Pengembangan obat antibiotik baru mendesak dilakukan karena makin banyak antibiotik yang tak mempan lagi membunuh kuman. Potensi bahan antibiotik baru ditemukan salah satunya pada hewan spons. Dengan tingkat keragaman jenis spons tertinggi di dunia, Indonesia berpeluang jadi penghasil antibiotik baru.
“Berdasarkan laporan Van Soest pada 1989, jumlah spesies spons dari perairan Indonesia timur mencapai 850 jenis,” kata Sekretaris Kelompok Penelitian Budidaya dan Bioprospeksi Laut Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Tutik Murniasih, Rabu (17/6), di Jakarta. Indonesia timur dilalui segitiga terumbu karang dunia dengan biodiversitas spesies tinggi.
Bahkan, publikasi-publikasi terkait hewan invertebrata laut menunjukkan, senyawa aktif terbanyak ditemukan pada spons. Dari semua hewan invertebrata dengan senyawa aktif, sekitar 45 persen di antaranya spons. Di posisi kedua adalah hewan karang lunak (20 persen).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal tersebut mendorong Tutik untuk meneliti spons asal Indonesia. Ia memilih mempelajari manfaat mikroba yang hidup dalam spons karena mudah dibiakkan dibandingkan dengan spons. Itu untuk mengantisipasi keterbatasan bahan baku jika nantinya spons terbukti bermanfaat untuk antibiotik dan masuk ranah komersialisasi. Selain itu, mikroba yang bersimbiosis dengan spons berkontribusi pada pembentukan senyawa aktif untuk obat.
Tutik dan tim peneliti membuktikannya setelah mengisolasi senyawa antibakteri dari bakteri Rhodobacteraceae bacterium. Bakteri itu hidup dalam spons Aaptos sp., yang dikumpulkan lewat penyelaman di kedalaman 2-10 meter di bawah laut, di sekitar Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan, Juni 2009.
Tutik mendapatkan dua macam senyawa aktif, yakni senyawa golongan amina dan tiochromene. Menurut riset, senyawa itu berkhasiat menghambat perkembangan bakteri patogen Vibrio eltor dan Bacillus subtilis pemicu gangguan saluran pencernaan, termasuk diare, dan Staphylococcus aureus yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan. “Saat ini, riset di tahap optimasi (menaikkan produktivitas senyawa aktif),” ujarnya.
Namun, daya hambat bakteri patogen dari senyawa itu kalah dibandingkan antibiotik umum, yaitu ampicillin, seperti tampak dari konsentrasi minimum penghambatan (minimum inhibitory concentrations/MIC). Jadi, MIC ampicillin pada Escherichia coli 16 mikrogram per mililiter, sedangkan MIC senyawa amina yang dihasilkan Tutik 125 mikrogram per ml dan MIC senyawa tiochromene 380 mikrogram per ml (makin besar nilainya, kian rendah daya hambat pada bakteri patogen).
Senyawa aktif dari Rhodobacteraceae bacterium lebih stabil daripada ampicillin. Setelah dua-tiga hari, muncul bakteri patogen di sekitar kertas cakram ampicillin, sedangkan pada area senyawa aktif dari bakteri spons bersih. Kondisi itu merujuk pada ada resistansi pada ampicillin.
Masalah global
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan, tidak adanya program penanggulangan signifikan terhadap resistansi antimikroba (termasuk antibiotik) bisa mengakibatkan dunia masuk pada masa setelah antibiotik. Artinya, saat infeksi ringan bisa jadi berat karena mikroba penyebabnya tak mampu dibunuh lagi.
“Tanpa penanggulangan berarti, kematian akibat resistansi antimikroba lebih tinggi daripada akibat kanker dan penyakit lain,” ujar Tjandra dari New Delhi, India, di sela-sela pertemuan pertama Technical Advisory Group on Antimicrobial Resistance.
Salah satu masalah serius terkait resistansi antibiotik ialah kekebalan kuman pada obat tuberkulosis (MDR-TB). Itu membuat perawatan pasien lebih lama dan kurang efektif. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, ada sekitar 480.000 kasus baru MDR-TB pada 2013.
Terkait hal itu, Tutik menyatakan akan menguji senyawa aktif Rhodobacteraceae bacterium pada kuman TB demi menemukan solusi atas MDR-TB. (JOG)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Kekayaan Spons Indonesia Berpotensi Jadi Solusi”.