Kelangkaan pangan dan pencemaran sampah dihadapi penduduk bumi yang kian padat. Serangga menjadi solusi untuk mengatasinya. Targetnya pada individu serangga dan larvanya. Namun, larva atau belatung berefek lebih menguntungkan pada beberapa spesies.
Serangga selama ini menjadi hama dan dipandang sebagai hewan menjijikkan. Pada masa depan, serangga justru akan jadi sumber pangan, karena kebutuhan pangan penduduk bumi sulit dipenuhi dengan sumber pangan yang konvensional.
Sementara serangga berkembang biak lebih pesat dan merebak karena pola pertanian tak ramah lingkungan serta pemanasan global. Kini sejumlah serangga dikonsumsi, tak lagi dimusnahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini sekitar 2,5 miliar penduduk bumi mengonsumsi beragam serangga, baik serangga dewasa maupun larva. Jumlah warga yang mengonsumsi ini akan meningkat di masa depan.
Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) menyebut 7 serangga akan jadi bahan pangan masa depan. Tujuh jenis serangga itu yakni ulat Mopane (Gonimbrasia belina) dari Afrika, belalang Chapulin dari Meksiko, ulat sagu (Rhynchophorus ferruginesus) di Asia Tenggara dan Australia, rayap, kumbang kelapa sawit Afrika atau kumbang tanduk (Elaeidobius kamerunicus), kumbang pembom atau bombardir (Pheropsophus occipitalis), dan ulat Jerman atau larva kumbang Zophobas morio.
Serangga-serangga itu sejak dulu jadi santapan suku-suku pribumi di lima benua, untuk memenuhi kecukupan pangan dan gizi. Riset oleh badan dunia itu menunjukkan serangga mengandung protein dominan, lemak esensial, asam amino, dan mineral tinggi.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Petugas mengolah sampah organik di Tempat Pengolahan Akhir Sampah di Manggar, Balikpapan, Kalimantan Timur menjadi pupuk, Senin (12/3/2018). Selain menghasilkan pupuk kompos, pengolahans amlah organis juga bisa sekaligus untuk budidaya maggot (belatung) untuk pakan ternak.
Sebagai contoh, belalang Chapulin yang jadi makanan ringan warga di Meksiko, mengandung protein 70 persen dari bobot tubuhnya. Rayap kaya lemak esensial dan asam amino. Adapun ulat sagu yang mengandung banyak asam oleat dan lemak omega 9, jadi pangan tradisional penduduk di Asia Tenggara, suku Maori di Selandia Baru, dan Aborigin Australia.
Serangga juga bisa mengatasi kerawanan pangan. Di Afrika selatan, ulat pohon Mopane atau larva dari ngengat kaisar bergizi tinggi jadi sumber pangan utama warga saat paceklik. Dari aspek gizi, menurut FAO, serangga berpotensi menggantikan fungsi pangan konvensional seperti kedelai, jagung, kacang-kacangan, dan ikan.
Sementara hasil riset oleh peneliti serangga dari Universitas Wageningan Belanda, Arnold van Huis, menunjukkan serangga sumber pangan “cepat panen”. Sebab, sistem metabolisme hewan berdarah dingin ini efisien mengubah makanan jadi daging tubuhnya.
Untuk menghasilkan 1 kilogram bobotnya hanya butuh pakan 2 kg. Adapun untuk 1 kg daging sapi perlu 25 kg pakan. Budidaya serangga juga tak menghasilkan emisi gas metan dan amonia, dan sebaliknya pada peternakan ruminansia.
Pencemaran lingkungan pun teratasi dengan mengerahkan larva lalat Hermetia Illucens. Spesies lalat asal ekozona Neotropikal atau Amerika Selatan itu dijuluki lalat prajurit hitam (Black Soldiers Fly /BSF). Larvanya disebut maggot.
Riset menunjukkan larva dari 150 gram telur BSF bisa mengurai 2 ton limbah organik dalam tiga minggu. “Ini lebih cepat dari pembuatan pupuk kompos secara konvensional yang perlu waktu 3 bulan,” kata Melta Rini Fahmi peneliti dari Balai Riset Budidaya Ikan Hias Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Risetnya terkait budidaya maggot untuk pakan ikan.
Budidaya maggot
Larva kumbang seperti ulat sagu, ulat jerman, dan ulat hongkong atau larva kumbang beras (Trenebrio molitor), serta maggot, mulai dibudidaya di berbagai negara sebagai sumber pakan ternak dan pangan manusia. Teknik budidaya dan pengolahannya dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas dan keamanan dikonsumsi.
Di antara larva itu, maggot termasuk gencar dibudidaya. Di Indonesia, budidaya maggot antara lain dirintis Melta sejak 2005. Semula ia memakai bungkil kelapa sawit (BKS), lalu beralih ke sampah rumah tangga karena kendala harga dan ketersediaan BKS.
Pembudidayaannya bertujuan menghasilkan alternatif pakan ikan murah. Karena pakan ikan menyerap 60 persen dari biaya total budidaya. Dari budidaya maggot, diharapkan tercipta siklus nutrien pengolahan sampah organik.
Proses budidaya maggot dimulai dari penetasan telur BSF jadi larva dalam 3 hari, lalu pembesarannya 2 pekan. Larva rakus ini berubah jadi maggot yang gemuk setelah melumat limbah organik yang diberikan.
