Hari ini tak berlebihan mengatakan bahwa nilai tambah dan dampak dari sebuah organisasi ditentukan kemampuan mengelola data dan informasi. Hal ini berlaku baik di sektor privat maupun publik.
Bayangkan bagaimana industri keuangan dan perbankan, yang didominasi perusahaan besar dan penuh rezim regulasi yang kompleks, diusik oleh sekelompok mahasiswa yang berhasil menyalurkan dana kepada masyarakat di lapisan terbawah dengan nilai yang signifikan. Beroperasi sejak 2010, Amartha, perusahaan peer to peer lending, berhasil menyalurkan pembiayaan kepada lebih dari 100.000 pengusaha kecil dan rumah tangga dengan nilai total Rp 410,5 miliar.
Hal yang mengagumkan dari angka tersebut adalah bagaimana pinjaman disalurkan tanpa harus mengonversi peminjam menjadi seorang nasabah sebagaimana di bank. Tanpa proses know-your- customer yang lazim diberlakukan di bank-bank konvensional, Amartha berhasil mengelola pinjaman dengan tingkat ketepatan waktu pembayaran mencapai 99,84 persen. Angka fantastis ini bahkan sulit dicapai oleh bank konvensional yang menerapkan serangkaian proses kompleks untuk menentukan pemberian pinjaman kepada kreditor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apa kuncinya? Data! Data adalah kunci bagaimana Amartha melakukan due diligence pada calon peminjam. Alih-alih due diligence dilakukan pada identitas kreditor, riwayat pekerjaan, dan lain-lain, Amartha mengompilasi dan menganalisis data termudah yang dapat disediakan calon peminjam hingga pada akhirnya memberikan kesimpulan kepada manajemen terkait kemampuan bayar calon kreditor tersebut.
Sama halnya dengan sektor publik. Membandingkan beberapa pemerintah daerah dengan kualitas program dan efektivitas belanja anggaran yang baik, kita akan menemukan satu benang merah: pemanfaatan data yang berkualitas untuk pengambilan keputusan. Sebut saja Unit Smart City Jakarta yang berhasil memberikan informasi kepada Gubernur DKI dalam menyusun berbagai macam kebijakan, atau bagaimana signifikannya peran aplikasi penganggaran berbasis performa yang digunakan Wali Kota Surabaya yang berdampak pada tingginya efektivitas program dan perbaikan pelayanan publik.
ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS–ILUSTRASI–Direktur Teknologi XL Axiata Yessi Yosetya, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Presiden Direktur XL Axiata Dian Siswarini, Kepala UPT Jakarta Smart City Setiaji (ki-ka) meluncurkan uji coba 5G oleh XL Axiata di Gedung Kantor Pos Kota Tua, Jakarta Barat, Senin (20/8/2018).
Sayangnya, tidak semua pemerintah daerah seperti DKI atau Surabaya. Juga, tidak di semua sektor pembangunan pemerintah memiliki data yang berkualitas. Mulai dari jumlah kapal pengangkut ikan, penghuni lembaga pemasyarakatan, hingga beras dan penerima bantuan sosial, data masih menjadi perdebatan.
Akan tetapi, kabar baiknya, pemerintah menangkap arti penting data berkualitas tersebut. Pemerintah sadar berbagai kekurangan dalam menghasilkan data berkualitas tersebut dan saat ini tengah berupaya menghasilkan kebijakan perbaikan tata kelola data. Tak berlebihan jika disebut revolusioner mengingat tingginya dampak yang akan dihasilkan oleh perbaikan tata kelola data tersebut. Kebijakan itu adalah kebijakan satu data Indonesia.
Upaya perbaikan
Setidaknya ada tiga tantangan besar dalam pengelolaan data di lingkungan kementerian dan lembaga pemerintah saat ini. Pertama, belum adanya standar format dan metodologi data, ketidaksinkronan data, dan ketiadaan metadata. Kedua, data yang dihasilkan pemerintah sulit diperoleh pengguna, baik masyarakat maupun pemerintah sendiri. Saat ini, siapa pun yang memerlukannya, bahkan sesama instansi pemerintah, harus membuat perjanjian tertulis atau sekurang-kurangnya nota kesepahaman (MOU). Ketiga dan paling kompleks adalah adanya penyimpanan data yang dilakukan oleh individu pengelolanya dengan mekanisme koordinasi antar-pengelola yang sangat rendah.
Padahal, data tumbuh setiap hari, setiap jam, setiap menit. Tidak jarang, data juga bersifat tak terstruktur (unstructurised data), tetapi data itu dibutuhkan untuk diperiksa, dianalisis, dan diolah untuk menopang suatu program atau kebijakan.
Karena itu, kebijakan satu data memiliki sejumlah tujuan penting. Di antaranya adalah strukturisasi regulasi dan institusionalisasi pengelolaan data, serta integrasi data kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga negara ke dalam satu portal data sehingga menghasilkan suatu set data terbuka (open data) pemerintahan.
