Indonesia yang berada di daerah pertemuan tiga lempeng bumi kerap kali dilanda gempa tektonik. Gempa yang bertubi-tubi menerjang telah memunculkan ide di benak leluhur bangsa Nusantara ini untuk membangun rumah tahan gempa dari kayu dan bambu.
Rumah tradisional yang sederhana ini telah teruji aman dari guncangan gempa. Salah satunya adalah rumah tradisional suku Sasak di Desa Bayan Lombok, yang tetap kokoh meski tiga gempa berkekuatan 6,4 – 7 Skala Richter melanda Lombok dan Sumbawa akhir Juli hingga pertengahan Agustus lalu.
Rumah adat yang terbuat dari bambu tahan gempa karena material alam itu relatif lebih ringan dan lentur menerima guncangan dibandingkan dinding bata dan beton. Rumah yang rusak akibat gempa umumnya rumah tembok dan semi tembok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA–Warga Sigar Penjalin, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, mendirikan rumah di atas bekas rumah mereka yang rusak akibat gempa, Rabu (5/8/2018).
Sayangnya pada jaman modern ini rumah bambu dan kayu telah diganti dengan rumah tembok. Perubahan bentuk hunian ini karena adanya anggapan yang berkembang yang menjadikan rumah tembok simbol meningkatnya perekonomian atau kesejahteraan suatu keluarga, sedangkan rumah bambu dianggap kuno dan murahan.
Dalam ketentuan pemerintah juga disebutkan keluarga yang memiliki rumah dari kayu dimasukkan dalam kelompok keluarga miskin. Akhirnya mereka beralih membangun rumah batako atau tembok. Sayangnya pembangunannya tidak mengikuti aturan struktur bangunan tahan gempa yang benar.
Karena itu sebagaimana di Aceh pasca gempa dan tsunami 2004, pembangunan kembali Lombok pascagempa diarahkan pada penerapan rumah tahan gempa. Untuk itu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengintroduksi rumah RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat), yang akan dibangun di 20 lokasi sebagai percontohan bagi masyarakat. (Kompas, 27/8/2018)
Paten RISHA dimiliki Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Direktorat Perumahan Rakyat Kementerian PUPR untuk sistem bongkar pasangnya secara instan. Model rumah ini dapat menjadi rumah tumbuh ke arah horizontal dan vertikal menjadi rumah bertingkat dua.
Waktu pemasangan menjadi rumah utuh hanya sehari melibatkan tiga pekerja. Saat ini ada 67 aplikator tim yang telah menerapkannya di 20 provinsi, antara lain di Aceh pascatsunami sebanyak 10.000 unit.
Selain model rumah tahan gempa dari Kementerian PUPR tersebut, inovasi rumah tahan gempa juga dihasilkan perekayasa dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yaitu tim inovator gabungan dari Pusat Teknologi Material dan Sentra Teknologi Polimer BPPT.
“Rumah ini disebut rumah komposit, juga dapat dibongkar pasang,” kata Direktur Pusat Teknologi Material BPPT Mahendra Anggaravidya kepada Kompas beberapa waktu lalu.
Tim dari PTM BPPT mendesain model rumah bertipe 21 dan 36. Anggaran satu uni rumah sebesar Rp 40 juta untuk tipe 21 dan sekitar Rp 70 juta untuk tipe 36. Rumah ini, kata Mahendra, akan dibawa ke Lombok. Pemasangan rumah komposit ini membutuhkan waktu 1 minggu per unit.
“Rumah ini berfungsi untuk mendukung proses tanggap darurat (pasca gempa Lombok), yaitu rumah hunian sementara. Namun pemanfaatannya dapat ditingkatkan menjadi rumah permanen dengan modifikasi desain dan menggunakan material khusus,” kata Seto Roseno, ahli Teknologi Material Komposit dari Pusat Teknologi Material BPPT.
Material ringan
Rumah komposit menggunakan panel yang terdiri dari beberapa lembaran material ringan yang ditumpuk seperti sandwich karena itu disebut panel komposist sandwich. Material komposit itu adalah plastik yang diperkuat dengan serat (Fibre Reinforced Plastic/FRP) dan Stireofoam atau EPS (Expanded Poly Styrene). Dinding komposit ini lebih ringan 30 persen daripada dinding GRC (Glassfiber Reinforced Cement, pelapis dinding berbahan dasar semen yang dicampur dengan bahan fiberglass), namun lebih mahal.
Rumah komposit ini masih terus dikembangkan pada jenis dan komposisi material dan desain strukturnya. “Paten akan diusulkan setelah semua optimal,” ujar Seto.
Material ringan yang digunakan terbuat dari komposit dengan formulasi tertentu. Berat panel hanya sekitar dua kilogram. Rumah komposit teruji aman pada simulasi beban gempa percepatan 2,28 G dalam frekuensi 0,1-10 Hertz dengan metode (spectrum) serta kombinasi beban mati, hidup, dan angin.
Rumah komposit ini disusun per panel, disambung dalam ikatan yang utuh, sehingga ketika digoyang gempa sambungannya tidak tercerai berai atau tidak menjadi roboh. Pembuatan panel ini melibatkan industri lokal dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) hampir 80 persen.
Tahun lalu, BPPT menghibahkan dua rumah komposit ke Pemerintah Kota Bogor. Rumah yang ditempatkan di Kelurahan Pasir Jaya tersebut kemudian difungsikan sebagai fasilitas umum oleh Pemerintah Kota Bogor.
Rumah tahan gempa, ujar Henky Ashadi dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, sesungguhnya telah lama dikembangkan menggunakan berbagai jenis material yang ringan namun elastis. Prinsipnya semakin ringan struktur semakin kecil risiko keruntuhan bangunan.
Dengan prinsip itu peneliti antara lain membuat dinding dari anyaman bambu, kemudian diplester menyerupai tembok. Bata juga dibuat dengan material lebih ringan dan dengan teknik proses tertentu sehingga bata tercetak banyak pori.
Pembangunan rumah tahan gempa mengacu pada konsep denah atau struktur yang simetris dan menyatu dalam lingkup tiga dimensi, seperti bentuk kotak dan lingkaran. Bangunan tahan gempa semakin ke atas harus semakin ringan. Kunci ketahanan gempa suatu bangunan ada pada angkur dan pelat yang mengikat atau tertanam di tiap bagiannya. Biaya komponen angkur dan pelat hanya 5 persen total biaya.
“Untuk meningkatkan ketahanan rumah terhadap guncangan gempa antara lain dengan memasang sengkang atau tulangan melintang lebih rapat, dan memberi kolom-kolom praktis di dinding,” kata Henky.–YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 17 September 2018