Kandungan sumber panas bumi di Indonesia didominasi air panas atau brine. Mengubahnya menjadi uap panas untuk pembangkitan listrik, dikembangkan siklus organik Rankine atau siklus biner. Dengan demikian pembangkit listrik tenaga panas bumi bekerja optimal.
Indonesia merupakan bagian dari ring of fire atau jajaran gunung berapi yang mengelilingi Samudera Pasifik. Ini terbentuk akibat subduksi lempeng samudera Pasifik terhadap lempeng benua Eurasia. Selain di Cekung Pasifik, rangkaian pegunungan berapi juga terbentuk di barat dan selatan Indonesia karena tujaman Lempeng Samudera Hindia terhadap Lempeng Eurasia.
Aktivitas magma di pegunungan api itu memicu munculnya sumber panas bumi atau geotermal, akibat pemanasan lapisan bebatuan dan sumber air di dekat dapur magma. Pada busur vulkanik di Indonesia ini, total potensi energi geotermal mencapai 29.215 Giga Watt electrical (GWe). Potensi ini sekitar 30 hingga 40 persen potensi panas bumi dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/YUNI IKAWATI-+Pembangkit Listrik tenaga Panas Bumi Lahendong di Jawa Barat.
Data dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral menyebutkan potensi panas bumi teridentifikasi di 331 titik yang tersebar di 30 provinsi. Dari potensi itu telah ditetapkan 70 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Saat ini pemanfaatannya untuk pembangkit listrik baru mencapai 1.698,5 MW atau sekitar 9,3 persen dari total cadangannya di 11 WKP yang telah berproduksi.
Pemanfaatan panas bumi sebagai salah satu jenis energi terbarukan ini akan terus dilakukan sesuai Peraturan Pemerintah Nomer 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Energi terbarukan yang saat ini termanfaatkan baru mencapai 7,7 persen dari total bauran energi nasional ditargetkan menjadi sebesar 23 persen atau setara 45 GW pada tahun 2025.
Pada tahun 2018, Direktur Panas Bumi Ida N Finahari melaporkan potensi panas bumi bertambah dari 331 menjadi 342 titik. Selain itu kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) juga meningkat dari 9,3 persen menjadi 11 persen atau 1.924,5 MW total kapasitas.
Direncanakan kenaikannya menjadi 2.058,5 MW, dengan terbangunnya PLTP di Karaha, Jawa Barat dan Sarulla di Sumatera Utara. Kemudian menyusul PLTP Sorik Marapi di Sumatera Utara, Lumut Balai di Sumatera Selatan, dan Sokoria di Nusa Tenggara Timur yang masih dibangun.
Pencapaian ini telah menempatkan Indonesia sebagai produsen listrik panas bumi peringkat kedua menggeser Filipina (1.870 MW). Peringkat pertama di dunia diduduki Amerika Serikat.
Sumur hidrotermal
Sayangnya pengembangan pemanfaatan energi panas bumi masih terkendala beberapa masalah antara lain pada karakteristik sumurnya. Panas yang dihasilkan sumber geotermal di Indonesia umumnya tergolong tinggi, yaitu di atas 225 derajat celsius sehingga sangat potensial digunakan untuk pembangkit listrik.
Namun sebagian besar atau 56 dari 70 WKP merupakan jenis sumur hidrotermal, yaitu didominasi air panas bukan uap panas. Padahal yang diperlukan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik adalah uap panas. Karena itu sumber panas bumi yang ada tidak dapat menghasilkan kapasitas listrik yang tinggi.
Selama ini air panas atau brine yang keluar dari sumur produksi panas bumi – setelah dipisahkan dari uap panas kering – akan diinjeksikan kembali ke dalam sumur. Namun brine sebenarnya masih bersuhu tinggi sehingga berpotensi untuk dapat dimanfaatkan kembali. Salah satu upaya pemanfaatan brine adalah dengan menerapkan Siklus Organik Rankine (Organic Rankine Cycle/ORC) atau disebut juga siklus biner.
Penelitian dan pengembangan siklus biner pada PLTP dilakukan peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama peneliti dari GeoForschungsZentrum (GFZ) atau German Research Centre for Geosciences, yaitu di PLTP Lahendong sejak tahun 2013 hingga menghasilkan prototipe PLTP siklus biner berkapasitas 500 kiloWatt.
“Penerapannya dapat mengoptimalkan penggunaan energi panas bumi sehingga dapat meningkatkan kapasitas pembangkitan listrik,” kata Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi BPPT, Mohammad Mustafa Sarinanto.
Pada ORC ini menggunakan fluida organik yang memiliki titik didih lebih rendah daripada air. Pada ORC menggunakan komponen evaporator sebagai pengganti generator atau ketel uap atau boiler yang biasa digunakan pada sistem konvensional.
