Sembilan Dekade Meneropong Langit

- Editor

Senin, 24 Desember 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sejak 1928, teleskop refraktor ganda Zeiss setia menemani peneliti lintas generasi di Observatorium Bosscha, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Tak kurang dari 12.000 pengamatan pada lebih 3.000 bintang telah dilakukan. Sembilan dekade berlalu, teleskop berdiameter 0,6 meter dengan panjang 18 meter itu masih tangguh meneropong langit untuk perkembangan astronomi dunia.

Pembangunan teleskop Zeiss tidak terlepas dari momentum para astronom yang sedang gencar memetakan benda langit secara menyeluruh pada awal 1900-an. Namun, saat itu kebanyakan peneliti mengamati di belahan Bumi bagian utara, seperti Eropa dan Amerika Utara.

Kondisi ini menimbulkan kesadaran astronom mengenai pentingnya mengamati benda-benda langit di Bumi bagian selatan. Para astronom pun terdorong membangun observatorium di belahan Bumi tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pembangunan Observatorium Bosscha dirintis oleh Karel Albert Rudolf Bosscha, saudagar asal Belanda, melalui Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV). Bosscha kemudian bertemu dengan Joan George Erardus Gijsbert Voûte, astronom Belanda yang menjadi direktur/kepala pertama Observatorium Bosscha.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA–Peneliti Observatorium Bosscha Denny Mandey menggerakkan teleskop refraktor ganda Zeiss di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (1/12/2018). Teleskop berusia 90 tahun tersebut telah digunakan untuk 12.000 pengamatan pada lebih dari 3.000 bintang.

Teleskop Zeiss dipasang untuk mengamati bintang ganda. Teleskop tersebut dipesan dari Carl Zeiss Jena di Jerman. Pembeliannya juga meliputi kubah dan lantai.

Pada 1951, NISV menyerahkan Observatorium Bosscha kepada pemerintah Indonesia. Sejak 1959, observatorium itu menjadi bagian Institut Teknologi Bandung.

Teleskop terbesar di Observatorium Bosscha itu ditempatkan pada sebuah gedung berkubah. Kubahnya dapat berputar. Terdapat celah pada kubah tersebut yang bisa dibuka dan ditutup.

Ketika mengamati benda langit, kubah diputar sehingga celahnya menghadap ke objek yang diinginkan. Teleskop kemudian dapat digerakkan mengarah ke celah tersebut.

Teleskop Zeiss diletakkan di atas lantai berdiameter 11 meter. Lantainya dapat dinaikkan dan diturunkan untuk disesuaikan dengan posisi teleskop.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA–Teleskop Zeiss

Peneliti di Observatorium Bosscha, Mochamad Irfan, mengatakan, teleskop Zeiss masih berfungsi dengan baik. Namun, diperlukan perawatan yang konsisten mengingat usia teleskop tersebut sudah 90 tahun.

Irfan mencontohkan, udara Lembang yang lembab membuat lensa teleskop perlu dibersihkan secara menyeluruh minimal setahun sekali. Selain itu, saat terkena embun, posisi teleskop akan ditegakkan agar air lebih cepat jatuh.

“Jika tidak dibersihkan secara rutin, lensa bisa berjamur. Tentu itu akan mengganggu pengamatan benda-benda langit,” ujarnya dalam peringatan 90 Tahun Teleskop Zeiss di Observatorium Bosscha, Sabtu (1/12/2018).

Irfan mengatakan, teleskop Zeiss mempunyai spesifikasi penggunaan untuk mengamati bintang ganda. Oleh sebab itu, teleskop tersebut mempunyai dua teleskop utama dan satu teleskop pencari.

Pengamatan bintang ganda sangat penting dalam astronomi. Sebab, informasi gerak sistem hasil interaksi kedua bintang memungkinkan untuk menghitung massa bintang tersebut.

Selama sembilan dasawarsa beroperasi, teleskop Zeiss telah mengalamai beberapa modifikasi. Salah satunya perubahan pelat fotografi ke teknik pengamatan digital sejak 1990-an. Menurut Irfan, sebagian besar komponen teleskop tersebut masih orisinal.

