Sains di Tengah Wabah Korona

- Editor

Jumat, 5 Juni 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Permainan bersama itu bolak-balik menghamparkan fakta bahwa hidup dan pengetahuan, dibandingkan dengan maut dan ketidaktahuan, memang jauh lebih menakjubkan, dan karena itu perlu terus dirayakan.

Tak terhindarkan: agama yang yakin sebagai pengetahuan yang diturunkan langsung oleh Tuhan, pantas mengangkat diri jadi pengetahuan paling luhur, agung, lengkap, dan sempurna.

Kaum agamawan, dengan niat mulia, kerap menilai pengetahuan rasional yang sekuler itu sebagai pengetahuan yang rendah, kasar, tak lengkap, berbahaya. Mereka yang mengamalkannya harus dikoreksi dan diselamatkan jiwanya. Keluhan Galileo Galilei di ruang tahanannya dan rintihan Giordano Bruno di api unggunnya tentu masih bisa kita dengar di abad ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sejak akhir abad ke-20 hingga hari ini, masih bisa kita jumpai literatur yang menyerukan islamisasi pengetahuan. Penulisnya, antara lain, Naquib Alattas, Ismail Raja al-Faruqi, atau Muhammad Mumtaz Ali. Mereka ini masih menganggap sains jahiliah, bahkan kafir, dan karena itu harus diislamkan agar benar-benar jadi pengetahuan yang bermanfaat bagi seluruh alam.

Cendekiawan Indonesia, seperti Mochtar Lubis, Soedjatmoko, bahkan YB Mangunwijaya, sampai batas tertentu, juga mengingatkan agar pengetahuan ilmiah yang tumbuh di Barat dihadapi dengan hati-hati karena membawa dampak pada kebudayaan. Di negeri lain, ada ideolog yang bahkan menganggap pengetahuan ilmiah berwatak imperialis sebagaimana peradaban Barat yang melahirkannya.

Ledakan pandemi korona adalah rapid test yang bagus untuk menguji klaim superioritas berbagai jenis pengetahuan. Hasil tes itu segera menunjukkan, agama yang meletakkan diri paling superior itu ternyata jenis pengetahuan yang paling banyak diam menghadapi korona. Barangkali sumbangan terbesarnya justru adalah dengan tak berbuat apa-apa. Dengan bersikap patuh pada anjuran sains, agama telah sangat membantu memutus rantai penularan wabah.

Sains memang yang paling awal dan paling gigih membaca Covid-19. Ketika korban di Indonesia belum berjatuhan, sains sudah berhasil mengurutkan genom virus ini dan memberi nama yang bagus: SARS-CoV-2. Virus korona sindrom pernapasan akut berat 2, menjelaskan wujud dan tabiat virus ini sekaligus asal-usulnya yang adalah galur baru dari keluarga virus bermahkota yang sudah dikenal sebelumnya. Nama ini adalah indeks yang baik karena terang menunjukkan lokus virus ini.

Dari praktik membaca pandemi ini, dapat dikatakan hanya sains yang mengamalkan close reading (pembacaan dekat) dan menelisik bukan hanya genom individual. Sastra, seperti halnya sejarah dan filsafat, hanya sanggup melakukan distant reading (pembacaan jauh), yakni mengkaji dan meminjam hasil bacaan sains, atau jadi pengamat dan pencatat dari satu jarak. Sains bukan saja membaca dan menyumbang pemahaman baru tentang SARS-CoV-2; melainkan juga ”memanfaatkannya” untuk mengoreksi dan mengembangkan diri agar bisa sungguh-sungguh membaca pandemi ini dengan jitu.

Pembacaan sains tak mudah bukan saja karena teks bermahkota yang dihadapi itu tak bisa dibingkai dan dibekukan. Virus itu bermutasi dalam penyebarannya antarmanusia dan kala melintasi wilayah. Namun, juga karena perangkat baca yang dimiliki masih harus terus dipercanggih.

Berbagai cabang ilmu bergulat membaca SARS-CoV-2, antara lain virologi, pulmonologi, imunologi, epidemiologi, vaksinologi, genetika molekuler, dan kecerdasan buatan. Cabang-cabang ilmu ini punya sejarah, pendekatan, disiplin, dan metodologi, yang mungkin membuahkan hasil bacaan yang berbeda dan bisa memicu debat. Perdebatan paling seru dalam membaca dan merespons pandemi terlihat di ranah epidemiologi yang memang langsung berhubungan dengan kehidupan manusia sejagat.

