Laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO)i disebutkan, kenaikan suhu global rata-rata tahunan lima tahun mendatang mencapai 1 derajat celsius di atas tingkat praindustri atau tahun 1800-an, pada 2020-2024.
Laju pemanasan global semakin cepat dan mendekati ambang kritis. Dengan tren saat ini, suhu global diperkirakan lebih panas 1,5 derajat celcius dibandingkan tahun 1850 sehingga akan membawa banyak konsekuensi bagi kehidupan.
Peringatan penambahan suhu global mendekati ambang kritis ini disampaikan Pusat Prediksi Iklim Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) dalam laporan terbaru, ”WMO Global Annual to Decadal Climate Update for 2020-2024”. Laporan ini merangkum analisis dan prakiraan dari pusat-pusat prediksi iklim di seluruh dunia, di antaranya sembilan di Eropa, tiga di Asia, dan satu di Australia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Laporan yang diperbarui tiap tahun ini merupakan sintesa analisis para ilmuwan iklim dunia dipadukan prediksi model komputer dari pusat-pusat iklim terkemuka di dunia untuk lima tahun ke depan. Itu bisa jadi acuan para pengambil keputusan,” kata Siswanto, Ketua Divisi Meteorologi, Klimatologi, dan Oseanografi Himpunan Ahli Geofisika Indonesia, di Jakarta, Kamis (16/7/2020).
—-Prediksi suhu global dalam lima tahun ke depan. Sumber: WMO, 2020
Dalam laporan ini disebutkan, kenaikan suhu global rata-rata tahunan lima tahun mendatang mencapai 1 derajat celsius di atas tingkat praindustri atau tahun 1800-an, pada 2020-2024. Kemungkinan 20 persen kenaikan itu akan melebihi 1,5 derajat celsius dalam satu tahun di antaranya.
Periode lima tahun terakhir, 2014-2019, terhangat dalam catatan data meteorologi dunia. Pada 2019, suhu rata-rata Bumi lebih dari 1 derajat celsius di atas masa praindustri.
Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas, dalam keterangan tertulis, menyebut, dengan tren saat ini, target Perjanjian Perubahan Iklim Paris untuk menjaga kenaikan suhu global abad ini di bawah 2 derajat celsius sulit tercapai. Apalagi, untuk mengejar ambisi membatasi kenaikan suhu global tak lebih dari 1,5 derajat celsius pada tahun 2030 bakal makin sulit terwujud.
Menurutnya, perlambatan industri dan ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19 tak bisa menggantikan rencana aksi iklim berkelanjutan. Meski Covid-19 berkontribusi menekan emisi tahun ini, hal itu tak akan menurunkan konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer secara signifikan sehingga peningkatan suhu global tetap terjadi. Sebab, sirkulasi CO2 bisa bertahan lama di atmosfer.
Situasi di Indonesia
Ketua Divisi Meteorologi, Klimatologi, dan Oseanografi Himpunan Ahli Geofisika Indonesia Siswanto mengatakan, peningkatan suhu global juga terekam di Indonesia. Catatan iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tahun 2019 suhu 0,84 derajat celsius lebih panas dari rerata iklim 1981-2000. Ini jadi tahun terpanas kedua setelah 2016.
Adapun emisi gas rumah kaca terukur di Stasiun Pemantau Atmosfer Global BMKG di Kototabang, Sumatera Barat, meningkat hingga 408,2 ppm (bagian per juta). ”Meski ini lebih rendah dari gas rumah kaca global, kejadian bencana hidrometeorologi bertambah mencapai 3362 kejadian,” ujar Siswanto, yang juga peneliti iklim di BMKG.
Penelusuran Siswanto memakai data suhu di Jakarta hasil pengamatan selama 146 tahun (1866-2012) menunjukkan peningkatan suhu rata-rata yang signifikan, yaitu 1,6 derajat celsius. ”Suhu Bumi yang memanas berdampak pada lingkungan, salah satunya memicu perubahan pola hujan dan peningkatan cuaca ekstrem,” katanya.
Di Indonesia, perubahan pola hujan ditandai peningkatan hujan di daerah di utara khatulistiwa sehingga iklimnya makin basah. Sementara di selatan khatulistiwa kering. ”Di banyak tempat ditemukan bukti hujan kategori ekstrem terus meningkat kejadiannya,” lanjutnya.
Rekaman data curah hujan selama 130 tahun di Jakarta menunjukkan, meski rata-rata tahunan sama, bahkan turun, frekuensi hujan ekstrem naik. Sekitar 10 persen intensitas hujan tertinggi di Jakarta atau di atas 100 mm per hari naik 14 persen akibat penambahan suhu per 1 derajat celsius. Tren cuaca ekstrem juga meningkat, ditandai dengan peningkatan frekuensi dan skala bencana hidrometeorologi.
Oleh AHMAD ARIF
Editor ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 17 Juli 2020