Dari limbah organik itu, maggot mencerna protein, asam lemak, dan asam amino, lalu mengeluarkan kotoran berupa granul atau butiran yang mengandung unsur hara penyubur tanah. Karena itu, kotoran maggot bisa digunakan sebagai pupuk organik.
Dari riset biokonversi limbah organik ini, Melta mendapat paten internasional tahun 2009. Patennya dilindungi di 35 negara terkait produksi massal maggot kecil bagi pakan ikan hias. Adapun paten nasionalnya mengenai pengolahan sampah organik untuk sumber pakan ikan dan pupuk tanaman.
BKSDM KKP–budidaya maggot menggunakan limbah organik
Bergizi tinggi
Maggot memiliki nilai gizi tinggi. Itu dibuktikannya melalui uji coba pemberian maggot sebagai pakan ikan koi. Pemijahan ikan koi jadi 4 kali lebih banyak dibanding jika diberi pakan pelet.
Riset BSF juga dilakukan peneliti dari Departemen Nutrisi dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dewi Apri Astuti. Ia meneliti pemanfaatan maggot sebagai pakan beberapa jenis ternak mulai dari burung puyuh hingga sapi.
Risetnya membuktikan pemberian maggot pada ternak meningkatkan produksi telur dan bobot tubuhnya, menekan mortalitas, dan memperbaiki kesuburan. Pada kambing dan domba, konsumsi maggot meningkatkan mutu sperma karena mengandung senyawa oleat pemicu pembentukan hormon steroid atau fungsi reproduksi.
Kandungan protein akan meningkatkan mutu gizi ternak, dan kekebalan terbentuk karena asam amino glutamat, histidin, serta arginin tinggi sebagai pemicu kekebalan pada penyakit. ” “Kandungan glisin pada maggot meningkatkan kadar hemoglobin dalam darah,” kata Dewi.
Maggot juga akan dikembangkan jadi sumber pangan manusia, dan bahan baku kosmetik. “Pangan olahan berbasis maggot akan dikenalkan di daerah untuk mengatasi stunting (tubuh pendek),” kata Dewi.
Pangan olahan berbasis maggot akan dikenalkan di daerah untuk mengatasi stunting (tubuh pendek).
Sementara Alex Wahyu Samudera dari Fakultas Kehutanan IPB yang jadi anggota tim peneliti maggot IPB mendalami budidaya lalat hingga jadi maggot. Teknik budidaya BSF dirintis timnya Desember 2017, bekerja sama dengan industri kecil Bio Cycle Indo, untuk pembesaran maggot dan produksi telur.
Di Bubulak Bogor, mereka membangun 16 kandang masing-masing berukuran 45 meter persegi. Di kandang berdinding kawat kasa itu, tak ada pemberian pakan karena BSF tak memiliki mulut. Selama 5 hari masa hidupnya hanya untuk bereproduksi. Itu berbeda pada fase sebagai larva yang makan sebanyak mungkin.
Di lantai kandang, diletakkan beberapa tumpuk balok ukuran 2 x 20 sentimeter (cm) persegi. Tiap balok terdiri dari 4 lempeng balok setebal 2 cm diikat tali tipis. Balok itu jadi media lalat bertelur. Agar lalat tertarik bertelur di balok, media disemprot larutan khusus. “Inovasi ini telah dipatenkan,” kata Stephen Seah dari Bio Cycle Indo.
Seekor lalat BSF menghasilkan hingga 900 butir telur per hari. Dari 16 kandang itu, total dihasilkan 4 kg telur BSF per hari. Telur diambil dari tiap balok kayu itu lalu ditempatkan di ruangan khusus. Telur akan menetas jadi larva setelah sepekan. Setiap gram telur dapat jadi larva seberat 3,5 kg.
Pembesaran larva dilakukan di kolam seluas 30 meter persegi berisi BKS sebagai pakannya. Di tiap kolam, disebar “bayi” larva. Larva yang menetas dari 1 gram telur menghabiskan 20 kg sampah dalam 2 minggu. “Dengan memberi 8-10 ton BKS, akan dipanen 1 ton larva per minggu,” kata Alex.
Asupan pakan
Menurut Dewi, kandungan protein pada maggot tergantung asupan pakan. Jika diberi limbah buah dan sayur, kandungan proteinnya 29-31 persen, dan bisa lebih tinggi lagi jika diberi limbah BKS yaitu 41-49 persen.
Maggot yang dipanen dibersihkan dan dipanggang dalam microwave. Maggot kering dari Bubulak Bogor ini diekspor ke Kanada, China, Jepang, dan AS. “Sebagai komoditas ekspor, maggot disyaratkan hanya diberi pakan BKS,” ungkap Alex.
Sebagai komoditas ekspor, maggot disyaratkan hanya diberi pakan BKS (Bungkil Kepala Sawit).
Di AS, maggot dijual sebagai pakan hewan peliharaan. Maggot bisa bersaing dengan ulat hongkong. Bila ulat hongkong di jual Rp 150 juta per ton, maggot hanya Rp 50 juta per ton.
Teknik budidaya ini diterapkan untuk mengolah sampah di Bekasi, Bogor, dan Depok. Penerapan di Bekasi dilakukan IPB bersama pemerintah daerah setempat dengan membentuk 120 bank sampah. Di Kota Depok, proyek percontohan oleh KKP melibatkan Unit Pengelolaan Sampah dan mengolahnya jadi tepung maggot sebagai bahan baku pakan formula.–YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 11 Juni 2018