SUDAH menjadi sesuatu yang sifatnya taken for granted bahwa struktur manajemen lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi (baik negeri maupun swasta) ditata dengan pola seorang rektor, ketua, atau direktur, dibantu (pada lapis berikutnya) oleh (umumnya) tiga orang dengan sebutan pembantu rektor, direktur atau ketua, yang masing-masing(secara berturut turut) membidangi akademik, keuangan dan administrasi umum, serta kemahasiswaan.
Entah kebetulan atau tidak, hampir tidak pemah terdengar evaluasi kritis tentang pola manajemen seperti ini. Sebaliknya desain ini justru dikembangkan terus ke bawah. Baik dalam konteks sebuah fakultas (Dekan, Pembantu Dekan I,II, dan III), bahkan konon di tingkat pendidikan yang lebih rendah, seperti Sekolah Menengah umum (SMU).
Adakah yang salah dengan pola di atas? Penulis berpendapat demikian, setidaknya untuk posisi tertentu.
Kalau kita melihat filosofi struktur organisasi, maka sebuah struktur lazimnya dibangun sebagai upaya distribusi beban keija, untuk pada gilirannya diharapkan terjadi optirnalisasi tujuan organisasi. Dalam konteks ori gamsasi bisnis (baca: komersial), secara konvensional dibagilah peran manajemen atas dasar ftingsi fimgsi fimdamental perusahaan. Misalnya terdapat departemen atau bagian pemasaran, produksi atau operasi, keuangan, sumber daya manusia dan lainnya. Semua departemen atau bagian itu bekezia secara sin.i ergis untuk mencapai, misalnya, laba optimal yang ditargetkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagaimana dengan lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi (PT)? Selama ini dikenal apa yang disebut dengan Tri Dharma Pergaruan Tinggi, yang meliputi pendidikan atau pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Tri Dharma ini lazim dipahami sebagai fungsi utama PT. Atas dasar ini, mestinya secara organisatoris, manajemen PT dipola atas dasar dharma tersebut. Sehingga kalau seseorang diangkat sebagai rektor, yang bersangkutan patut dibantu oleh beberapa orang yang basis orientasi fungsinya pencapaian ketiga dharma itu. Kongkritnya, para pem¬bantu rektor, direktur atau ketua, seharusnya berfungsi untuk pen¬didikan dan pengajaran(bidang 1), penelitian(bidang 2), dan pengabdian pada masyarakat (bidang 3).
Pemikiran itu sesungguhnya dapat menjelaskan, mengapa selama ini peran penelitian PT, relatif tertinggal dibandingkan misalnya dengan pengajaran. Begitu pula peran pengabdian masyarakat. Akibat lanjutannya, kalau semua sivitas akademika lebih mempunyai perhatian pada aspek pengajaran saja (dibandingkan peneli¬tian, apalagi pengabdian masyarakat) maka hal ini adalah sesuatu yang wajar dan logis, akibat memang pola orientasi yang dibangun memang demikian adanya.
Sehingga, tidak perlu disesalkan, kalau tidak pemah atau sangat sulit mengharapkan penelitian yang qualified dan valuable dari komunitas dosen, ataupun mahasiswa. Lebih auh, jangan kaget kalau ranking PT di Indonesia secara relatif selalu akan rendah (atau malah turun) dibandingkan dengan PT di negara lain. Mengapa? Karena salah satu aspek yang amat penting dalam penilaian kualitas serta’besar”tidaknya sebuah PT adalah seberapa banyak output dalam bentuk penelitian yang tentunya harus bersifat publishable dari komunitas dosen yang bekerja pada PT tersebut. Bukan sekadar pada jumlah professor, doktor, master ataupun mahasiswa yang dimiliki, atau seberapa mewah gedung dan berbagai fasilitas lain yang ada. Ini tentu ticlak dengan maksud menafikan pentingnya beberapa unsur yang disebut terakhir ini. Karena sesungguhnya kesemuanya saling terkait dan berinteraksi.(bersambung)
Dr. Muhammad Akhyar Adnan, MBA.Ak., adalah dosen pada FE UII Yogyakarta
Sumber: Kedaulatan Rakyat, 21 Maret 2001