Harapannya, tersedia suatu mahadata (big data) yang diproduksi, dikelola, dan disimpan oleh pemerintah dan dapat dimanfaatkan oleh organisasi mana pun, termasuk di lingkungan pemerintahan sendiri. Dengan demikian, setiap kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan didasarkan pada basis data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam diam, sebenarnya kebijakan satu data sudah mulai diinisiasi. Sejak Maret 2017, pemerintah menyusun tim dan membuat proyek percontohan pengelolaan satu data di kementerian-kementerian terpilih. Sejak awal 2018, rencana ini sudah dipaparkan kepada Presiden supaya kebijakan ini memiliki dukungan politik dan hukum yang kuat mengingat penting dan strategisnya kebijakan satu data ini. Kebijakan ini memerlukan suatu landasan hukum berupa peraturan presiden (perpres), termasuk untuk pembentukan ”panitia” yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga untuk mempercepat proses ini.
Prinsip satu data
Dalam membangun kebijakan satu data, terdapat tujuh prinsip pengelolaan data yang menjadi basis penyusunan regulasi. Prinsip-prinsip tersebut disusun dengan mempertimbangkan aspek perkembangan teknologi, undang-undang lain yang terkait dengan data, termasuk pertimbangan keamanan data digitalnya.
Prinsip pertama bersandar pada sistem statistik nasional. Prinsip kedua, mengutamakan kebebasan informasi publik. Dalam dua prinsip ini, terkandung aspek metodologi dan filosofis di mana publik atau masyarakat dilindungi kepentingannya untuk mendapatkan informasi-informasi yang berurusan dengan kepentingan umum. Di sinilah kedaulatan publik atau kedaulatan rakyat terhadap ketersediaan data dilindungi dan diatur.
Prinsip ketiga, menghormati hak cipta dan kepemilikan intelektual. Hak ini sudah diatur dalam UU sehingga bangunan kebijakan satu data juga tidak boleh menghilangkan penghormatan terhadap hak cipta dan kepemilikan intelektual atas data.
Sementara prinsip keempat, pendasaran kebijakan pada sistem informasi geospasial wilayah RI. Seperti halnya prinsip kedaulatan negara, kita memiliki ruang lingkup kewilayahan atau spasial yang harus dijaga dan dilindungi dalam urusan data. Prinsip kelima sampai ketujuh terkait dengan urusan kebijakan fiskal dalam satu data, pertimbangan otonomi daerah dan desentralisasi, serta adanya perlindungan terhadap keamanan pribadi dan data komersial.
Empat manfaat
Kebijakan satu data yang sekarang sedang digodok oleh pemerintah dan pihak-pihak yang relevan, jika dapat dirumuskan dan dilaksanakan secara ideal, sekurang-kurangnya akan memberi empat manfaat.
Pertama, meningkatkan kapasitas dan keterampilan para produsen data pada setiap satuan kerja di lingkungan pemerintahan. Dengan demikian, akan meningkatkan kualitas data yang dihasilkan. Dalam dunia digital hari ini di mana data diproduksi setiap detik, tantangan terbesar adalah menyajikan data yang berkualitas, yakni yang dapat diolah menjadi informasi untuk pengambilan kebijakan.
Kedua, memperkuat peran Badan Pusat Statistik sebagai acuan pengelolaan dan pemanfaatan statistik pembangunan dan meningkatkan fungsi Badan Informasi Geospasial sebagai satu-satunya referensi menyangkut data spasial. Penguatan dua lembaga ini akan mengurangi silang sengkarut yang selama ini terjadi dalam perumusan kebijakan, pelaksanaan program, dan eksekusi kegiatan yang berakibat terjadinya ketidakefisienan.
Ketiga, mempermudah pekerjaan berbagi-pakai data (data sharing) untuk kepentingan internal lembaga/kementerian atau antarorganisasi. Hal tersebut sekaligus menjadikan data sebagai tulang punggung dalam pemerintahan yang terbuka. Siapa pun yang memerlukan dapat memanfaatkan data yang sudah tersedia dan bisa diakses secara mudah.
Keempat, meningkatkan kredibilitas pemerintahan lewat kebijakan pembangunan yang tepat. Kebijakan seperti itu harus didasarkan pada bukti dan data, bukan melulu pertimbangan politis, apalagi semata-mata intuisi pembuat kebijakannya.
Di era digital, seluruh aspek hidup manusia mengandalkan data. Demikian pula bagi negara dan pemerintah yang harus hadir bagi rakyatnya dalam wujud yang baru, yakni keandalan dan akurasi data untuk pembangunan. Hanya dengan itu, cita-cita republik mendapatkan makna baru: menuju satu nusa dan satu bangsa, melalui satu data.
Yanuar Nugroho Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia
SUmber: Kompas, 16 Oktober 2018