BAGI orang awam, berita tentang pencemaran munkin dianggap sebagai warta sesaat yang mudah muncul dan mudah pula lenyap. Dan setiap orang mencoba memaklumi dan menerima sebagai dampak perkembangan serta pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
Di abad bioteknologi ini, kesadaran, keprihatinan, dan tindak lanjut mengatasi pencemaran seharusnya milik setiap orang. Seperti pencemaran merkuri yang diberitakan akhir-akhir ini. Dua sungai di Jakarta,Kali Cakung dan Kali Petukangan (Kompas, 22 Mei 1991) ternyata mangandung merkuri yang melebihi ambang batas dengan kandungan rata-rata 2,16 ppm. Dan ternyata tidak hanya di kedua tempat tersebut merkuri merajalela, beberapa sungai di Kalimantan Tengah menurut berita yang lain juga tercemari. Yang membedakan, pencemaran di Jakarta diduga akibat penambangan emas.
Terlepas dari mencari ”sisik melik” siapa yang salah, siapa yang diuntungkan atau siapa saja yang menjadi korban atau siapa nantinya yang menjadi pahlawan, ada baiknya mengenal sisik renik yang sering diabaikan, sisi renik yang mempunyai ”bakat terpendam” mengatasi pencemaran merkuri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sisi renik ini selalu membuat penasaran mikrobiolog dan sekaligus menjadi salah satu andalan bioteknblogi, siapa lagi kalau bukan si bakteri. Alternatif menggunakan bakteri bukan hal yang mustahil karena ada beberapa bukti yang menunjukkan kemampuan bakteri tertentu yang dapat bertahan hidup di lingkungan dengan konsentrasi merkuri relatlf tinggi. Tiga contoh bakteri yang dapat disebutkan di sini: Pseudomonas fluorescens (HgCI2, 10 ppm), Staphylocococus aureus (HgCl2, 20 ppm) dan Bacillus Sp. (HgCl2, 10 ppm).
Kemampuan bakteri hidup dalam lingkungan yang sudah bersifat toksik bagi makhluk hidup lain, karena mekanisme biologis yang menarik, yang lebih dikenal dengan istilah resistensi terhadap merkuri.
Merkuri
Merkuri biasa dijumpai dalam keadaan logam Hg, ion Hg (I) dan ion Hg (II). Merkuri monovalen cenderung membentuk dimer (+Hg-Hg+) yang mudah terurai lagi menjadi Hg2+ dan Hg.
Logam merkuri (Hg) bersifat volatil/gas, sehingga bila mengalami daur merkuri dapat mengumpul di udara. Kondisi ini jelas membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya (seandainya terserap melalui pernapasan). Di perairan, logam merkuri juga sering dijumpai. Walaupun jumlahnya kecil tapi sangat toksik bagi makhluk hidup yang ada di lingkungan tersebut.
Di perairan, selain bentuk logam, merkuri biasanya ditemui dalam bentuk garam-garam merkuri, seperti HgCl2 dan HgCl. Jika diperhatikan, bentuk HgCl2 lebih mudah bereaksi dengan gugus gugus sulfhidril (-SH) dan lebih toksik. Sedangkan HgCl toksisitas lebih rendah dan lebih sulit larut.
Satu bentuk lagi yang juga dapat dijumpai adalah kation-kation organik dari merkuri, seperti CH3Hg, C2H5Hg, C6H5Hg dan garam-garam organik lainnya. Sifat spesifik dari senyawa ini, bereaksi cepat dengan gugus-gugus sulfhidril, larut pada lemak dan mudah melalui membran biologis.
Adanya keragaman bentuk merkuri tersebut mendorong para pakar yang berkecimpung dalam bidang mikrobiologi lingkungan melengkapi daur merkuri dengan peran serta bakteri, apalagi setelah terbukti adanya resistensi beberapa bakteri terhadap merkuri.