Irfan menyadari, astronomi akan terus berkembang dan menuntut peralatan yang mumpuni. Di tengah peralatan negara lain yang semakin modern, dia berharap Observatorium Bosscha melalui teleskop Zeiss juga bisa mengikuti perkembangan tersebut sehingga tetap berkontribusi bagi wawasan astronomi dunia.

Saat ini penggunaan teleskop Zeiss masih digerakkan secara manual menggunakan tangan. “Kami ingin terus berinovasi. Salah satunya agar teleskop bisa digunakan menggunakan komputer sehingga mempermudah pengamatan,” ujarnya.

Kepala Observatorium Bosscha Premana W Premadi mengatakan, teleskop Zeiss telah banyak membantu pengamatan bintang ganda oleh peneliti dalam dan luar negeri. Penelitian-penelitian itu menghasilkan lebih dari 20 publikasi ilmiah internasional.

Premana berharap, di usianya yang ke-90, teleskop Zeiss terus menghasilkan sumbangsih ilmiah di bidang astronomi. Dia optimistis, teleskop terbesar di Observatorium Bosscha itu masih relevan untuk meneliti bintang ganda.

Ancaman polusi cahaya
Untuk terus menjadi tempat meneliti benda-benda langit, Observatorium Bosscha membutuhkan dukungan dari semua pihak. Tidak hanya modernisasi peralatan, melainkan juga kondisi langit di sekitarnya harus ideal sehingga pengamatannya optimal.

Berada di dataran tinggi Bandung dengan ketinggian sekitar 1.310 meter di atas permukaan laut, posisi Observatorium Bosscha memang cukup baik untuk mengamati benda-benda langit. Apalagi, Kota Bandung yang berjarak sekitar 15 kilometer berada di daerah lebih rendah.

Akan tetapi, masifnya pembangunan gedung-gedung dan perumahan penduduk membuat kualitas langitnya berkurang. Jika tidak segera diatasi, dikhawatirkan akan mengganggu pengamatan di Observatorium Bosscha.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA—Suasana malam di Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (22/12/2018). Polusi cahaya dari lampu kendaraan, gedung, dan papan iklan membuat kondisi langit di sekitar Bandung semakin terang sehingga menjadi tantangan bagi peneliti di Observatorium Bosscha karena cakupan langit untuk mengamati bintang semakin berkurang.

“Untuk saat ini, pengamatan astronomi masih cukup bagus. Namun, cakupan langitnya semakin sempit. Perlu upaya-upaya konkret agar tidak semakin parah,” ujar Premana.

Polusi cahaya menjadi salah satu tantangan utama peneliti astronomi. Jika kawasan di sekitar lokasi pengamatan semakin terang, pandangan terhadap cahaya benda-benda langit akan berkurang.

Salah satu upaya Observatorium Boscha untuk mengatasi polusi cahaya adalah dengan membagikan tudung lampu secara gratis kepada masyarakat di sekitar Lembang. Tujuannya agar cahaya lampu tidak memancar ke atas.

Sosialisasi ke sejumlah sekolah di Lembang juga dilakukan. Guru dan para siswa diharapkan memahami pentingnya menjaga langit dari polusi cahaya.

Akan tetapi, upaya itu belum cukup. Sebab, masih banyak penyumbang polusi cahaya lainnya, seperti lampu pada gedung dan papan iklan yang harus dikendalikan.

Premana mengusulkan agar lampu pada papan iklan diatur waktu nyalanya. Dengan begitu, tidak perlu dinyalakan hingga pagi hari. Jadi, polusi cahaya dapat berkurang di jam-jam tertentu, seperti pada tengah malam.

“Kami berharap, lima tahun lagi, saat Observatorium Bosscha berusia 100 tahun, sudah ada aturan tegas dari pemerintah tentang tata cahaya. Bagaimana menegakkan aturan itu, memang harus ada kesungguhan dari pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait lainnya,” ujarnya.

Perjalanan panjang teleskop Zeiss telah berkontribusi besar untuk astronomi. Namun, kontribusi itu terancam menurun jika kualitas langit di sekitarnya terus memburuk. Dengan mengurangi polusi cahaya, kita semua bisa membantunya untuk tetap mengabdi bagi perkembangan astronomi dunia.–TATANG MULYANA SINAGA

Sumber: Kompas, 23 Desember 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB