Tanpa keragaman tanaman dan sumber daya genetiknya, kita tidak dapat memiliki nutrisi berkualitas untuk kehidupan yang sehat dan produktif.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Pekerja mengangkut potongan umbi-umbian porang untuk dikeringkan di Desa Pingit, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (3/4/2019). Porang merupakan sumber pangan asli Indonesia yang selama ini dilupakan, namun belakangan dicari sebagai salah satu sumber pangan untuk diet sehat.KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Penyediaan pangan di dunia menghadapi ancaman serius dengan merosotnya keragaman hayati. Organisai Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan dukungan lebih besar untuk mengumpulkan gen tanaman dari seluruh dunia guna untuk menjamin keberlanjutan pangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tanpa keragaman tanaman dan sumber daya genetiknya, kita tidak dapat memiliki nutrisi berkualitas untuk kehidupan yang sehat dan produktif, menyesuaikan tanaman dengan perubahan iklim atau mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan global,” kata Wakil Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agricultural Organization/FAO) untuk Iklim dan Sumber Daya Alam, Maria Helena Semedo, dalam siaran pers, pada Senin (11/11/2019).
Saat ini FAO telah menggelar pertemuan dengan perwakilan berbagai negara terkait Perjanjian Internasional tentang Sumber Daya Genetik Tumbuhan untuk Pangan dan Pertanian (International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture/GB-8) di markas FAO di Roma.
Sepanjang perjalanan sejarah, menurut Semedo, manusia menggunakan lebih dari 3.000 spesies tanaman. Namun, saat ini manusia menggantungkan pada 150 jenis tanaman. Tiga tanaman yaitu beras, gandum, dan jagung menyediakan lebih dari setengah kalori manusia. Kondisi ini dinilai mengkhawatirkan.
“Semakin seragam sumber pangan, umat manusia semakin rentan. Untuk mengatasi tantangan dunia yang kompleks, kita harus mengubah situasi ini dan kita dapat melakukannya dengan memperkuat peran Perjanjian Internasional,” kata Semedo.
Dia menjelaskan Perjanjian Internasional yang diinisiasi FAO telah membentuk sistem global untuk memberi akses kepada petani, pemulia tanaman dan ilmuwan ke materi genetik tanaman. Setiap negara yang meratifikasi perjanjian ini sepakat untuk membuat keragaman genetik dan informasi terkait tentang tanaman yang disimpan di bank gen mereka kepada para petani dan peneliti tanpa batasan negara.
Dalam 15 tahun sejak diberlakukan, Perjanjian Internasional ini memiliki genepool atau gudang genetika tanaman global terbesar untuk berbagi benih tanaman sumber pangan dan pertanian. Ada 2,4 juta materi genetik dari 64 tanaman terpenting, yang menyumbang 80 persen dari makanan kita, telah masuk dalam genepool ini. Georgia dan Mongolia merupakan dua negara yang baru bergabung dengan Perjanjian Internasional ini, yang sekarang didukung oleh 145 negara anggota dan Uni Eropa, termasuk Indonesia.
Menurut Semedo, ke depan genepool atau pengumpulan materi genetik bersama harus dilakukan bukan hanya untuk sumber pangan pokok, namun juga tanaman bernutrisi seperti buah-buahan, sayuran, dan tanaman lain yang kurang dimanfaatkan. “Kita harus meningkatkan akses ke informasi ilmiah dan memfasilitasi transfer teknologi dan keahlian dalam mengoptimalkan ragam tanaman ini, khususnya di negara-negara berkembang,” ujarnya.
Turut dalam pertemuan ini di antaranya Menteri Pertanian dan Kesejahteraan Petani India, Narendra Singh Tomar; Menteri Kebijakan Pangan dan Kehutanan Pertanian Italia, Teresa Bellanova; dan selain Evalyne Okoth, petani kecil dari Nyando, Kenya; serta pembicara utama, Sir Robert Watson, mantan Ketua Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES).
KOMPAS/ FERGANATA INDRA RIATMOKO–Pengunjung berbelanja sayuran di Pasar Ngatpaingan di Dusun Dangean, Desa Gedangan, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (29/9/2019). Dalam kegiatan yang digelar setiap 40 hari itu warga setempat menjual berbagai makanan tradisional yang bahannya diperoleh dari lahan pertanian setempat. Selain untuk mempromosikan potensi bahan pangan lokal, kegiatan ini juga untuk mengembangkan potensi wisata desa setempat.KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)29-09-2019
Ancaman kepunahan
Sebelumnya, pada Mei 2019 lalu, Watson melaporkan kajian tim IPBES tentang ancaman kepunahan satu juta spesies di muka Bumi. Berdasarkan laporan ini, kelimpahan spesies asli di sebagian besar habitat daratan, air tawar, dan lautan telah turun paling sedikit 25 persen sejak tahun 1900 dan laju degradasinya melonjak dalam 40 tahun terakhir. Ada 680 spesies hewan bertulang belakang (vertebrata) telah punah.
Lebih dari 9 persen spesies dari semua jenis mamalia yang diternakkan untuk pangan dan pertanian punah pada 2016, dengan setidaknya 1.000 jenis lain terancam. Untuk spesies amfibi yang terancam punah 40 persen, terumbu karang dan mamalia laut 33 persen, burung 14 persen, dan serangga minimal 10 persen.
Menurut proporsi itu, para ilmuwan memperkirakan, dari sekitar 8 juta spesies hewan dan tumbuhan yang ada, 75 persen di antaranya adalah serangga, sekitar 1 juta terancam punah. ”Kesehatan ekosistem tempat kita dan semua spesies lain bergantung, memburuk lebih cepat daripada sebelumnya. Kita mengikis fondasi ekonomi, mata pencarian, keamanan pangan, kesehatan, dan mutu hidup semua makhluk,” kata Watson (Kompas, 8 Mei 2019).
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 13 November 2019