Dua mazhab
Ketika WHO mengumumkan penyebaran Covid-19 sebagai pandemi, korban sudah banyak jatuh dan wabah menyebar seperti api besar melangkahi batas-batas negara. Flu Spanyol pada awal abad ke-20 menelan korban sekitar 50 juta jiwa; SARS-CoV-2 diduga lebih ganas dan korban mungkin jauh lebih besar.

Pengumuman WHO memantik reaksi para epidemiolog dan mengobarkan perselisihan yang oleh filsuf kedokteran Jonathan Fuller dipetakan sebagai debat mazhab ”model” melawan mazhab ”bukti”. Di Amerika, mazhab ”model” diwakili epidemiolog kesehatan publik dari Harvard, Marc Lipsitch, dan mazhab ”bukti” diwakili epidemiolog klinis John Ioannidis dari Stanford.

Hipokrates, bapak kedokteran Yunani Kuno, sudah mengajarkan asas penanganan penyakit luar biasa. Extremis malis extrema remedia. Berdasarkan sekian data yang diakui belum memadai, mazhab ”model” menyusun sejumlah model matematis yang kemudian diajukan sebagai dasar membuat keputusan penanggulangan wabah.

Pendekatan dengan model matematis memang hal biasa dalam dunia pengetahuan. Berdasarkan dugaan, SARS-CoV-2 lebih ganas sehingga saran penanggulangan wabahnya pun berskala luar biasa.

Para epidemiolog di mazhab ”bukti” tentu tak keberatan dengan ajaran Hippokrates, tapi mereka mendebat sengit berbagai usulan yang berdasarkan model-model matematis itu. Buat kubu ini, pendekatan model itu tidak saja tak memadai, juga bisa berbahaya karena banyak kajian yang menunjukkan bahwa pendekatan model ini mengandung berbagai bias. Pada 2005, John Ioannidis menerbitkan paper berpengaruh yang tercatat paling banyak diunduh dari pustaka akses-terbuka Public Library of Sciences. Judulnya, Why Most Published Research Findings Are False.

Perdebatan dua mazhab epidemiolog itu bisa juga tampak sebagai debat antara kaum pragmatis dan kaum idealis. Bagi kaum pragmatis, data memang tak memadai, tetapi tindakan harus segera diambil untuk mencegah lebih banyak korban. Kaum idealis setuju intervensi, tapi dasar tindakan itu harus memenuhi syarat ilmiah yang ketat. Sains tanpa pembuktian yang kokoh tentu saja bukan sains lagi. Posisi kaum idealis ini jadi kian penting ketika ditemukan bahwa wabah ternyata menghantam lebih keras kalangan miskin dan kelompok marjinal tertentu sehingga model yang tak peka kelompok rentan ini harus dirombak.

Jika diperiksa lebih jauh, perdebatan di antara para epidemiolog itu sebenarnya bukanlah benturan antara paradigma atau antarmazhab, melainkan dinamik penerapan prinsip metode ilmiah yang ketat. Ia berakar pada kesadaran akan keterbatasan manusia, ketaksempurnaan pengetahuan, dan bahaya dari niat mulia. Terlalu banyak bukti, niat mulia tanpa pengetahuan yang teruji adalah jalan mulus bagi bencana. Ditambah kekuasaan yang besar tak terkendali, ramuan ini akan benar-benar ampuh mengundang malapetaka, bahkan jika hanya satu saja informasi yang keliru.

SARS-CoV-2 memang belum hilang, vaksinnya pun belum ditemukan. Namun, berbagai disiplin dan cabang ilmu sudah terus mengoreksi diri dan saling memperkaya. Model-model direvisi mengikuti temuan baru dan nilai moral, membantu para pembuat kebijakan menawar berbagai kompleksitas dan dilema antara nyawa manusia dan ekonomi bangsa.

Kerja sama antarilmuwan membuat hasil bacaan yang semula berbeda dapat diuji bersama untuk kemudian diramu dengan totalitas pembuktian. Metasains ditegakkan. Asal diberi waktu memadai, sains optimistis akan dapat menemukan obat yang diperlukan.

