Tim peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menghasilkan inovasi berupa mi instan dengan bahan baku dari sagu. Selain dinilai lebih sehat kandungannya, sumber pangan lokal ini melimpah di Indonesia.
Impor gandum di Indonesia semakin melejit seiring dengan permintaan tepung terigu untuk industri mi dan roti yang meningkat. Bahkan, impor gandum di Indonesia kini mencapai lebih dari 11 juta ton per tahun. Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS), jumlah ini merupakan volume impor terbesar keempat di seluruh dunia setelah Mesir, China, dan Brasil.
Di sisi lain, Indonesia memiliki sumber bahan baku lokal yang melimpah, seperti sagu. Dalam catatan yang dipublikasikan Institut Pertanian Bogor (IPB), luas lahan tanaman sagu di Indonesia mencapai lebih dari lima juta hektar dengan 90 persen di antaranya berada di Papua dan Papua Barat. Dalam satu hektar tanaman sagu bisa menghasilkan 20-40 ton pati sehingga dengan luas lima juta hektar dapat berpotensi menghasilkan 100-200 juta ton pati per tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sayangnya, potensi yang sangat besar ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini mendasari peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk mengembangkan inovasi teknologi pengolahan pangan dengan menciptakan diversifikasi pangan berbasis sagu.
Salah satu produk yang telah dikembangkan saat ini diberi nama Sago Mee. Produk ini diharapkan menggantikan produk mi instan dari tepung terigu yang banyak dikonsumsi masyarakat. Laporan World Instant Noodles Asosiation (WINA) tahun 2017 menyebut, konsumsi mi instan di Indonesia mencapai 13,2 miliar porsi atau jika dirata-rata maka satu orang mengonsumsi satu bungkus tiap minggu.
“Kandungan tepung dari sagu jauh lebih baik daripada tepung terigu. Selain bebas dari kandungan gluten, sagu memiliki indeks glikemik rendah. Dengan begitu, sagu lebih aman dikonsumsi masyarakat yang memiliki diabetes,” tutur peneliti dari Pusat Teknologi Agroindustri BPPT, Purwa Tru Cahyana.
Meski demikian, kandungan sagu yang bebas gluten menjadi tantangan dalam memperoleh tekstur tepung yang mirip dengan mi dari terigu. Berbagai pengembangan pun dilakukan sejak pertama kali diteliti pada tahun 2011. Barulah Pada 2018, tim dari peneliti berhasil memperoleh formulasi yang tepat untuk membuat mi instan nonterigu tersebut.
Purwa menambahkan, proses pembuatan mi sagu instan ini diawali dengan pencampuran antara pati sagu dengan bahan lainnya. Setelah itu, bahan yang tercampur tersebut akan dilakukan pengepresan untuk kemudian dibentuk menjadi untaian mi.
Apabila sudah terbentuk untaian mi, bahan itu bisa langsung masuk dalam proses pemotongan dan percetakan. Proses ini berbeda dengan proses pembuatan pada mi instan dengan tepung terigu. Pada mi instan terigu, sebelum dilakukan pemotongan harus melalui pengukusan. Proses ini diperlukan untuk membentuk kekenyalan pada mi melalui dehidrasi air dari gluten.
“Dengan begitu, waktu yang dibutuhkan untuk membuat produk mi instan sagu lebih singkat dari mi instan terigu. Selain memangkas waktu, proses ini dapat menghemat energi yang dikeluarkan dari proses produksi,” kata Purwa.
Setelah dipotong dan dicetak, mi masuk ke dalam penggorengan, pendinginan, hingga akhirnya dikemas. Untuk sementara, produk Mi Sagoo diproduksi dalam kemasan cup atau gelas. Cara konsumsinya pun mudah, yakni hanya dengan merendam mi dengan air panas selama sekitar empat menit.
Teknologi proses pembuatan mi sagu instan dengan metode sheeter-cutter ini juga sudah didaftarkan patennya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Ham pada 3 September 2018 . Paten tersebut didaftarkan dengan nomor P00201806787.
Skala industri
Direktur Teknologi Agroindustri BPPT Hardaning Pranamuda menuturkan, produk Sagoo Mee berhasil melalui proses verifikasi formula kajian pada produk dari skala laboratorium ke mesin skala industri pada 2019. Baru pada awal 2020, kontrak komersialisasi dilakukan melalui Pusat Layanan Teknologi BPPT dengan PT Langit Bumi Lestari.
PT Langit Bumi Lestari merupakan perusahaan lokal yang telah merintis industri tepung tapioka dan sagu modern di Pulau Bangka. Ditargetkan, pada 2020 ini Sago Mee bisa diproduksi secara massal dengan target produksi sekitar 50.000 cup per bulan.
Dalam 100 gram mi instan ini antara lain mengandung 63,46 gram karbohidrat, 30,44 gram lemak, 2,23 gram protein, dan 395,67 kilokalori. Satu cup mi instan Sago Mee memiliki berat bersih 70 gram. Bumbu yang digunakan pun diracik tanpa penguat rasa atau MSG.
Menurut Hardaning, fasilitas dan sarana produksi sudah terpasang di area pabrik PT Langit Bumi Lestari. Pabrik ini juga sudah mendapatkan penilaian penerapan CPPOB (Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan nilai baik.
Pabrik ini juga telah mendapatkan persetujuan pendaftaran produk pangan olahan. Sementara itu, izin edar dari produk Sago Mee masih dalam proses pengajuan.
Targetnya, produk tersebut bisa diluncurkan secara resmi pada Agustus 2020. Bulan ini dipilih karena tepat dengan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional yang diperingati setiap tanggal 10 Agustus dan Hari Ulang Tahun BPPT yang diperingati setiap tanggal 21 Agustus.
“BPPT terus melakukan kaji terap teknologi untuk menghasilkan inovasi guna mengangkat harkat dan nilai tambah sumber daya pangan lokal dalam rangka mendorong terwujudnya kedaulatan pangan,” kata Hardaning.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 20 Juli 2020