Resistensi bakteri
Resistensi yang hanya dimiliki oleh beberapa bakteri ternyata disebabkan bakteri-bakteri tersebut mempunyai mekanisme khusus. Sampai saat ini dikenal empat mekanisme, (1) adanya enzim merkuri reduktase di sitoplasma sel, enzim ini mengkatalisis perubahan Hg2+ menjadi Hg yang dibebaskan ke lingkungan; (2) adanya enzim organomerkuri liase yang terdapat di sitoplasma dan atau periplasma, ensim ini mengkatalisis peruraian kation organik dari merkuri menjadi Hg2+ dan senyawa-senyawa organik seperti metanstan dan dan bensen; (3) adanya sistem transport khusus merkuri, sistem ini memungkinkan Hg2+ masuk ke dalam sel dan tindak lanjutnya mungkin dapat dilaksanakan oleh enzim merkuri reduktase yang akhirnya melepaskan merkuri dalam bentuk Hg; (4) biometilasi, merupakan proses pembentukan kation organik merkuri yang melibatkan koensim metilkobalamin, produk yang dihasilkan kemungkinan dapat ditindak lanjuti oleh ensim-ensim yang dipunyai oleh sel.
Bakteri yang resisten terhadap merkuri belum tentu mempunyai keempat mekanisme secara lengkap. Padahal untuk mengatasi pencemaran merkuri, keterpaduan keempat mekanisme sangat dibutuhkan, hal ini untuk mencegah silih bergantinya bentuk pencemaran dari merkuri. Untuk saat ini keterpaduan yang diharapkan seharusnya dapat dimulai, apalagi dengan pesatnya perkembangan bioteknologi yang menekankan penelitian-penelitian yang mengarah ke genetika molekuler.
Otak-atik gen
Enzim-enzim yang dihasilkan bakteri tidak terlepas dari sistem genetis sel. Yang pengaturan ada tidaknya
ensim yang berkaitan dengan merkuri juga diatur oleh suatu model operon yang disebut dengan model Operon mer. Pada sebagian besar bakteri, mer operon terletak di plasmid sehingga ada tidaknya plasmid yang mengandung mer operon juga menentukan sifat resistensi suatu bakteri.
Menurut para ahli genetika molekuler bakteri, keberadaan mer operon tertentu menjadi spesifitas bakteri dalam mengubah bentuk merkuri. Berdasarkan wawasan molekuler ini pulalah terbuka kesempatan untuk memadukan fungsi gen-gen yang ada antara bakteri satu dengan bakteri-bakteri lain. Dengan berhasilnya pemetaan gen, otak-oatik gen pun menjadi tantangan yang menarik, sekaligus harapan untuk memperoleh strain unggul yang dapat digunakan mengatasi pencemaran merkuri.
Kerja sama
Bioteknologi sebenamya bukan hanya milik sekelompok ilmuwan yang mempunyai satu disiplin ilmu, tapi milik masyarakat yang ingin maju, sehingga untuk mewujudkan tujuan-tujuan bioteknologi perlu kerja sama yang baik dari semua pihak. Demikian juga dalam mengatasi pencemaran merkuri, terobosan ilmu akan sia-sia kalau tanpa keterbukaan pihak-pihak yang terkait, baik industri, pertambangan maupun masyarakat.
Seperti disebutkan di atas, dalam mengatasi pencemaran merkuri seorang mikrobiolog harus melakukan ”kontrak kerja” dengan bakteri-bakteri yang resisten maka untuk mewujudkan bioteknologi yang benar-benar terapan perlu kerja sama yang baik pula dari semua pihak. Meskipun demikian pilihan “mau” atau ”tidak” untuk bekerja sama tergantung kesadaran masing-masing serta keprihatinan melihat ketidakseimbangan lingkungan.
Sri Hartini, staf pengajar Fakultas Biologi, Jurusan Biologi Lingkungan, Program Studi Mikrobiologi Lingkungan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Sumber: KOMPAS, KAMIS, 6 JUNI 1991