Siklus ini memanfaatkan sumber panas dengan suhu relatif rendah dari brine yang dikeluarkan pembangkit panas bumi. Pada temperatur rendah, fluida organik memiliki efisiensi siklus lebih tinggi dibandingkan air. Selain itu, ORC juga lebih efisien untuk pembangkit skala kecil.
Sistem ini terdiri dari komponen utama, yaitu evaporator, turbin, generator, kondenser dan pompa. Fluida organik akan menerima kalor dari brine melalui sistem penukar panas untuk kemudian diubah fasenya menjadi uap panas.
Uap panas akan memutar turbin untuk menghasilkan energi mekanik yang selanjutnya oleh generator energi mekanik diubah menjadi energi listrik. Fluida ini kemudian didinginkan di kondenser selanjutnya dipompa kembali memasuki unit penukar panas atau heat exchanger.
Perancangan ORC dengan memanfaatkan brine perlu mempertimbangkan beberapa hal yang salah satunya adalah pemilihan fluida kerja dan adanya efek endapan silika yang menurunkan performa pembangkit listrik. Fluida organik yang dipilih harus memenuhi aspek kesehatan, keamanan, dan dampak lingkungan, yaitu tidak mudah terbakar, tidak beracun, dan tidak berpotensi menipiskan lapisan ozon (ODP) atau menyebabkan pemanasan global. Pada prototipe siklus biner di PLTP Lahendong, fluida yang digunakan adalah senyawa pentana.
Adapun kandungan silika pada brine panas bumi akan dan menimbulkan kerak atau sumbatan di pipa. Efek endapan silika dipengaruhi oleh keasaman, salinitas, dan suhu brine. Laju endapan silika akan meningkat secara signifikan pada kondisi basa atau nilai pH 6-7.
Karena itu, pada aliran brine diberikan bahan kimia tambahan yang bersifat asam sehingga dapat mengatur kadar pH brine. Akan tetapi perlakuan kimia ini memerlukan biaya yang relatif besar. Selain itu kondisi asam akan menimbulkan efek korosif pipa.
Oleh karena itu untuk menghindari adanya endapan silika dilakukan pengaturan suhu aliran brine di atas suhu terbentuknya endapan silika. Pengaturan temperatur aliran brine dapat dilakukan dengan membatasi temperatur aliran brine pada saat diinjeksikan kembali ke dalam tanah. Pada perlakuan penjagaan nilai temperatur merupakan cara yang lebih ekonomis apabila dibandingkan dengan perlakuan kimia.
Program pengembangan
Deputi Teknologi Informasi Energi dan Material BPPT Eniya Listiani Dewi mengatakan pembangunan prototipe unit siklus biner ini dilaksanakan selama tiga tahun dengan menyerap dana total Rp 57 miliar, terdiri dari 3 juta Euro atau Rp 45 miliar – hibah dari Jerman dan dana dari BPPT sebesar Rp 12 miliar. Sejak pengoperasiannya sebanyak 1,2 gigawatt listrik tersalurkan ke jaringan PLN.
Pada awal masa pengoperasian PLTP ini ditemui beberapa kendala, yaitu pada pengaturan beban listrik. Dalam Pembangkit harus dilakukan perubahan arus listrik pada sistem turbin ORC yang menggunakan generator arus langsung atau Direct Current (DC) menjadi Alternating Current (AC) menggunakan Inverter.
“Kerja inverter ini sangat bergantung pada pengaturan beban dan frekuensi yang dikeluarkan oleh Pusat Pengaturan Beban (P2B) PLN. Namun dengan kerja sama yang baik antara BPPT, PLN, dan PGE (Pertamina Geothermal Energy) mampu meningkatkan kehandalan sistem transmisi PLN sehingga PLTP 500 kW dapat beroperasi lebih stabil,” papar Eniya.
Selama tahun 2018, BPPT bersama GFZ dan PGE telah berhasil mengoperasikan PLTP 500 kW selama lebih dari 10 bulan. Unit teknis yang terlibat langsung dari pihak BPPT adalah Balai Besar Teknologi Konversi Energi (B2TKE) yang berkontribusi dalam desain teknik dan melakukan kaji terap teknologi Energi Baru dan Terbarukan.
Selama 3 tahun ini telah dijalin kerja sama dengan industri nasional untuk meningkatkan TKDN hingga 30 persen. Adapun optimalisasinya telah mencapai 85 persen atau sekitar 400 kWh. Teknologi yang dikembangkan ini relatif sederhana sehingga dapat direplikasi di PLTP lain di Indonesia. Pengembangannya perlu melibatkan SDM lokal untuk dapat menguasai teknologinya.
Oleh YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 11 Maret 2019