons kebijakan moneter, termasuk suku bunga acuan, berperan penting dalam membentuk optimisme pasar.
Percepat pemulihan
BI masih memiliki ruang penurunan BI-7DRR seiring rendahnya tekanan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, batasan kuantitatif suku bunga acuan juga perlu diperhatikan. Setiap penurunan suku bunga perlu dipertimbangkan secara baik. Suku bunga acuan dapat kehilangan maknanya apabila ditentukan terlalu rendah mendekati titik nol (zero lower bound).
BI-7DRR saat ini memang mencapai titik terendahnya dalam dua tahun terakhir. Namun, posisi ini tidak dapat dimaknai sebagai hal buruk. Sebaliknya, respons kebijakan itu diperlukan untuk menghadapi tantangan pandemi saat ini. Pencapaian target inflasi sebesar 3 persen dengan deviasi 1 persen pada akhir tahun 2020 perlu dikawal dengan baik.
Langkah BI menurunkan BI-7DRR di tengah pandemi ini perlu dimaknai sebagai upaya konkret dalam mendorong ekspektasi positif untuk percepatan pemulihan ekonomi Indonesia.
Kristianus Pramudito Isyunanda, Asisten Penasihat Hukum di Departemen Hukum, Bank Indonesia.
Sumber: Kompas, 26 Juni 2020