Tim peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional menciptakan varietas unggul tanaman sorgum. Ini diharapkan bisa mendukung ketahanan pangan di Indonesia.Ketahanan pangan nasional kita masih rawan sebab kebutuhan pangan saat ini sangat bergantung pada beras. Sorgum bisa menambah pilihan sajian konsumsi di antara banyak ragam pangan pokok di Indonesia.
Masyarakat sebenarnya sudah mengenal berbagai macam sumber pangan selain beras, salah satunya sorgum. Namun, sumber pangan ini kalah “pamor” dengan beras dan gandum. Di tingkat global, sorgum masuk dalam lima besar sumber pangan setelah gandum, pagi, jagung, dan jali-jali (barley).
Sebagai sumber pangan, sorgum mengandung berbagai nutrisi baik. Kandungan protein dan kalsium pada sorgum bahkan lebih tinggi dari beras.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beras mengandung protein 6,8 persen per 100 gram dan kalsium 6 persen per 100 gram. Sementara sorgum mengandung protein sampai 11 persen per 100 gram dan kalsium 28 persen per 100 gram. Sorgum juga memiliki nilai indeks glikemik rendah sehingga cocok untuk pasien diabetes.
Keunggulan lain, sorgum lebih adaptif. Sorgum bisa tumbuh dengan baik di lahan basah dan kering. Karena itu, sorgum amat potensial untuk ditanam di daerah dengan curah hujan sedikit. Di Indonesia terdapat 37.000 kilometer persegi lahan kering dan marjinal.
Berbagai keunggulan ini membuat para peneliti di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mengembangkan varietas unggul dari tanaman sorgum. Tak hanya mengembangkan sorgum sebagai sumber pangan, para peneliti juga mengembangkannya sebagai pakan ternak dan sorgum manis sebagai bahan baku sirup/gula.
Peneliti pemuliaan tanaman Batan, Soeranto Human menyampaikan, dengan teknologi nuklir, varietas atau genetik tanaman sorgum bisa dikembangkan menjadi lebih baik. Keragaman genetik dari benih sorgum juga lebih cepat didapatkan. Tanaman yang dihasilkan pun lebih unggul.
Untuk benih sorgum sebagai sumber pangan, tanaman yang dihasilkan memiliki batang lebih pendek dan jumlah biji lebih banyak. Dengan batang lebih pendek membuat tanaman lebih tahan saat tertiup angin.
Produktivitas varietas unggul ini 5-6 ton per hektar atau bisa dua kali rata-rata produksi tanaman sorgum secara umum. Ditargetkan, varietas ini bisa dikembangkan lagi menjadi tujuh ton per hektar.
Untuk benih sorgum yang dikembangkan sebagai pakan ternak, tanaman yang dihasilkan memiliki daun lebih panjang dan batang tinggi. Olahan sorgum untuk pakan ternak ini juga dapat disimpan lebih lama.
Sementara tanaman yang dihasilkan dari benih sorgum manis dapat diolah sebagai bahan baku sirup ataupun gula. Nira dari batangnya ini pun bisa difermentasi agar menghasilkan bioetanol yang bisa dimanfaatkan sebagai bioenergi atau bahan bakar kompor khusus ataupun kendaraan bermotor.
Teknik mutasi
Soeranto menyampaikan, perbaikan varietas atau genetik pada sorgum ini menggunakan teknik mutasi (mutation breeding). Benih diperbaiki melalui proses radiasi dengan sinar gamma. Ini supaya DNA atau genetik benih tersebut bisa berubah sehingga menghasilkan benih yang sesuai keinginan.
“Dari proses radiasi ini akan menghasilkan berbagai macam genetik. Setelah itu, kita bisa gunakan bioteknologi untuk memilih genetik yang sesuai,” tuturnya.
Kemudian, lanjutnya, benih yang terseleksi diperbanyak, diuji, dan baru dilepas di lahan lebih luas. Sosialisasi dan distribusi pun bisa dilakukan dan selanjutnya dapat dikembangkan oleh mitra atau industri.
Soeranto menuturkan, penelitian terkait sorgum sudah ia lakukan sejak 1992. Namun, penelitian sorgum sebagai fokus pengembangan di Batan dimulai pada 2005. Varian sorgum yang dihasilkan baru dilepas di masyarakat pada 2013.
Saat ini, varietas unggulan sorgum dari Batan sudah sampai tahap hilirisasi. Varietas sorgum untuk sumber pangan yang disebut Pahat atau pangan sehat sudah ditanam secara luas di daerah Citayam.
Varietas ini juga akan dikerjasamakan dengan TNI untuk ditanam di berbagai daerah, terutama daerah dengan kondisi lahan kering. Usia tanam varietas ini sama dengan padi.
Sementara varietas sorgum untuk pakan ternak sudah dikomersialkan dengan nama Sorinfer (sorgum indigofera fermentasi). Pabriknya di Jonggol, Jawa Barat yang merupakan bentuk kerja sama Batan, IPB University, dan swasta. Produk sorgum manis pun sudah diproduksi oleh PT Sedana Panen Sejahtera. Sejumlah produk yang dihasilkan seperti sorgum gula, gula cair berbasis sorgum, dan kecap sorgum.
Keterbatasan lahan
Dalam pengembangan varietas unggul sorgum, Soeranto mengatakan, keterbatasan lahan untuk pelepasan benih dalam pengujian menjadi kendala. Selain itu, dukungan pendanaan untuk pengembangan varietas ini juga sangat terbatas.
“Untuk sorgum kita hanya mendapatkan dukungan pendanaan Rp 28 juta. Itu kecil sekali sehingga akhirnya kita melakukan kerja sama dengan mitra di luar negeri melalui IAEA (Badan Energi Atom Internasional),” katanya.
Sebelumnya, Kepala Batan Anhar Riza Antariksawan menyampaikan, pengembangan varietas tanaman unggul menjadi prioritas penelitian di Batan. Itu termasuk pada varietas unggul sorgum.
Sebagai bentuk dukungan, pemerintah berencana membangun fasilitas iradiator gamma merah putih. Saat ini baru ada satu iradiator gamma di Indonesia, yaitu di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
Pemanfaatan sorgum bagi ketahanan dan kemandirian pangan nasional ini perlu dukungan lebih lanjut. Selain perlu dukungan dana dan infrastruktur riset, diperlukan juga sosialisasi lebih masif untuk mengenalkan dan menjadikan sorgum sebagai sumber pangan harian masyarakat.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 30 Agustus 2021