Pemerintah menyegel 64 perusahaan, 20 di antaranya perusahaan asing, yang lahan konsesinya terbakar. Perusahaan bertanggung jawab tanpa perlu dibuktikan asal apinya.
Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengerahkan sekitar 80 penyidik pegawai negeri sipil dan 80 pengawas lingkungan untuk memproses sanksi bagi perusahaan yang lahannya terbakar pada tahun ini. Mereka menyegel 64 perusahaan, 20 perusahaan di antaranya merupakan penanaman modal asing dari Singapura, Malaysia, dan Hong Kong. Dari 64 perusahaan itu, delapan ditetapkan sebagai tersangka.
Perbantuan penyidik dari balai-balai Ditjen Gakkum dari Sulawesi dan Jawa ke unit Penegakan Hukum di Sumatera dan Kalimantan ini dilakukan untuk memperkuat penyelidikan dan penyidikan kasus kebakaran hutan dan lahan di konsesi perusahaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kejahatan (kebakaran hutan dan lahan) ini merupakan kejahatan sangat serius karena dampaknya membahayakan kesehatan manusia, mengancam biodiversitas, serta gangguan ekonomi dan berdampak luas secara wilayah transboundary (lintas batas negara),” kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani, Selasa (1/10/2019), di Jakarta.
Ia mengatakan, perusahaan berbasis lahan memiliki tanggung jawab mutlak untuk melindungi wilayah kerja dari bahaya kebakaran hutan dan lahan. Ketika terjadi kebakaran, perusahaan wajib mempertanggungjawabkannya tanpa perlu dibuktikan asal api.
Sejumlah wilayah konsesi perusahaan yang terbakar memang merupakan area konflik. Meskipun begitu, kata Rasio, perusahaan wajib menjaga seluruh luas wilayahnya dari bahaya kebakaran, dan mengatasi konflik. Apabila tak bisa menjaganya, perusahaan agar mengembalikan sebagian lahan yang berkonflik itu ke negara.
Rasio mengatakan, 64 perusahaan yang disegel tersebut memiliki luas lahan terbakar 14.343 ha. Luas konsesi terbakar yang disegel ini masih bisa bertambah luas ketika dilakukan verifikasi ulang. Sebagai catatan, luasan ini lebih kecil dibandingkan total luas lahan terbakar menurut catatan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK yang mencapai 328.722 ha.
Penyegelan ini dilakukan kepada konsesi perkebunan sawit (47 unit), hutan tanaman (13 unit), restorasi ekosistem (1 unit), dan hutan alam/logging/penebangan (3 unit). “Jumlah dan luasan ini masih bisa bertambah,” katanya.
Data forensik digital
Apalagi saat ini, kata Rasio, pihaknya juga mengumpulkan data forensik digital dari citra satelit yang bisa menjadi bukti ataupun petunjuk di masa mendatang Hal ini bisa untuk mengungkap modus pembakaran untuk tujuan pembukaan lahan ataupun modus lainnya.
Data ini pun bisa menjadi dasar untuk menyiapkan perampasan keuntungan perusahaan dari hasil kebakaran untuk pembukaan lahan di konsesi. Jejak digital ini juga untuk menyiasati konsesi-konsesi terbakar yang belum dapat dijangkau aparat karena kesulitan mencapai lokasi kebakaran.
“Walaupun api sudah padam, jejak forensiknya masih ada dan tercatat. Kami tidak akan berhenti untuk terus mengejar pelaku,” katanya.
Mochammad Askary, Kepala Subdirektorat Pemulihan pada Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, mengatakan dari daftar 64 perusahaan yang disegel tersebut, teridentifikasi.
sejumlah perusahaan telah melakukan pemulihan ekosistem gambut. Namun, dia tidak menyebutkan perusahaan-perusahaan tersebut.
Ia menyebutkan, hingga kini, 64 perusahaan hutan tanaman dan 173 perusahaan perkebunan sawit telah menjalankan kewajiban pemulihan ekosistem gambut. “Area relatif tak terbakar meski di beberapa lokasi tidak seindah yang dibayangkan (terbakar),” katanya.
Secara terpisah, Greenpeace Indonesia menyatakan, terdapat sejumlah perusahaan hutan tanaman/bubur kertas dan perusahaan sawit yang lahannya sangat luas pada kebakaran hutan dan lahan 2015-2018 belum mendapatkan sanksi serius. Hal ini, kata Kiki Taufik, Juru Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, membuat perusahaan tak jera untuk tetap melanjutkan praktik buruk pembakaran hutan dan lahan.
Ia mendorong agar penegakan hukum dilakukan lebih serius. Hal itu bisa dilakukan dengan mencabut izin perusahaan tersebut.
Raffles B Panjaitan, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, mengakui, hukuman untuk pelaku pembakaran hutan belum memberi efek jera. “Ada perusahaan dari Malaysia yang beroperasi di Riau terbukti membakar hutan hanya dihukum dua tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Keluar penjara, bakar lagi. Terlalu kecil hukumannya. Sebagian besar lainnya lolos dari hukuman,” katanya.
Secara terpisah, Yuyun Darmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim dan Isu Global Walhi, mendesak pemerintah membuka nama-nama perusahaan yang diduga membakar lahan. “Di tahun 1997, saat terjadi kebakaran, data perusahaan tersebut dibuka. Kenapa sekarang ditutup?” katanya. (CH/AIK)
Sumber: Kompas, 2 Oktober 2019