Bagi masyarakat awam, perdebatan para saintis bisa tampak memusingkan. Mirip mereka yang tak paham bola, pergulatan dua kesebelasan di lapangan juga mungkin terasa membingungkan, bahkan tolol. Dua abad sebelum Giordano Bruno, Raja Edward II di Inggris pernah mengeluarkan dekrit yang melarang sepak bola, menganggapnya permainan kacau kampungan. Sains dan sepak bola memang punya masa silam yang mirip, yakni dipandang rendah oleh kaum yang berkedudukan mulia.

Eduardo Galeano, dalam Soccer in Shadow and Sun, antara lain menulis, cemoohan banyak cendekiawan konservatif berakar dari anggapan mereka bahwa pemujaan sepak bola adalah agama yang cocok buat kaum awam. Dirasuki oleh sepak bola, rakyat jelata itu berpikir dengan dengkul kaki mereka, yang merupakan satu-satunya cara mereka untuk bernalar.

Sebaliknya, banyak intelektual progresif merendahkan sepak bola karena mengebiri massa dan memandulkan semangat revolusioner mereka…. Dihipnotis oleh bola, kesadaran pekerja menjadi mandek dan mereka membiarkan diri dituntun seperti domba oleh musuh-musuh kelas mereka.

Apa pun yang dilontarkan para pencemooh, para ideolog yang sangat mencintai kemanusiaan, tetapi tak kuat bergaul dengan rakyat jelata, semua itu tak mengubah para pengkhidmat bola, seperti Galeano atau Paul Hoyningen-Huene. Buat mereka, sepak bola adalah pentas bagi drama kehidupan yang paling intens, arena bagi lahirnya berbagai macam keajaiban yang tak terlupakan yang membuat hidup jadi sangat berharga.

Pergulatan sains memang tak sesimpel pertandingan bola. Emosi yang dibangkitkannya mungkin juga tak seintens sepak bola. Namun, sains juga bisa seperti sepak bola, menjadi seni yang, meminjam frasa Galeano, mengubah keterbatasan menjadi virtue.

Kerja sama para ilmuwan memang tak menghasilkan orgasme yang meledakkan tribune berupa gol indah yang menggetarkan gawang. Kerja sama mereka telah melontarkan manusia terbang ke Bulan, merentang usia manusia dua kali lebih panjang, dan mengangkat peradaban dunia ke tingkat yang lebih baik.

Permainan bersama
Jika sains sanggup ambil manfaat dari korona, agama juga bisa. Kalau agama tak berubah setelah pandemi, maka tuduhan yang pernah diajukan Martin Heidegger untuk sains, yakni ”tidak berpikir”, mungkin cocok dilimpahkan ke agama. Pelajaran yang bisa langsung disebar adalah bahwa agama dapat memberikan sumbangan besar, justru jika ia bungkam dan tak ngotot menyumbang.

Etika publik dan transaksi argumen yang demokratis jadi kian perlu dijunjung. Khazanah religius memang kekayaan privat paling berharga buat penganutnya, yang mungkin ditawarkan, tanpa paksaan dan pengistimewaan, untuk memperkaya khazanah publik.

Pilihan yang lebih asyik, yang juga berlaku untuk sastra dan filsafat tentu saja memasuki tatanan baru (new normal) dengan menjadi penonton yang literate, yang paham aturan main sains dan mengikuti perjuangan ilmu yang terbatas dan tak sempurna itu untuk memahami dan menjinakkan wabah besar yang sama sekali tak punya rasa hormat pada kedaulatan wilayah, keagungan ibadah, dan segala jenis konstruksi sosial manusia.

Pemahaman akan aturan main sains akan kian membentangkan jalan selebrasi keindahan spirit dan nalar kritis manusia di mana semua pihak, bukan hanya ilmuwan, filsuf, dan penyair, bisa ambil bagian. Itulah permainan besar yang menautkan kesadaran sains, olahraga, dan puisi, yakni kesadaran akan keterbatasan yang harus diolah untuk melampaui keterbatasan.

Permainan bersama itu bolak-balik menghamparkan fakta bahwa hidup dan pengetahuan, dibandingkan dengan maut dan ketidaktahuan, memang jauh lebih menakjubkan, dan karena itu perlu terus dirayakan. Selamanya.

(Nirwan Ahmad Arsuka Pemikir dan Penggiat Kebudayaan)

Sumber: Kompas, 5 Juni 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB